Coretan-coretan sang Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang......

Senin, 17 Maret 2014

Kaana Wa Akhwatuha

كان واخواتها

Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Nahwu 1
Dosen Pengampu: Ahmad Zuhruddin, M.Ag




Disusun Oleh:

Iip Kasipul Qulub     (113211025)
Khoirun Ni’am          (113211026)


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012


كان واخواتها
I.              Pendahuluan
Ilmu nahwu  merupakan salah satu ilmu alat yang bisa memahamkan kita dalam  berbahasa arab serta memahami al-Quran dan Hadits yang menjadi pedoman umat islam di dunia. Serta dapat memahamkan kita dalam mengkaji kitab-kitab karangan para ulama pada zaman dahulu maupun sekarang. Ilmu nahwu dan shorof kalau kita ibaratkan bagaikan perahu dan dayung yang kita gunakan untuk menuju ke sebuah pulau yang indah. Tanpa dayung dan perahu  tersebut kita tidak akan dapat menuju ke sebuah pulau tersebut, sama halnya apabila kita tidak tahu tentang ilmu  alat (nahwu dan shorof) kita tidak akan bisa memahami al-Quran dan Hadits secara baik dan benar.
Maka dari itu ilmu alat mempunyai peran yang sangat penting  sekali bagi kita semua sebagai media untuk memahamkan kita mempelajari konteks arab.
Dalam makalah ini akan dijelaskan sebagian kecil dari ilmu nahwu, yaitu tentang Kaana dan Saudara-saudaranya.
II.           Rumusan Masalah
A.       Apakah pengertian Kaana dan Akhwatnya?
B.       Apa saja yang termasuk Akhwatnya Kaana?
C.       Bagaimanakah amalnya Kaana dan Akhwatnya?
D.       Bagaimanakah pengertian Kaana Taam dan Kaana Naqhis?
III.        Pembahasan
a.      Pengertian Kaana dan Akhwatnya
Bagian pertama dari nawasikh ibtida, ialah kaana dan akhwatnya. Kemudian perlu diketahui, bahwa mubtada itu kadang-kadang dinasakh oleh fiil kaana, zhonna, Inna beserta akhwatnya masing-masing.[1]
Kaana dan akhwatnya merupakan salah satu dari amil nawasikh. Amil nawasikh ialah amil baik fiil maupun huruf yang merusak susunan jumlah ismiyah.
Menurut kesepakatan ahli nahwu kaana dan saudara-saudaranya merupakan fiil, kecuali lafadz laisa. Kebanyakan ahli nahwu berpendapat bahwa laisa adalah fiil. Akan tetapi al farisi dan Abu Bakar ibnu Syukair mengatakan bahwa laisa adalah huruf.[2]

b.      Akhwat Kaana

كَكَانَ ظَلَّ بَاتَ اَضْحَى اَصْبَحَا  #  اَمْسَى وَصَارَ لَيْسَ زَالَ بَرِحَا
فَتِئَ وَانْفَكَ وَهَذِى الْاَرْبَعَهْ  #  لِشِبْهِ نَفْيٍ اَوْ لِنَفْيِ مُتْبَعَهْ
وَمِثْلُ كَانَ دَامَ مَسْبُوْقًا بِمَا  #  كَاَعْطِ مَا دُمْتَ مُصِيْبًا دِرْهَمَا
Menyamai kaana dalam pengamalannya lafaz zhalla, baata, adhha, ashbaha, amsa, shara, laisa, zaala, bariha.
Fatia, infakka, empat lafaz (yang terakhir) ini disyaratkan diikuti dengan nafi atau serupa nafi
Dan menyamai kaana yaitu lafaz daama dengan didahului maa masdariyah dzorfiyah, seperti lafaz “A’thi maa dhumta mushiiban dirhaman”[3]

1.      Zhalla, bermakna menggambarkan bahwa hal yang diberitakan itu terjadi pada siang hari.ظَلَّ زَيْدٌ صَائِمًا  siang hari zaid puasa”
2.      Baata, bermakna menggambarkan bahwa hal yang diberitakan itu terjadi pada malam hari. بَاتَ زَيْدٌ سَاهِرًا “malam hari zaid sahur”
3.      Adh-ha, bermakna menggambarkan bahwa hal yang diberitakan itu terjadi pada waktu dhuha. اَضْحَى زَيْدٌ ذَاهِبًا “waktu dhuha zaid pergi”
4.      Ashbaha, bermakna menggambarkan bahwa hal yang diberitakan itu terjadi pada waktu pagi. اَصْبَحَ اْلبَرْدُ شَدِيْدًا “waktu shubuh dingin sekali”
5.      Amsa, bermakna menggambarkan bahwa hal yang diberitakan itu terjadi pada waktu sore hari. اَمْسَى زَيْدٌ رَاجِعًا “sore hari zaid pulang”
6.      Shara, bermakna perpindahan dari suatu keadaan ke keadaan lain.
      صَارَ زَيْدٌ عَاِلمًا “zaid menjadi orang yang alim”
7.      Laisa, bermakna bukan atau tidak. لَيْسَ زَيْدٌ طَبِيْبًا “zaid bukan dokter”
8.      Ma Zaala, bermakna senantiasa atau masih. مَازَالَ زَيْدٌ قَائِمًا “zaid masih berdiri”
9.      Ma Bariha, bermakna senantiasa atau masih. مَابَرِحَ زَيْدٌ صَائِمًا “zaid masih puasa”
10.  Ma Fatia, bermakna senantiasa atau masih. مَافَتِئَ زَيْدٌ فِى اْلمَسْجِدِ  “zaid masih di mesjid”
11.  Ma Infaka, bermakna senantiasa atau masih. مَابَرِحَ زَيْدٌ مُقِيْمًا “zaid masih bermuqim”
12.  Ma Daama, bermakna tetap dan terus menerus. اَعْطِ مَا دُمْتَ مُصِيْبًا دِرْهَمَا “berilah selagi kamu masih tetap memperoleh dirham”[4]

c.       Amalnya Kaana dan Akhwatnya

تَرْفَعُ كَانَ اْلمُبْتَدَا اسْمًا وَاْلخَبَرْ  #  تَنْصِبُهُ كَكَانَ سَيِّدًا عُمَرْ
Kaana merafakan mubtada sebagai isimnya, dan khabarnya di nashab-kan olehnya seperti “Kaana sayyidan Umar”[5]
Jadi, kaana dapat merafakan mubtada dan menashab-kan khabarnya mubtada, yang di-rafa-kannya dinamakan sebagai isimnya, dan yang dinashab-kannya dinamakan sebagai khabar-nya.
Seperti lafaz  كَانَ سَيِّدًا عُمَرْumar adalah sayyid”
Mengenai amalnya Kaana dan akhwatnya terbagi dua macam:
1.        Yang bisa beramal tanpa syarat, ialah:
كَكَانَ ظَلَّ بَاتَ اَضْحَى اَصْبَحَا  #  اَمْسَى وَصَارَ لَيْسَ. . . .
1.      كان
2.      بات
3.      ظل
4.      اضحى
5.      اصبح
6.      امسى
7.      صار
8.      ليس
2.        Yang bisa beramal dengan syarat sebagai berikut:
1.      Didahului dengan lafadz naafi atau syibih naafi, ialah:
. . . .زَالَ بَرِحَا
فَتِئَ وَانْفَكَ وَهَذِى الْاَرْبَعَهْ  #  لِشِبْهِ نَفْيٍ اَوْ لِنَفْيِ مُتْبَعَهْ               
1.      زَال
2.      بَرِحَ
3.      فَتِئَ
4.      انْفَكَ
2.      Didahului oleh maa masdariyah zhorfiyah, ialah:
وَمِثْلُ كَانَ دَامَ مَسْبُوْقًا بِمَا  #  كَاَعْطِ مَا دُمْتَ مُصِيْبًا دِرْهَمَا
1.      دَامَ

d.      Kaana Taam dan Kaana Naqhis

......  #  وَذُوْ تَمَامٍ مَا بِرَفْعٍ يَكْتَفِي
وَمَا سِوَاهُ نَاقِصٌ وَالنَّقْصُ فِى  #  فَتِئَ لَيْسَ زَالَ دَائِمًا قُفِي
Fiil yang tam ialah fiil yang merasa cukup dengan lafadz (fail) yang di rafakannya
Selain tam disebut fiil naqhis. Dalam lafadz fati’a, laisa, dan zaala, fiil naqhis yang selalu diberlakukan dalam beramal

Maksudnya bait di atas ialah bahwa fiil jenis ini terbagi dua bagian yaitu: Fiil Taam dan Fiil Naqhis. Yang dimaksud taam ialah fiil yang cukup dengan lafadz fail yang dirafakannya. Naqhis ialah fiil yang tidak cukup dengan lafadz  yang dirafakannya, bahkan membutuhkan lafadz yang dinashabkannya.
Semua fiil jenis ini boleh digunakan dalam keadaan taam kecuali lafadz Fati’a, dan Zaala yang fiil mudharinya berbentuk Yazaalu bukan yang berbentuk Yazuulu, karena mudhari yang kedua ini berasal dari fiil yang taam seperti dalam contoh berikut:
زالت الشمس   matahari telah tenggelam.
Dikecualikan pula dari fiil ini lafadz laisa karena lafadz laisa tidaklah digunakan selain dalam keadaan Naqhishah.
Contoh untuk fiil yang taam ialah firman Allah swt.
كُنْ  فَيَكُوْنُ   jadilah kamu maka terjadilah.
Contoh untuk fiil yang Naqhis ialah firman Allah set.
وَكَانَ اللهُ غَفُوْرًا رَحِيْمًا   dan Allah itu maha pengampun lagi maha penyayang.[6]


Surat Al-Ahzab ayat 9, 15 dan 24.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#rãä.øŒ$# spyJ÷èÏR «!$# ö/ä3øn=tæ øŒÎ) öNä3ø?uä!%y` ׊qãZã_ $uZù=yör'sù öNÍköŽn=tã $\tÍ #YŠqãZã_ur öN©9 $yd÷rts? 4 tb%Ÿ2ur ª!$# $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? #·ŽÅÁt/ ÇÒÈ
ôs)s9ur (#qçR%x. (#rßyg»tã ©!$# `ÏB ã@ö6s% Ÿw šcq9uqムt»t/÷ŠF{$# 4 tb%x.ur ßôgtã «!$# Zwqä«ó¡tB ÇÊÎÈ  
yÌôfuÏj9 ª!$# tûüÏ%Ï»¢Á9$# öNÎgÏ%ôÅÁÎ/ z>Éjyèãƒur šúüÉ)Ïÿ»oYßJø9$# bÎ) uä!$x© ÷rr& z>qçGtƒ öNÎgøŠn=tæ 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇËÍÈ  
IV.        Kesimpulan
1.      Kaana dan akhwatnya merupakan salah satu dari amil nawasikh, yaitu amil yang dapat merusak susunan jumlah ismiyah.
2.      Kaana dan akhwatnya amalnya yaitu merafakan mubtada yang menjadi isimnya, dan menashabkan khabar mubtada yang menjadi khabarnya
3.      Amalnya Kaana dan akhwatnya terbagi dua macam, yaitu:
1.      Bisa beramal tanpa syarat, yaitu: Kaana, Zhalla, Baata, Adh-ha, Ashbaha, Amsa, Shara, dan Laisa
2.      Bisa beramal dengan syarat, yaitu:
1.      Harus didahului dengan lafadz naafi atau syibih naafi, yaitu: Zaala, Bariha, Fatia, dan Infaka.
2.      Harus didahului oleh maa masdariyah zhorfiyah, yaitu: Daama
4.      Fiil Kaana terbagi dua bagian, yaitu Kaana Taam dan Kaana Naqhis

V.           Penutup
Demikian apa yang dapat disajikan oleh pemakalah, semoga dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya. Tentu masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan dalam makalah yang singkat ini, untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan demi penyempurnaan makalah ini.


Daftar Pustaka
Abu Bakar, Bahrun, Terjemahan Alfiyah  Syarah Ibnu Aqil, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2010.
Anwar, Moch, Tarjamah Matan Alfiyah, Bandung: Alma’arif, 1972.
Shofwan, M. Sholihuddin, Terjemah Alfiyah Ibnu Malik, Jombang: Darul Hikmah, 2007.






[1] Moch. Anwar, Tarjamah Matan Alfiyah (Bandung: Alma’arif, 1972), hlm. 84.
[2] Bahrun Abu Bakar, Terjemahan Alfiyah Syarah Ibnu Aqil (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2010), hlm. 175.
[3] M. Sholihuddin Shofwan, Terjemah Alfiyah Ibnu Malik (Jombang: Darul Hikmah, 2007), hlm. 24.
[4] Bahrun Abu Bakar, Op.Cit, hlm. 178.
[5] Bahrun Abu Bakar, Op.Cit, hlm. 175.
[6]Abu Bakar, Terjemahan Alfiyah Syarah Ibnu Aqil,  hlm. 180.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar