KESENIAN DAN TRADISI JAWA
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : M. Aqil Luthfan, M.A., M. Hum
Disusun Oleh:
Iip Kasipul Qulub (113211025)
Miftahudin (113211032)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
Kesenian dan Tradisi Jawa
I.
PENDAHULUAN
Jawa memang sudah lekat dengan ragam kesenian dan
tradisi unik yang melingkupi kehidupan masyarakatnya. Bahkan, meski kini zaman
sudah berkembang dengan pesat, kesenian-kesenian dan tradisi-tradisi yang
melekat dalam kehidupan masyarakat Jawa sejak zaman nenek moyang dahulu masih
tetap dipertahankan. Kesenian- kesenian dan tradisi-tradisi masyarakat Jawa
lekat dengan kesenian dan tradisi Hindu-Budha yang notabene pernah menjadi
agama yang paling banyak dipeluk oleh masyarakat Jawa kuno. Namun,
kesenian-kesenian dan tradisi-tradisi tersebut sudah mengalami akulturasi
seiring masuknya agama Islam ke tanah Jawa. Hal tersebut dapat terjadi karena
ajaran Islam telah mengatur segala jenis sendi-sendi kehidupan manusia, sehingga
kesenian-kesenian dan tradisi-tradisi Jawa warisan nenek moyang yang berbau
syirik atau tidak sesuai dengan ajaran Islam mengalami sedikit modifikasi.
Dalam kesempatan kali ini, kami membahas tentang
kesenian dan tradisi masyarakat jawa beserta dengan aspek filosofis yang
terdapat pada kesenian-kesenian dan tradisi-tradisi masyarakat jawa tersebut.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa
pengertian Kesenian dan Tradisi Masyarakat Jawa?
B.
Apa
saja dan Bagaimana filosofi macam-macam Kesenian dan Tradisi Masyarakat Jawa?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian kesenian dan tradisi masyarakat jawa
Menurut kamus bahasa Indonesia, kata tradisi berarti adat kebiasaan yang
turun temurun.[1] Menurut Koentaraningrat (1987:187) mengatakan
bahwa tradisi sama dengan adat istiadat, konsep serta aturan yang mantap dan
terintegrasi kuat dalam sistem budaya disuatu kebudayaan yang menata tindakan
manusia dalam bidang sosial kebudayaan itu.[2]
Secara sempit seni tradisi Jawa berarti karya
seni yang diciptakan dan berasal dari pulau Jawa. Salah satu contoh dari seni tradisional Jawa adalah Wayang. Menurut
penjelasan Sri Mulyono, kata ‘Wayang’ berasal dari bahasa Jawa asli dari kata
“bayang” atau “bayang-bayang”. Ditarik dari akar kata “yang” dengan mendapat
awalan “wa” menjadi “wayang”. Kata
“wayang” atau ”hamayang” pada waktu dulu berarti memepertunjukan bayangan,
lambat laun menjadi pertunjuksn bayang-bayang dan kemudian menjadi seni pentas
bayang atau wayang. Dalam Ensiklopedi Umum dijelaskan Wayang Purwo, merupakan
cabang kesenian Jawa tertua, semacam tonil dengan boneka-boneka sebagai
pelaku-pelakunya yang dimainkan dan diceriterakan oleh seorang “dalang”.[3]
B.
Macam-macam dan Filosofi Kesenian dan Tradisi Jawa
1. Bentuk
Selametan / Sedekah
Kata
‘sedekah’ dengan istilah lain ‘sodaqoh’ yang bermakna berderma atau memberikan sesuatu (biasanya berupa barang)
kepada pihak lain karena tendensi kemanusiaan, seperti iba, peduli, atau agar
tercipta keakraban antar sesama.
a) Sedekah
bumi
Sedekah bumi merupakan aktivitas budaya
yang dilaksanakan masyarakat (khususnya masyarakat pedesaan) yang dilaksanakan
setahun sekali atau setiap terjadi peristiwa yang tidak menyamankan kehidupan
sosialnya. Sepeti musibah berupa penyakit yang diderita warga atau wabah hama
tanaman. Munculnya kata ’bumi’ diidentikkan dengan pelaksanaan ritual budaya
yang bernuansa agamis karena mensyukuri anugerah Ilahi yang bersumber dari
hasil bumi, aktivitas yang bergantung keramahan bumi (alam) atau panen hasil
peternakan. Seperti pascapanen tanaman atau menjelang panen. Sedekah bumi
dilaksanakan masyarakat yang berpenghasilan sebagai petani, petani dan pelaut,
petambak, dan petambak yang juga petani.
b) Sedekah
laut
Sedekah laut identik dengan aktifitas
budaya yang dilakukan warga masyarakat yang berpenghasilan dan atau berprofesi
sebagai pelaut. Lazimnya pelaksanaan sedekah laut menjelang musim panen laut (berdasarkan
prediksi pelaut) atau pascapanen hasil laut. Ada juga sedekah laut disertakan
bersama peringatan wafatnya tokoh desa atau tetua adat desa. Munculnya pelaksanaan
sedekah laut dengan pertimbangan, pertama, ungkapan syukur kepada Tuhan yang
menganugerahi sumber kehidupan dari laut. Kedua, permisi (ungkapan izin)
sebagai bentuk interaksi dengan sesama penghuni laut agar tercipata keselamatan
selama mengais rizki di laut agar tidak diusik kenyamanannya. Penunggu laut
dalam konteks ini diyakini oleh pelaut bahwa hamparan laut tidak hanya dihuni
pelaut dalam mengais rizki, tetapi juga dihuni makhlus halus. Agar interaksi
antara pelaut dengan penghuni lainnya tercipta interaksi (yang tidak kasat
mata) secara harmonis, maka sedekah laut dijadikan mediasi (perantara)
keakraban secara psikis dan tidak langsung antara penguasa laut (Tuhan),
penghuni laut (makhluk gaib), komunitas laut (makhluk alam laut), dan pengais
rizki dari laut (nelayan).
Adapun
pernik-pernik yang disertakan dalam prosesi larung sesaji diantaranya adalah
kepala kerbau yang menyimbolkan keperkasaan (kepala) dan ‘dihadiahkan’ kepada
‘penghuni’ laut sebagai bentuk interaksi simbolik.
2. Selametan
siklus kehidupan
Selametan
siklus kehidupan meliputi kelahiran bayi, pasca kelahiran bayi berupa mengubur
ari-ari atau tali pusat (placenta), kematian, fase kehidupan bayi (penguburan
ari-ari/placenta),menindik telinga dan pasang anting-anting anak perempuan, dan
perkawinan.[4]
a) Ngapati
(Ngupati)
Saat janin (embrio) berusia 120 hari
(atau 4 bulan) dimulailah kehidupan dengan ruh, dan saat inilah ditentukan
bagaimana ia berkehidupan selanjutnya, di dunia sampai di akhirat : “Ditentukan
rezekinya, ajalnya, langkah-langkah prilakunya, dan sebagai orang yang celaka
atau orang yang beruntung”.
Maka menyongsong penentuan ini,
hendaklah diadakan upacara ngapati (ngupati) yaitu berdoa
(sebagai sikap bersyukur, ketundukan dan kepasrahan); mengajukan permohonan
kepada Allah agar nanti anak lahir sebagai manusia yang utuh sempurna, yang
sehat, yang dianugerahi rizki yang baik dan lapang, berumur panjang yang penuh
dengan nilai-nilai ibadah, beruntung di dunia dan di akhirat. Begitu pula
hendaklah bersedekah. Kita ketahui bahwa doa dan sedekah adalah dua kekuatan
yang bisa menembus takdir.
b) Mitoni
(Tingkepan)
Setelah kehamilan berusia sekitar 7
(tujuh) bulan, yaitu ketika kandungan dirasakan sudah berbobot dan berbeban,
maka diadakan lagi upacara yang biasa disebut mitoni atau
tingkepan. Dalam upacara mitoni (tingkepan) ini disamping bersedekah
juga diisi pembacaan doa, dengan harapan si bayi dalam kandungan diberikan
keselamatan serta ditakdirkan selalu dalam kebaikan kelak di dunia.[5]
c) Menindik
telinga dan pasang anting anak perempuan
Menindik telinga dan memberi anting bagi
anak perempuan pada usia bayi (balita) menjadi tradisi universal. Penentuan
usia bayi ditindik tidak sama setiap individu atau daerah, biasanya disertakan
ketika prosesi potong puser (puputan) dengan tujuan membedakan identitas
asesoris bahwa perempuan identik dengan asesoris tertentu, jika asesoris
tertentu tersebut dikenakan pada laki-laki maka dianggap menyimpang tradisi.
Prosesi menindik dan beranting ini
merupakan aktifitas penyimbolan menuju fase sebagai anak yang beridentitas
jenis kelamin tertentu secara utuh dan diliputi budaya bancaan dengan sedekah
kepada tetangga dalam jumlah kecil berupa kudapan atau makanan. Tradisi menindik
diilhami nadzar Nabi Ibrahim As ketika beristri Siti Saroh tidak dikaruniai
anak. Nabi Ibrahim menikah kedua dengan Siti Hajar dan bernadzar, jika
dikaruniai anak laki-laki akan dijadikan kurban dan jika dikaruniai anak
perempuan akan menindik kedua telinga, memotong ari-ari, dan mengkhitannya.
Akhirnya lahirlah Ismail As dan dikurbankan, oleh Allah Nabi Ismail digantikan
dengan domba dari surga.
Prosesi menindik menggunakan alat
tradisional dan perangkat modern, seperti jarum jahit (untuk melubangi), minyak
alkohol (mempermudah tembusnya pelubangan), benang (menduduki posisi anting sementara
sebelum anting dipermanenkan di telinga), kunir dan bawang merah (langkah awal
menetralisir agar tidak terjadi infeksi).
d) Tedhak
siten
Tedhak siten, dhun-dhunan, mudhun lemah adalah
upacara penghormatan kepada bayi menuju fase kehidupannya berupa menginjakkan
kaki pertama sebelum jalan (menapak) secara sempurna. Tedhak bermakna
dekat dan siten sinonim dengan kata dari bahasa Jawa ‘siti’ yang
bermakna tanah. Prosesi awal dalam meraih fase hidup tersebut, oleh orang tua
dan keluarganya disongsong dengan doa.
3. Selametan
perkawinan
Termasuk
selametan perkawinan dalan tradisi Jawa adalah perkawinan punjen. Kata ‘punjen’
bermakna terakhir atau dipanggul yakni sebagai bentuk ungkapan yang menyatakan
tanggungjawab pada anak terakhir (bungsu) oleh orang tua berupa menikahkan atau
strategi mengumpulkan anak yang telah dinikahkan (berkeluarga) oleh orang
tuanya agar ikut menyaksikan perkawinan saudara mudanya. Perkawinan punjen atau
tumplak punjen (tumpah), maksudnya menghadirkan keluarga yang
tumpah-ruahndalam prosesi perkawinan, pungkasan, terakhir adalah
perkawinan yang ditradisikan secara khas karena yang dinikahkan adalah anak
terakhir (laki-laki atau perempuan).
Perkawinan
ini dalam pelaksanaan budaya terdapat perbedaan dengan perkawinan lazimnya yang
non-punjen berupa prosesi yang dilaksanakan pasca ijab nikah berupa
pertama-tama kedua orang tua si bungsu ke pelaminan, diikuti anak beserta
keluarganya, dibentuklah setengah lingkaran yang dikitari seluruh anak dan
keluarganya diawali anak paling tua dst., orang tua membawa piranti berupa (i)
paso, (ii) tampah, (iii) pecut, (iv) sabit, (v) kendi,
(vi) bunga setaman, (vii) cincin, (viii) janur kuning, (ix) jajan pasar, (x)
kantong, dan (xi) cambuk yang dicambukkan (secara simbolis) kepada seluruh
anaknya, petuah orang tua kepada seluruh anak, acara sungkeman seluruh anak
kepada orang tua, dan anak bungsu kepada kakak-kakaknya secara berurutan,
diakhiri dengan doa dan slametan.
4. Selametan
ulang tahun kematian tokoh
Selametan
kematian tokoh agama (khaul) seperti khaul Sunan Kudus, Sunan
Muria, Kyai Mutamakkin Pati, Pangeran Puger, dan lainnya yang perlu digali
ulang oleh kita.
5. Peringatan
hari besar agama
6. Simbol
penghormatan leluhur
a) Pari joto
Mitos pari joto berkaitan dengan
kiprah Sunan Muria yang berperang melawan Dampoawang berasal dari China membawa
perahu (sampan)atau kaal berisi bahan obat dan rempah-rempah. Karena
pertempuran tersebut, kapal tenggelam dan dimenangkan Sunan Muria.
Penamaam
‘pari joto’ menurut sejarah lisan, dinamakan oleh Sunan Muria, ketika
istrinya mengandung dalam usia 4 bulan (akhirnya melahirkan putri diberi nama
Dewi Nawangsih), nyidam/ngidam untuk dijadikan rujak karena terasa
asam-pahit (Jawa ; sepet) dan bertepatan ketika Sunan Muria mengarang tembang Kinanthi
Pari Joto,sekarang hanya dikenal tembang Kinanthi. Nama tersebut
diabadikan oleh pedagang asongan yang berada di seputar wisata Gunung Muria dan
makam Sunan Muria. Sunan Muria mengutus santrinya untuk mencarikan obat penghilang
mual dan ditemukan bunga atau buah yang diabadikan hingga sekarang dengan nama Parijoto.
Jika diurai dari segi penanaman, dari dua kata yakni ‘Pari’ dan ‘Joto’
karena bunga tersebut menyerupai pari/padi dan ‘joto’ merupakan
simplifikasi dari kata nyoto/nyata (khasiatnya).
b) Kayu
pakis haji
Pakis haji merupakan pohon yang
dikategorikan berbiji terbuka dan termasuk marga cycas dalam genus cycadeae.
Pohon ini dimitoskan ketika masyarakat Desa Colo, sekitar Gunung Muria,
mendapat wabah serangan hama tikus di lahan persawahannya. Oleh Sunan Muria,
pohon tersebut dijadikan media pengusir tikus. Jika dirasionalkan, potongan
pohon tersebut jika memanjang bermotif menyerupai ular welang (bermotif batik, kecoklatan),
sehingga jika dirasionalkan dapat menakut-nakuti tikus.[6]
7. Seni
arsitektur bangunan jawa
Pembangunan
jawa pada umumnya bangunan induk serta bangunan lain disekitarnya secara
keseluruhan merupakan kompleks perumahan yang dinamakan “padepokan”, seni
bangunan dari jaman sanjaya wangsa dan syailendra wangsa. Jawa juga dikenal
dengan sebutan “the island of temples” karena memang di jawa tengah bertebaran
candi-candi. Salah satu contohnya adalah pendopo agung yang berbentuk “joglo
trajumas”, atapnya yang luas ditopang 4 soko guru (tiang pokok), 12 soko goco,
dan 20 soko rowo. Kesemuanya membuat penampilan bangunan itu berkesan “momot”,
artinya berkemampuan menampung segala hal, sesuai dengan fungsinya sebagai
tempat menerima tamu. Contoh bangunan lain adalah bentuk rumah adat “joglo
tajuk mangkurat”, “joglo pangrawit”, dan rumah bercorak “doro gepak”.
8. Tarian
daerah jawa
Tari
jawa memiliki berbagai fungsi dalam kehidupan masyarakatnya. Selain sebagai
hiburan, beberapa tarian lainnya juga memiliki fungsi sakral yaitu disajikan
dalam pelantikan dan penghormatan raja-raja. Tarian jawa itu berwujud seni tari
yang adiluhung, sakral, dan religius. Tari jawa tersebut banyak jenisnya.
Tarian tersebut diantaranya sebagai berikut: (1) tari srimpi, (2) tari bedaya
ketawang, (3) wireng, (4) prawirayudha, dan (5) tari kuda-kuda. Khusus di
mangkunegaran disebut tari langendriyan, yang mengambil kisah damar wulan.
Tari
yang terkenal di kraton solo diantaranya adalah srimpi dan bedaya ketawang.
Sementara kraton kasunanan pakubuwono juga menciptakan tarian, yaitu tari
srimpi. Tarian ini menggambarkan perang antara dua satria. Selain itu juga
terdapat tarian jawa modern yang biasanya disajikan saat hajatan. Tayub
merupakan salah satu tarian jawa yang biasa ditampilkan dalam hajatan.
9. Seni
peran ketoprak
Ketoprak
adalah salah satu kebudayaan daerah jawa, yang mana kesenian ini diperankan
oleh sekelompok orang dengan membawakan peran dan karakter dari tokoh-tokoh dan
kisah-kisah cerita rakyat dari jawa. Cerita yang sering diangkat dalam ketoprak
adalah ramayana dan mahabrata, yang kesemuanya bercerita tentang kebaikan akan
selalu menang melawan keangkaramurkaan.
Karena
itulah sebabnya mengapa masyarakat jawa memiliki sikap “andap asor”, lemah
lembut, ramah tamah, sopan santun dan penuh filosofi.
10. Wayang
Wayang
adalah salah satu tradisi bercerita di Jawa Tengah yang masih ada hingga saat
ini dan salah satu tradisi yang paling berkembang dan terkenal hingga ke
penjuru dunia. wayang merupakan salah
satu kesenian jawa yang hingga sekarang ini masih eksis.
Kesenian
wayang sering disajikan dalam hajatan. Wayang tidak jauh berbeda dengan
ketoprak. Jika ketoprak diperankan oleh manusia, sementara tokoh-tokoh cerita
dalam wayang diperankan dengan properti yang disebut wayang itu sendiri yakni
sejenis miniatur dengan bentuk sosok manusia yang digambarkan sesuai dengan
sifatnya dan berbahan dari kulit, wayang dijalankan oleh seorang dalang.
Beberapa
alat yang digunakan dalam pewayangan diantaranya adalah: “kelir”
(background dalam bentuk layar yang berupa kain berwarna putih), “blencong”
(sejenis lampu yang digunakan untuk menambah kesan dan menguatkan suasana dari jalan ceritanya),
“debog” (batang pisang yang digunakan untuk menancapkan wayang-wayang
yang hendak dimainkan), “cempala” dan “kepyak” (sejenis alat
untuk menciptakan suara pengiring saat wayang dijalankan).[7]
IV.
KESIMPULAN
Tradisi sama dengan adat istiadat, konsep serta aturan yang
mantap dan terintegrasi kuat dalam sistem budaya disuatu kebudayaan yang menata
tindakan manusia dalam bidang sosial kebudayaan itu. Seni
tradisi Jawa berarti karya seni yang diciptakan dan berasal dari pulau Jawa. Salah satu contoh dari seni tradisional Jawa adalah Wayang.
Macam-macam Kesenian dan Tradisi Jawa
diantaranya: berupa bentuk selamtean atau seekah, selametan siklus kehidupan,
selametan perkawinan, selametan ulang tahun kematian tokoh, peringatan hari
besar agama, simbol penghormatan leluhur, seni arsitektur, tarian daerah,
kesenian peran ketoprak dan wayang yang mana mempunyai nilai filosofi
tersendiri-sendiri.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang kami
sampaikan. Dengan harapan semoga dapat bermanfaat bagi semua pihak. Kami
menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu,
kritik dan saran sangat diperlukan demi kemaslahatan kita semua. Dan semoga
kita bisa mengambil hikmahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anasom, dkk, Membangun
Negara Bermoral Etika Bernegara dalam Naskah Klasik Jawa- Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2004.
Chafidh,
M. Afnan, dan A. Ma’ruf Asrori, Tradisi
Islam, Surabaya: Khalista, 2009.
Khalil, Ahmad, Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan
Tradisi Jawa, Yogyakarta: Sukses Offset, 2008.
Nadlif,
Achmad dan M. Fadlun, Tradisi Keislaman, Surabaya: Al-Miftah, tth.
Rosyid,
Moh, Kebudayaan dan Pendidikan, Yogyakarta: STAIN Kudus, 2009.
Yuwono,
Trisno dan Pius Abdullah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis,
Surabaya: Arkola, 1994.
[1] Trisno Yuwono
dan Pius Abdullah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis, (Surabaya :
Arkola, 1994), hlm. 433.
[2] Achmad Nadlif
dan M. Fadlun, Tradisi Keislaman, (Surabaya: Al-Miftah, tth), hlm. 1.
[3] Anasom, dkk, Membangun Negara Bermoral- Etika
Bernegara dalam Naskah Klasik Jawa- Islam, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2004), Hlm:39-40.
[4] Moh. Rosyid, Kebudayaan
dan Pendidikan, (Yogyakarta : STAIN Kudus, 2009), hlm. 103-105.
[5] M.Afnan
Chafidh dan A.Ma’ruf Asrori, Tradisi
Islam, (Surabaya: Khalista, 2009), hlm. 6-8.
[6] Moh. Rosyid, Op.Cit.,
hlm. 106-109.
[7] Ahmad Khalil, Islam
Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (Yogyakarta: Sukses Offset,
2008), hlm. 108-125.
LIGANATION
BalasHapusBANDAR BOLA TERPERCAYA
BANDAR BOLA TERBESAR
JUDI BOLA ONLINE
JUDI BOLA
BANDAR CEME ONLINE
BANDAR CEME TERPERCAYA
JUDI POKER ONLINE
JUDI CAPSA
BANDAR CAPSA TEPERCAYA
BANDAR CAPSA ONLINE
AGEN CASINO ONLINE TERPERCAYA
JUDI CASINO ONLINE
BANDAR BACARRAT
BANDAR ROULET
AGEN BOLA TERPERCAYA
PASANG BOLA
CASINO SBOBET ONLINE
LIGANATION.NET AGEN BOLA TERPERCAYA LIGANATION.NET Agen Bola Terpercaya | Bandar Bola | Judi Bola Online
https://www.liganation.net/