Coretan-coretan sang Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang......

Rabu, 07 Mei 2014

Kesenian dan Tradisi Jawa

KESENIAN DAN TRADISI JAWA


MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : M. Aqil Luthfan, M.A., M. Hum




Disusun Oleh:
Iip Kasipul Qulub                   (113211025)
Miftahudin                             (113211032)




FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014


Kesenian dan Tradisi Jawa
I.                   PENDAHULUAN
Jawa memang sudah lekat dengan ragam kesenian dan tradisi unik yang melingkupi kehidupan masyarakatnya. Bahkan, meski kini zaman sudah berkembang dengan pesat, kesenian-kesenian dan tradisi-tradisi yang melekat dalam kehidupan masyarakat Jawa sejak zaman nenek moyang dahulu masih tetap dipertahankan. Kesenian- kesenian dan tradisi-tradisi masyarakat Jawa lekat dengan kesenian dan tradisi Hindu-Budha yang notabene pernah menjadi agama yang paling banyak dipeluk oleh masyarakat Jawa kuno. Namun, kesenian-kesenian dan tradisi-tradisi tersebut sudah mengalami akulturasi seiring masuknya agama Islam ke tanah Jawa. Hal tersebut dapat terjadi karena ajaran Islam telah mengatur segala jenis sendi-sendi kehidupan manusia, sehingga kesenian-kesenian dan tradisi-tradisi Jawa warisan nenek moyang yang berbau syirik atau tidak sesuai dengan ajaran Islam mengalami sedikit modifikasi.
Dalam kesempatan kali ini, kami membahas tentang kesenian dan tradisi masyarakat jawa beserta dengan aspek filosofis yang terdapat pada kesenian-kesenian dan tradisi-tradisi masyarakat jawa tersebut.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian Kesenian dan Tradisi Masyarakat Jawa?
B.     Apa saja dan Bagaimana filosofi macam-macam Kesenian dan Tradisi Masyarakat Jawa?

III.             PEMBAHASAN
A.    Pengertian kesenian dan tradisi masyarakat jawa
Menurut kamus bahasa Indonesia, kata tradisi berarti adat kebiasaan yang turun temurun.[1] Menurut Koentaraningrat (1987:187) mengatakan bahwa tradisi sama dengan adat istiadat, konsep serta aturan yang mantap dan terintegrasi kuat dalam sistem budaya disuatu kebudayaan yang menata tindakan manusia dalam bidang sosial kebudayaan itu.[2]
Secara sempit seni tradisi Jawa berarti karya seni yang diciptakan dan berasal dari pulau Jawa. Salah satu contoh dari seni tradisional Jawa adalah Wayang. Menurut penjelasan Sri Mulyono, kata ‘Wayang’ berasal dari bahasa Jawa asli dari kata “bayang” atau “bayang-bayang”. Ditarik dari akar kata “yang” dengan mendapat awalan “wa” menjadi “wayang”.  Kata “wayang” atau ”hamayang” pada waktu dulu berarti memepertunjukan bayangan, lambat laun menjadi pertunjuksn bayang-bayang dan kemudian menjadi seni pentas bayang atau wayang. Dalam Ensiklopedi Umum dijelaskan Wayang Purwo, merupakan cabang kesenian Jawa tertua, semacam tonil dengan boneka-boneka sebagai pelaku-pelakunya yang dimainkan dan diceriterakan oleh seorang “dalang”.[3]
B.     Macam-macam dan Filosofi Kesenian dan Tradisi Jawa
1.      Bentuk Selametan / Sedekah
Kata ‘sedekah’ dengan istilah lain ‘sodaqoh’ yang bermakna berderma atau  memberikan sesuatu (biasanya berupa barang) kepada pihak lain karena tendensi kemanusiaan, seperti iba, peduli, atau agar tercipta keakraban antar sesama.
a)      Sedekah bumi
Sedekah bumi merupakan aktivitas budaya yang dilaksanakan masyarakat (khususnya masyarakat pedesaan) yang dilaksanakan setahun sekali atau setiap terjadi peristiwa yang tidak menyamankan kehidupan sosialnya. Sepeti musibah berupa penyakit yang diderita warga atau wabah hama tanaman. Munculnya kata ’bumi’ diidentikkan dengan pelaksanaan ritual budaya yang bernuansa agamis karena mensyukuri anugerah Ilahi yang bersumber dari hasil bumi, aktivitas yang bergantung keramahan bumi (alam) atau panen hasil peternakan. Seperti pascapanen tanaman atau menjelang panen. Sedekah bumi dilaksanakan masyarakat yang berpenghasilan sebagai petani, petani dan pelaut, petambak, dan petambak yang juga petani.
b)      Sedekah laut
Sedekah laut identik dengan aktifitas budaya yang dilakukan warga masyarakat yang berpenghasilan dan atau berprofesi sebagai pelaut. Lazimnya pelaksanaan sedekah laut menjelang musim panen laut (berdasarkan prediksi pelaut) atau pascapanen hasil laut. Ada juga sedekah laut disertakan bersama peringatan wafatnya tokoh desa atau tetua adat desa. Munculnya pelaksanaan sedekah laut dengan pertimbangan, pertama, ungkapan syukur kepada Tuhan yang menganugerahi sumber kehidupan dari laut. Kedua, permisi (ungkapan izin) sebagai bentuk interaksi dengan sesama penghuni laut agar tercipata keselamatan selama mengais rizki di laut agar tidak diusik kenyamanannya. Penunggu laut dalam konteks ini diyakini oleh pelaut bahwa hamparan laut tidak hanya dihuni pelaut dalam mengais rizki, tetapi juga dihuni makhlus halus. Agar interaksi antara pelaut dengan penghuni lainnya tercipta interaksi (yang tidak kasat mata) secara harmonis, maka sedekah laut dijadikan mediasi (perantara) keakraban secara psikis dan tidak langsung antara penguasa laut (Tuhan), penghuni laut (makhluk gaib), komunitas laut (makhluk alam laut), dan pengais rizki dari laut (nelayan).
Adapun pernik-pernik yang disertakan dalam prosesi larung sesaji diantaranya adalah kepala kerbau yang menyimbolkan keperkasaan (kepala) dan ‘dihadiahkan’ kepada ‘penghuni’ laut sebagai bentuk interaksi simbolik.
2.      Selametan siklus kehidupan
Selametan siklus kehidupan meliputi kelahiran bayi, pasca kelahiran bayi berupa mengubur ari-ari atau tali pusat (placenta), kematian, fase kehidupan bayi (penguburan ari-ari/placenta),menindik telinga dan pasang anting-anting anak perempuan, dan perkawinan.[4]
a)      Ngapati (Ngupati)
Saat janin (embrio) berusia 120 hari (atau 4 bulan) dimulailah kehidupan dengan ruh, dan saat inilah ditentukan bagaimana ia berkehidupan selanjutnya, di dunia sampai di akhirat : “Ditentukan rezekinya, ajalnya, langkah-langkah prilakunya, dan sebagai orang yang celaka atau orang yang beruntung”.
Maka menyongsong penentuan ini, hendaklah diadakan upacara ngapati (ngupati) yaitu berdoa (sebagai sikap bersyukur, ketundukan dan kepasrahan); mengajukan permohonan kepada Allah agar nanti anak lahir sebagai manusia yang utuh sempurna, yang sehat, yang dianugerahi rizki yang baik dan lapang, berumur panjang yang penuh dengan nilai-nilai ibadah, beruntung di dunia dan di akhirat. Begitu pula hendaklah bersedekah. Kita ketahui bahwa doa dan sedekah adalah dua kekuatan yang bisa menembus takdir.
b)      Mitoni (Tingkepan)
Setelah kehamilan berusia sekitar 7 (tujuh) bulan, yaitu ketika kandungan dirasakan sudah berbobot dan berbeban, maka diadakan lagi upacara yang biasa disebut mitoni atau tingkepan. Dalam upacara mitoni (tingkepan) ini disamping bersedekah juga diisi pembacaan doa, dengan harapan si bayi dalam kandungan diberikan keselamatan serta ditakdirkan selalu dalam kebaikan kelak di dunia.[5]
c)      Menindik telinga dan pasang anting anak perempuan
Menindik telinga dan memberi anting bagi anak perempuan pada usia bayi (balita) menjadi tradisi universal. Penentuan usia bayi ditindik tidak sama setiap individu atau daerah, biasanya disertakan ketika prosesi potong puser (puputan) dengan tujuan membedakan identitas asesoris bahwa perempuan identik dengan asesoris tertentu, jika asesoris tertentu tersebut dikenakan pada laki-laki maka dianggap menyimpang tradisi.
Prosesi menindik dan beranting ini merupakan aktifitas penyimbolan menuju fase sebagai anak yang beridentitas jenis kelamin tertentu secara utuh dan diliputi budaya bancaan dengan sedekah kepada tetangga dalam jumlah kecil berupa kudapan atau makanan. Tradisi menindik diilhami nadzar Nabi Ibrahim As ketika beristri Siti Saroh tidak dikaruniai anak. Nabi Ibrahim menikah kedua dengan Siti Hajar dan bernadzar, jika dikaruniai anak laki-laki akan dijadikan kurban dan jika dikaruniai anak perempuan akan menindik kedua telinga, memotong ari-ari, dan mengkhitannya. Akhirnya lahirlah Ismail As dan dikurbankan, oleh Allah Nabi Ismail digantikan dengan domba dari surga.
Prosesi menindik menggunakan alat tradisional dan perangkat modern, seperti jarum jahit (untuk melubangi), minyak alkohol (mempermudah tembusnya pelubangan), benang (menduduki posisi anting sementara sebelum anting dipermanenkan di telinga), kunir dan bawang merah (langkah awal menetralisir agar tidak terjadi infeksi).
d)      Tedhak siten
Tedhak siten, dhun-dhunan, mudhun lemah adalah upacara penghormatan kepada bayi menuju fase kehidupannya berupa menginjakkan kaki pertama sebelum jalan (menapak) secara sempurna. Tedhak bermakna dekat dan siten sinonim dengan kata dari bahasa Jawa ‘siti’ yang bermakna tanah. Prosesi awal dalam meraih fase hidup tersebut, oleh orang tua dan keluarganya disongsong dengan doa.
3.      Selametan perkawinan
Termasuk selametan perkawinan dalan tradisi Jawa adalah perkawinan punjen. Kata ‘punjen’ bermakna terakhir atau dipanggul yakni sebagai bentuk ungkapan yang menyatakan tanggungjawab pada anak terakhir (bungsu) oleh orang tua berupa menikahkan atau strategi mengumpulkan anak yang telah dinikahkan (berkeluarga) oleh orang tuanya agar ikut menyaksikan perkawinan saudara mudanya. Perkawinan punjen atau tumplak punjen (tumpah), maksudnya menghadirkan keluarga yang tumpah-ruahndalam prosesi perkawinan, pungkasan, terakhir adalah perkawinan yang ditradisikan secara khas karena yang dinikahkan adalah anak terakhir (laki-laki atau perempuan).
Perkawinan ini dalam pelaksanaan budaya terdapat perbedaan dengan perkawinan lazimnya yang non-punjen berupa prosesi yang dilaksanakan pasca ijab nikah berupa pertama-tama kedua orang tua si bungsu ke pelaminan, diikuti anak beserta keluarganya, dibentuklah setengah lingkaran yang dikitari seluruh anak dan keluarganya diawali anak paling tua dst., orang tua membawa piranti berupa (i) paso, (ii) tampah, (iii) pecut, (iv) sabit, (v) kendi, (vi) bunga setaman, (vii) cincin, (viii) janur kuning, (ix) jajan pasar, (x) kantong, dan (xi) cambuk yang dicambukkan (secara simbolis) kepada seluruh anaknya, petuah orang tua kepada seluruh anak, acara sungkeman seluruh anak kepada orang tua, dan anak bungsu kepada kakak-kakaknya secara berurutan, diakhiri dengan doa dan slametan.
4.      Selametan ulang tahun kematian tokoh
Selametan kematian tokoh agama (khaul) seperti khaul Sunan Kudus, Sunan Muria, Kyai Mutamakkin Pati, Pangeran Puger, dan lainnya yang perlu digali ulang oleh kita.
5.      Peringatan hari besar agama
6.      Simbol penghormatan leluhur
a)      Pari joto
Mitos pari joto berkaitan dengan kiprah Sunan Muria yang berperang melawan Dampoawang berasal dari China membawa perahu (sampan)atau kaal berisi bahan obat dan rempah-rempah. Karena pertempuran tersebut, kapal tenggelam dan dimenangkan Sunan Muria.
Penamaam ‘pari joto’ menurut sejarah lisan, dinamakan oleh Sunan Muria, ketika istrinya mengandung dalam usia 4 bulan (akhirnya melahirkan putri diberi nama Dewi Nawangsih), nyidam/ngidam untuk dijadikan rujak karena terasa asam-pahit (Jawa ; sepet) dan bertepatan ketika Sunan Muria mengarang tembang Kinanthi Pari Joto,sekarang hanya dikenal tembang Kinanthi. Nama tersebut diabadikan oleh pedagang asongan yang berada di seputar wisata Gunung Muria dan makam Sunan Muria. Sunan Muria mengutus santrinya untuk mencarikan obat penghilang mual dan ditemukan bunga atau buah yang diabadikan hingga sekarang dengan nama Parijoto. Jika diurai dari segi penanaman, dari dua kata yakni ‘Pari’ dan ‘Joto’ karena bunga tersebut menyerupai pari/padi dan ‘joto’ merupakan simplifikasi dari kata nyoto/nyata (khasiatnya).
b)      Kayu pakis haji
Pakis haji merupakan pohon yang dikategorikan berbiji terbuka dan termasuk marga cycas dalam genus cycadeae. Pohon ini dimitoskan ketika masyarakat Desa Colo, sekitar Gunung Muria, mendapat wabah serangan hama tikus di lahan persawahannya. Oleh Sunan Muria, pohon tersebut dijadikan media pengusir tikus. Jika dirasionalkan, potongan pohon tersebut jika memanjang bermotif menyerupai ular welang (bermotif batik, kecoklatan), sehingga jika dirasionalkan dapat menakut-nakuti tikus.[6]
7.      Seni arsitektur bangunan jawa
Pembangunan jawa pada umumnya bangunan induk serta bangunan lain disekitarnya secara keseluruhan merupakan kompleks perumahan yang dinamakan “padepokan”, seni bangunan dari jaman sanjaya wangsa dan syailendra wangsa. Jawa juga dikenal dengan sebutan “the island of temples” karena memang di jawa tengah bertebaran candi-candi. Salah satu contohnya adalah pendopo agung yang berbentuk “joglo trajumas”, atapnya yang luas ditopang 4 soko guru (tiang pokok), 12 soko goco, dan 20 soko rowo. Kesemuanya membuat penampilan bangunan itu berkesan “momot”, artinya berkemampuan menampung segala hal, sesuai dengan fungsinya sebagai tempat menerima tamu. Contoh bangunan lain adalah bentuk rumah adat “joglo tajuk mangkurat”, “joglo pangrawit”, dan rumah bercorak “doro gepak”.

8.      Tarian daerah jawa
Tari jawa memiliki berbagai fungsi dalam kehidupan masyarakatnya. Selain sebagai hiburan, beberapa tarian lainnya juga memiliki fungsi sakral yaitu disajikan dalam pelantikan dan penghormatan raja-raja. Tarian jawa itu berwujud seni tari yang adiluhung, sakral, dan religius. Tari jawa tersebut banyak jenisnya. Tarian tersebut diantaranya sebagai berikut: (1) tari srimpi, (2) tari bedaya ketawang, (3) wireng, (4) prawirayudha, dan (5) tari kuda-kuda. Khusus di mangkunegaran disebut tari langendriyan, yang mengambil kisah damar wulan.
Tari yang terkenal di kraton solo diantaranya adalah srimpi dan bedaya ketawang. Sementara kraton kasunanan pakubuwono juga menciptakan tarian, yaitu tari srimpi. Tarian ini menggambarkan perang antara dua satria. Selain itu juga terdapat tarian jawa modern yang biasanya disajikan saat hajatan. Tayub merupakan salah satu tarian jawa yang biasa ditampilkan dalam hajatan.
9.      Seni peran ketoprak
Ketoprak adalah salah satu kebudayaan daerah jawa, yang mana kesenian ini diperankan oleh sekelompok orang dengan membawakan peran dan karakter dari tokoh-tokoh dan kisah-kisah cerita rakyat dari jawa. Cerita yang sering diangkat dalam ketoprak adalah ramayana dan mahabrata, yang kesemuanya bercerita tentang kebaikan akan selalu menang melawan keangkaramurkaan.
Karena itulah sebabnya mengapa masyarakat jawa memiliki sikap “andap asor”, lemah lembut, ramah tamah, sopan santun dan penuh filosofi.
10.  Wayang
Wayang adalah salah satu tradisi bercerita di Jawa Tengah yang masih ada hingga saat ini dan salah satu tradisi yang paling berkembang dan terkenal hingga ke penjuru dunia. wayang  merupakan salah satu kesenian jawa yang hingga sekarang ini masih eksis.
Kesenian wayang sering disajikan dalam hajatan. Wayang tidak jauh berbeda dengan ketoprak. Jika ketoprak diperankan oleh manusia, sementara tokoh-tokoh cerita dalam wayang diperankan dengan properti yang disebut wayang itu sendiri yakni sejenis miniatur dengan bentuk sosok manusia yang digambarkan sesuai dengan sifatnya dan berbahan dari kulit, wayang dijalankan oleh seorang dalang.
Beberapa alat yang digunakan dalam pewayangan diantaranya adalah: “kelir” (background dalam bentuk layar yang berupa kain berwarna putih), “blencong” (sejenis lampu yang digunakan untuk menambah kesan  dan menguatkan suasana dari jalan ceritanya), “debog” (batang pisang yang digunakan untuk menancapkan wayang-wayang yang hendak dimainkan), “cempala” dan “kepyak” (sejenis alat untuk menciptakan suara pengiring saat wayang dijalankan).[7]

IV.             KESIMPULAN
Tradisi sama dengan adat istiadat, konsep serta aturan yang mantap dan terintegrasi kuat dalam sistem budaya disuatu kebudayaan yang menata tindakan manusia dalam bidang sosial kebudayaan itu. Seni tradisi Jawa berarti karya seni yang diciptakan dan berasal dari pulau Jawa. Salah satu contoh dari seni tradisional Jawa adalah Wayang.
Macam-macam Kesenian dan Tradisi Jawa diantaranya: berupa bentuk selamtean atau seekah, selametan siklus kehidupan, selametan perkawinan, selametan ulang tahun kematian tokoh, peringatan hari besar agama, simbol penghormatan leluhur, seni arsitektur, tarian daerah, kesenian peran ketoprak dan wayang yang mana mempunyai nilai filosofi tersendiri-sendiri.

V.                PENUTUP
Demikian makalah yang kami sampaikan. Dengan harapan semoga dapat bermanfaat bagi semua pihak. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diperlukan demi kemaslahatan kita semua. Dan semoga kita bisa mengambil hikmahnya.


DAFTAR PUSTAKA
Anasom, dkk, Membangun Negara Bermoral Etika Bernegara dalam Naskah Klasik Jawa- Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2004.
Chafidh, M. Afnan, dan  A. Ma’ruf Asrori, Tradisi Islam, Surabaya: Khalista, 2009.
Khalil, AhmadIslam Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, Yogyakarta: Sukses Offset, 2008.
Nadlif, Achmad dan M. Fadlun, Tradisi Keislaman, Surabaya: Al-Miftah, tth.
Rosyid, Moh, Kebudayaan dan Pendidikan, Yogyakarta: STAIN Kudus, 2009.
Yuwono, Trisno dan Pius Abdullah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis, Surabaya: Arkola, 1994.




[1] Trisno Yuwono dan Pius Abdullah, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Praktis, (Surabaya : Arkola, 1994), hlm. 433.
[2] Achmad Nadlif dan M. Fadlun, Tradisi Keislaman, (Surabaya: Al-Miftah, tth), hlm. 1.
[3] Anasom, dkk, Membangun Negara Bermoral- Etika Bernegara dalam Naskah Klasik Jawa- Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2004), Hlm:39-40.
[4] Moh. Rosyid, Kebudayaan dan Pendidikan, (Yogyakarta : STAIN Kudus, 2009), hlm. 103-105.
[5] M.Afnan Chafidh dan  A.Ma’ruf Asrori, Tradisi Islam, (Surabaya: Khalista, 2009), hlm. 6-8.
[6] Moh. Rosyid, Op.Cit., hlm. 106-109.
[7] Ahmad Khalil, Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2008), hlm. 108-125.

1 komentar: