PERUBAHAN SOSIAL
MASYARAKAT ISLAM
DI MASA UMAR BIN
KHATTAB
MAKALAH
Disusun
guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Sejarah Peradaban Islam
Dosen
Pengampu: Drs. H. M. Solikhin Noor, M.Ag.
Disusun
oleh:
Laely Zulfa (113211007)
Muhammad Ulil Abshor (113211008)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.
PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang benar, yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW. Islam adalah satu-satunya agama yang diakui di sisi Allah. Nabi
SAW menyebarkan agama Islam dengan melalui berbagai rintangan berat, pada
awalnya, penyebaran dilakukan secara sembunyi-sembunyi hingga akhirnya
dilakukan secara terang-terangan. Islam hadir untuk menyadarkan
manusia hingga manusia keluar dari kesesatan.
Setelah Nabi wafat, muncullah khulafaur rasyidin sebagai pengganti kepemimpinan Nabi SAW, terdiri
dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi
Thalib. Umar bin Khattab adalah khalifah
kedua yang menggantikan kedudukan Abu Bakar. Umar sangat terkenal dengan kejeniusan,
kebijaksanaan, ketegasan dan kegigihannya. Hal inilah yang mengakibatkan Islam dapat
berkembang dan menyebar dengan pesat.
Dalam makalah ini akan dibahas latar belakang Umar,
proses pengangkatannya sebagai khalifah, dan perubahan sosial masyarakat Islam
pada masa pemerintahannya.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana latar
belakang kehidupan Umar bin Khattab?
B.
Bagaimana
pengangkatan Umar bin Khattab sebagai khalifah?
C.
Bagaimana
perubahan sosial masyarakat Islam di masa Umar bin Khattab?
III. PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Kehidupan Umar bin
Khattab
Umar bin Khattab memiliki nama lengkap Umar bin
Khattab bin Nufail bin Abd al-Uzza bin Ribaah bin Abdillah bin Qart bin Razail
bin ‘Adi bin Ka’ab bin Lu’ay. Ia lahir di Makkah dari keturunan suku Quraisy
yang terpandang terhormat. Ia lahir 4 tahun sebelum terjadinya perang Fijar.
Sebelum masuk Islam, Umar termasuk di antara kaum
kafir Quraisy yang paling ditakuti oleh orang-orang yang sudah masuk Islam. Dia
adalah musuh dan penentang Nabi Muhammad SAW yang paling ganas dan kejam.
Bahkan sangat besar keinginannya untuk membunuh Nabi dan para pengikutnya. Dia
sering menyebar fitnah dan menuduh Nabi sebagai penyair tukang tenung.[1]
Di zaman Jahiliyah, Umar biasa mengunjungi
tempat-tempat keji dan pusat kejahatan. Makkah sendiri pada saat itu merupakan
sebuah kota yang paling menonjol dalam soal kemewahan dan kemungkaran,
dibanding dengan kota-kota lain di jazirah Arab. Dia senantiasa siap melakukan
pemerkosaan terhadap siapa saja yang berani menantangnya, dan siap menimbulkan
huru-hara dan keributan di mana saja.[2]
Setelah Umar
masuk Islam pada bulan Dzulhijjah, 6 tahun setelah kerasulan Nabi Muhammad SAW,
kepribadiannya bertolak belakang dengan keadaan sebelumnya. Dia berubah menjadi
salah seorang yang gigih dan setia membela agama Islam. Bahkan dia termasuk
seorang sahabat yang terkemuka dan paling dekat dengan Nabi Muhammad SAW.[3]
B.
Pengangkatan Umar bin Khattab
sebagai Khalifah
Setelah Abu Bakar meninggal dunia pada tahun 634 M,
kepemimpinan diganti oleh Umar bin Khattab. Umar dipilih secara musyawarah
antara Abu Bakar yang sedang sakit dengan para sahabat. Kemudian Umar dibaiat
sebagai khalifah, dan ia memperkenalkan istilah Amir al-Mu’minin (komandan orang-orang yang beriman). Umar
memerintah selama 10 tahun 6 bulan 4 hari (13-23 H/634-644 M).[4]
Ada beberapa faktor yang mendorong Abu Bakar untuk
menunjuk Umar menjadi khalifah, di antaranya:
1. kekhawatiran peristiwa
yang sangat menegangkan di Tsaqifah Bani Sa’idah yang nyaris menyeret umat
Islam ke jurang perpecahan akan terulang kembali, bila ia tidak menunjuk
seorang yang akan menggantikannya.
2. kaum Anshar dan
Muhajirin saling mengklaim sebagai golongan yang berhak menjadi khalifah.
3. umat Islam pada saat
itu baru saja selesai menumpas kaum murtad dan pembangkang.
Berangkat dari kondisi politik yang demikian,
tampaknya tidak menguntungkan apabila pemilihan khalifah diserahkan sepenuhnya
kepada umat secara langsung. Jika alternatif ini dipilih, besar kemungkinan
akan timbul kontroversi berkepanjangan di kalangan umat Islam.
Dalam menunjuk Umar sebagai penggantinya, Abu Bakar
tetap mengadakan musyawarah atau konsultasi terbatas dengan beberapa sahabat
senior, antara lain: Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, dan Asid bin
Hadhir, seorang tokoh Anshar. Konsultasi ini menghasilkan persetujuan atas
pilihannya pada Umar secara objektif.
Setelah dibai’at menjadi khalifah, Umar menyampaikan
pidato penerimaan jabatannya di Masjid Nabawi di hadapan kaum muslimin. Dalam
pidatonya, tergambarkan pandangan Umar bahwa jabatan khalifah adalah tugas yang
berat sebagai amanah dan ujian. Antara pemimpin dan yang dipimpin harus
terjalin hubungan timbal balik yang seimbang dalam melaksanakan tugas tersebut.
Setiap urusan harus diselesaikan oleh khalifah dengan baik. Khalifah harus
memilih orang-orang yang benar dan bisa memegang amanah untuk membantunya.
Hukum harus ditegakkan terhadap pelaku tanpa memandang dari pihak manapun.[5]
C.
Perubahan Sosial Masyarakat Islam
di Masa Umar bin Khattab
1. Pembuatan kalender
hijriyah
Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, terjadi
perubahan-perubahan dalam bidang sosial. Umar mengarahkan konsolidasi ajaran
Islam dan mendefinisikan cara hidup Islam. Abu Bakar telah menetapkan bahwa
Islam bukan hanya sebuah cita-cita abstrak tentang masyarakat, tetapi satu
komunitas khusus dengan tujuan mengubah dunia. Umar memformalkan ini dengan menetapkan
kalender baru yang diawali dengan peristiwa hijrah, pindahnya kaum muslim ke
Madinah. Kalender Umar mengabadikan keyakinan bahwa Islam bukan hanya sebuah
rencana untuk keselamatan pribadi, tetapi rencana tentang bagaimana dunia harus
dijalankan.
2. Penggalian hukum dengan
melakukan penalaran logis
Abu bakar telah memerintah dengan kerendahan
hatinya, mencoba untuk tidak pernah memaksakan kehendaknya sendiri, tetapi
hanya mengelola arahan yang ditetapkan oleh al-Qur’an dan Nabi. Umar menjadikan
sikap ini landasan ajaran Islam. Ia menugaskan kaum muslim untuk menentukan apa
yang diarahkan wahyu dalam berbagai kasus, besar dan kecil.[6]
Setiap kali muncul sebuah keputusan yang sulit, Umar
berkonsultasi dengan para sahabat Nabi untuk mencari tahu apa yang akan
dikatakan atau dilakukan Nabi dalam situasi yang sama. Setiap kali para sahabat
membuat keputusan dengan cara ini, Umar meminta juru tulis untuk mencatatnya
dan mengirimkan keputusan itu kepada gubernur-gubernur provinsi untuk digunakan
sebagai dasar pengambilan keputusan mereka.
Umar mendanai sekelompok cendekiawan untuk
menghabiskan waktu mereka mempelajari wahyu, kisah-kisah kehidupan Muhammad,
dan data terkait lainnya, sehingga ketika membutuhkan nasihat ahli dia bisa
mendapatkannya dari orang-orang di bangku ini, sebuah benih yang tumbuh menjadi
salah satu lembaga sosial Islam utama, yakni ulama, atau sarjana.
Ketika dia sedang membentuk hukum Islam, Umar sibuk
menerapkan doktrin kehidupan sosial di Madinah, yang membawa pada sisi keras kepribadiannya.
Umar tidak mempunyai toleransi terhadap para pelanggar aturan.[7]
Al-Qur’an tidak menyebutkan hukuman tertentu untuk
meminum khamr, tapi Umar menyimpulkan hukum itu dengan analogi. Analogi dalam
kasus ini mengambil alur sebagai berikut: Al-Qur’an menetapkan hukum cambuk
untuk fitnah. Karena meminum khamr dapat membuat seseorang mengucapkan fitnah,
maka hukuman untuk meminum khamr juga berupa cambuk. Modus argumen dengan
analogi ini menjadi contoh yang kemudian banyak digunakan oleh ahli hukum
Islam.
3. Pelarangan keras
terhadap perzinaan
Mengkhawatirkan kekuatan destruktif seks yang tidak
sah, Umar menegakkan tindakan paling keras terhadap perzinaan. Bahkan, dia
mengamanatkan rajam untuk pezina, yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an tetapi
ada di dalam hukum Musa, yang berasal dari masa Pra-Al-Qur’an.
4. Pelarangan Perkawinan
Sementara
Umar melarang kebiasaan perkawinan sementara di
Arab, yang memungkinkan orang untuk menikahi wanita selama
beberapa hari. Umar menganggapnya prostitusi,
yaitu pertukaran
hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan (pelacuran). Praktik ini dilegitimasi
(disahkan) oleh fuqaha’ Syi’ah dalam aturan hukum mereka.[8]
5. Menetapkan prinsip
persamaan antara laki-laki dan perempuan
Pada masa Umar, pendidikan adalah wajib bagi anak
laki-laki maupun perempuan dalam komunitas muslim. perempuan bekerja bersama
laki-laki, mereka mengambil bagian dalam kehidupan publik, menghadiri ceramah,
dan pergi berperang sebagai bantuan kemanusiaan. Keputusan-keputusan penting
yang dihadapi masyarakat dibicarakan dalam rapat-rapat umum, Umar
berpartisipasi hanya sebagai sesama warga masyarakat. Perempuan maupun
laki-laki terlibat dalam perdebatan tanpa rasa sungkan kepadanya.[9]
6.
Larangan
bersidang ketika sedang emosional
Umar melarang sikap marah, pikiran kacau, perasaan
tidak senang, dan berlaku kasar terhadap para pihak. Karena kebenaran itu hanya
berada dalam jiwa yang tenang dan niat yang bersih.
Dalam mempertimbangkan perkara, khalifah Umar
melakukan dua hal penting, yaitu:
a. Beliau mampu menguasai
dan mengendalikan diri untuk tidak terburu-buru dalam menjatuhkan vonis.
b. Beliau memanfaatkan
tenaga ahli/penasehat ahli
Upaya yang dilakukan oleh Umar dengan meminta
bantuan penasehat ahli dinamakan tahlil
unshuril jarimah, yaitu dengan menganalisis unsur-unsur kejahatan tersebut.
Misalnya, pemeriksaan darah, sidik jari, dan sebagainya seperti dalam peristiwa
pembunuhan. [10]
7. Pemberian batasan dalam
praktek perbudakan
Pada abad ke-7 M, setiap masyarakat di dunia
memperbolehkan perbudakan, begitu juga Arabia. Islam tidak melarang praktek
itu, tetapi membatasi kekuasaan majikan
atas seorang budak, dan Umar memberlakukan aturan ini secara ketat. Jika
seorang pria menghamili seorang budak, ia harus menikah dengannya, yang berarti
anaknya akan lahir sebagai seorang muslim dan menjadi merdeka.
Majikan tidak boleh menganiaya atau menyakiti budak,
yang memiliki hak asasi manusia yang sama seperti orang-orang bebas. Umar
memerintah seorang majikan untuk memberikan makanan kepada budaknya seperti
yang ia makan dan bahkan mengajak budak itu untuk makan bersama-sama
keluarganya. Jika ditarik kesimpulan, perbudakan mungkin akan berakhir di dunia
Islam pada masa awal kekhalifahan. Tetapi pada prakteknya, masyarakat muslim
mengalami kemunduran dalam hal ini. [11]
Ironisnya,
karir Umar sendiri berakhir ketika seorang budak Kristen dari Persia bernama
Abu Lu’lu’ah menikamkan sebilah pisau ke perutnya ketika shalat shubuh
berjama’ah di masjid Nabawi. Khalifah yang dalam keadaan terluka itu membentuk syura (komisi pemilih) yang akan memilih
penerus kekhalifahannya. Beliau wafat setelah tiga hari penikaman, pada tanggal
1 Muharram 23 H/644 M.[12]
IV. PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Penutup
Demikian makalah
yang telah kami susun. Kami menyadari adanya kekurangan dalam penyusunan
makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca. Amin
DAFTAR PUSTAKA
Ansary, Tamim, Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia Versi Islam, Jakarta: Zaman,
2010.
‘Azam, Abdurrahman, Keagungan Nabi Muhammad SAW, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2001.
Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam: Dari Arab sebelum Islam hingga
Dinasti-dinasti Islam, Yogyakarta: Teras, 2012.
Supriyadi, Dedi,
Sejarah Peradaban Islam, Bandung:
Pustaka Setia, 2008.
[1] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung:
Pustaka Setia, 2008), hlm. 77-78.
[2] Abdurrahman ‘Azam, Keagungan Nabi Muhammad SAW, (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 2001), hlm. 204.
[3] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 78.
[4] Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam: Dari Arab sebelum Islam hingga
Dinasti-dinasti Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm.58-59.
[5] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 78-80.
[6] Tamim Ansary, Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia Versi
Islam, (Jakarta: Zaman, 2010), hlm. 99-100.
[7] Tamim Ansary, Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia Versi
Islam, hlm. 101.
[8] Tamim Ansary, Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia Versi
Islam, hlm. 102.
[9] Tamim Ansary, Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia Versi
Islam, hlm. 103.
[10] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 84-85.
[11] Tamim Ansary, Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia Versi
Islam, hlm. 103-104.
[12] Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam: Dari Arab sebelum Islam hingga
Dinasti-dinasti Islam, hlm. 59.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar