Coretan-coretan sang Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang......

Minggu, 23 Maret 2014

Perubahan Sosial Masyarakat Islam di Masa Umar Bin Khattab

PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT ISLAM
DI MASA UMAR BIN KHATTAB



MAKALAH
Disusun guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu: Drs. H. M. Solikhin Noor, M.Ag.
  

 

Disusun oleh:
Laely Zulfa                            (113211007)
Muhammad Ulil Abshor        (113211008)



FAKULTAS  ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013

I.       PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang benar, yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Islam adalah satu-satunya agama yang diakui di sisi Allah. Nabi SAW menyebarkan agama Islam dengan melalui berbagai rintangan berat, pada awalnya, penyebaran dilakukan secara sembunyi-sembunyi hingga akhirnya dilakukan secara terang-terangan. Islam hadir untuk menyadarkan manusia hingga manusia keluar dari kesesatan.
Setelah Nabi wafat, muncullah khulafaur rasyidin sebagai pengganti kepemimpinan Nabi SAW, terdiri dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.  Umar bin Khattab adalah khalifah kedua yang menggantikan kedudukan Abu Bakar. Umar sangat terkenal dengan kejeniusan, kebijaksanaan, ketegasan dan kegigihannya. Hal inilah yang mengakibatkan Islam dapat berkembang dan menyebar dengan pesat.
Dalam makalah ini akan dibahas latar belakang Umar, proses pengangkatannya sebagai khalifah, dan perubahan sosial masyarakat Islam pada masa pemerintahannya.

II.    RUMUSAN MASALAH
A.       Bagaimana latar belakang kehidupan Umar bin Khattab?
B.        Bagaimana pengangkatan Umar bin Khattab sebagai khalifah?
C.        Bagaimana perubahan sosial masyarakat Islam di masa Umar bin Khattab?

III. PEMBAHASAN
A.    Latar Belakang Kehidupan Umar bin Khattab
Umar bin Khattab memiliki nama lengkap Umar bin Khattab bin Nufail bin Abd al-Uzza bin Ribaah bin Abdillah bin Qart bin Razail bin ‘Adi bin Ka’ab bin Lu’ay. Ia lahir di Makkah dari keturunan suku Quraisy yang terpandang terhormat. Ia lahir 4 tahun sebelum terjadinya perang Fijar.
Sebelum masuk Islam, Umar termasuk di antara kaum kafir Quraisy yang paling ditakuti oleh orang-orang yang sudah masuk Islam. Dia adalah musuh dan penentang Nabi Muhammad SAW yang paling ganas dan kejam. Bahkan sangat besar keinginannya untuk membunuh Nabi dan para pengikutnya. Dia sering menyebar fitnah dan menuduh Nabi sebagai penyair tukang tenung.[1]
Di zaman Jahiliyah, Umar biasa mengunjungi tempat-tempat keji dan pusat kejahatan. Makkah sendiri pada saat itu merupakan sebuah kota yang paling menonjol dalam soal kemewahan dan kemungkaran, dibanding dengan kota-kota lain di jazirah Arab. Dia senantiasa siap melakukan pemerkosaan terhadap siapa saja yang berani menantangnya, dan siap menimbulkan huru-hara dan keributan di mana saja.[2]
 Setelah Umar masuk Islam pada bulan Dzulhijjah, 6 tahun setelah kerasulan Nabi Muhammad SAW, kepribadiannya bertolak belakang dengan keadaan sebelumnya. Dia berubah menjadi salah seorang yang gigih dan setia membela agama Islam. Bahkan dia termasuk seorang sahabat yang terkemuka dan paling dekat dengan Nabi Muhammad SAW.[3]

B.     Pengangkatan Umar bin Khattab sebagai Khalifah
Setelah Abu Bakar meninggal dunia pada tahun 634 M, kepemimpinan diganti oleh Umar bin Khattab. Umar dipilih secara musyawarah antara Abu Bakar yang sedang sakit dengan para sahabat. Kemudian Umar dibaiat sebagai khalifah, dan ia memperkenalkan istilah Amir al-Mu’minin (komandan orang-orang yang beriman). Umar memerintah selama 10 tahun 6 bulan 4 hari (13-23 H/634-644 M).[4]
Ada beberapa faktor yang mendorong Abu Bakar untuk menunjuk Umar menjadi khalifah, di antaranya:
1.      kekhawatiran peristiwa yang sangat menegangkan di Tsaqifah Bani Sa’idah yang nyaris menyeret umat Islam ke jurang perpecahan akan terulang kembali, bila ia tidak menunjuk seorang yang akan menggantikannya.
2.      kaum Anshar dan Muhajirin saling mengklaim sebagai golongan yang berhak menjadi khalifah.
3.      umat Islam pada saat itu baru saja selesai menumpas kaum murtad dan pembangkang.
Berangkat dari kondisi politik yang demikian, tampaknya tidak menguntungkan apabila pemilihan khalifah diserahkan sepenuhnya kepada umat secara langsung. Jika alternatif ini dipilih, besar kemungkinan akan timbul kontroversi berkepanjangan di kalangan umat Islam.
Dalam menunjuk Umar sebagai penggantinya, Abu Bakar tetap mengadakan musyawarah atau konsultasi terbatas dengan beberapa sahabat senior, antara lain: Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, dan Asid bin Hadhir, seorang tokoh Anshar. Konsultasi ini menghasilkan persetujuan atas pilihannya pada Umar secara objektif.
Setelah dibai’at menjadi khalifah, Umar menyampaikan pidato penerimaan jabatannya di Masjid Nabawi di hadapan kaum muslimin. Dalam pidatonya, tergambarkan pandangan Umar bahwa jabatan khalifah adalah tugas yang berat sebagai amanah dan ujian. Antara pemimpin dan yang dipimpin harus terjalin hubungan timbal balik yang seimbang dalam melaksanakan tugas tersebut. Setiap urusan harus diselesaikan oleh khalifah dengan baik. Khalifah harus memilih orang-orang yang benar dan bisa memegang amanah untuk membantunya. Hukum harus ditegakkan terhadap pelaku tanpa memandang dari pihak manapun.[5] 

C.    Perubahan Sosial Masyarakat Islam di Masa Umar bin Khattab
1.      Pembuatan kalender hijriyah
Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, terjadi perubahan-perubahan dalam bidang sosial. Umar mengarahkan konsolidasi ajaran Islam dan mendefinisikan cara hidup Islam. Abu Bakar telah menetapkan bahwa Islam bukan hanya sebuah cita-cita abstrak tentang masyarakat, tetapi satu komunitas khusus dengan tujuan mengubah dunia. Umar memformalkan ini dengan menetapkan kalender baru yang diawali dengan peristiwa hijrah, pindahnya kaum muslim ke Madinah. Kalender Umar mengabadikan keyakinan bahwa Islam bukan hanya sebuah rencana untuk keselamatan pribadi, tetapi rencana tentang bagaimana dunia harus dijalankan.
2.      Penggalian hukum dengan melakukan penalaran logis
Abu bakar telah memerintah dengan kerendahan hatinya, mencoba untuk tidak pernah memaksakan kehendaknya sendiri, tetapi hanya mengelola arahan yang ditetapkan oleh al-Qur’an dan Nabi. Umar menjadikan sikap ini landasan ajaran Islam. Ia menugaskan kaum muslim untuk menentukan apa yang diarahkan wahyu dalam berbagai kasus, besar dan kecil.[6]
Setiap kali muncul sebuah keputusan yang sulit, Umar berkonsultasi dengan para sahabat Nabi untuk mencari tahu apa yang akan dikatakan atau dilakukan Nabi dalam situasi yang sama. Setiap kali para sahabat membuat keputusan dengan cara ini, Umar meminta juru tulis untuk mencatatnya dan mengirimkan keputusan itu kepada gubernur-gubernur provinsi untuk digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan mereka.
Umar mendanai sekelompok cendekiawan untuk menghabiskan waktu mereka mempelajari wahyu, kisah-kisah kehidupan Muhammad, dan data terkait lainnya, sehingga ketika membutuhkan nasihat ahli dia bisa mendapatkannya dari orang-orang di bangku ini, sebuah benih yang tumbuh menjadi salah satu lembaga sosial Islam utama, yakni ulama, atau sarjana.
Ketika dia sedang membentuk hukum Islam, Umar sibuk menerapkan doktrin kehidupan sosial di Madinah, yang membawa pada sisi keras kepribadiannya. Umar tidak mempunyai toleransi terhadap para pelanggar aturan.[7]
Al-Qur’an tidak menyebutkan hukuman tertentu untuk meminum khamr, tapi Umar menyimpulkan hukum itu dengan analogi. Analogi dalam kasus ini mengambil alur sebagai berikut: Al-Qur’an menetapkan hukum cambuk untuk fitnah. Karena meminum khamr dapat membuat seseorang mengucapkan fitnah, maka hukuman untuk meminum khamr juga berupa cambuk. Modus argumen dengan analogi ini menjadi contoh yang kemudian banyak digunakan oleh ahli hukum Islam.
3.      Pelarangan keras terhadap perzinaan
Mengkhawatirkan kekuatan destruktif seks yang tidak sah, Umar menegakkan tindakan paling keras terhadap perzinaan. Bahkan, dia mengamanatkan rajam untuk pezina, yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an tetapi ada di dalam hukum Musa, yang berasal dari masa Pra-Al-Qur’an.
4.      Pelarangan Perkawinan Sementara
Umar melarang kebiasaan perkawinan sementara di Arab, yang memungkinkan orang untuk menikahi wanita selama beberapa hari. Umar menganggapnya prostitusi, yaitu pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan (pelacuran). Praktik ini dilegitimasi (disahkan) oleh fuqaha’ Syi’ah dalam aturan hukum mereka.[8]
5.      Menetapkan prinsip persamaan antara laki-laki dan perempuan
Pada masa Umar, pendidikan adalah wajib bagi anak laki-laki maupun perempuan dalam komunitas muslim. perempuan bekerja bersama laki-laki, mereka mengambil bagian dalam kehidupan publik, menghadiri ceramah, dan pergi berperang sebagai bantuan kemanusiaan. Keputusan-keputusan penting yang dihadapi masyarakat dibicarakan dalam rapat-rapat umum, Umar berpartisipasi hanya sebagai sesama warga masyarakat. Perempuan maupun laki-laki terlibat dalam perdebatan tanpa rasa sungkan kepadanya.[9]
6.     Larangan bersidang ketika sedang emosional
Umar melarang sikap marah, pikiran kacau, perasaan tidak senang, dan berlaku kasar terhadap para pihak. Karena kebenaran itu hanya berada dalam jiwa yang tenang dan niat yang bersih.
Dalam mempertimbangkan perkara, khalifah Umar melakukan dua hal penting, yaitu:
a.       Beliau mampu menguasai dan mengendalikan diri untuk tidak terburu-buru dalam menjatuhkan vonis.
b.      Beliau memanfaatkan tenaga ahli/penasehat ahli
Upaya yang dilakukan oleh Umar dengan meminta bantuan penasehat ahli dinamakan tahlil unshuril jarimah, yaitu dengan menganalisis unsur-unsur kejahatan tersebut. Misalnya, pemeriksaan darah, sidik jari, dan sebagainya seperti dalam peristiwa pembunuhan. [10]
7.      Pemberian batasan dalam praktek perbudakan
Pada abad ke-7 M, setiap masyarakat di dunia memperbolehkan perbudakan, begitu juga Arabia. Islam tidak melarang praktek itu, tetapi  membatasi kekuasaan majikan atas seorang budak, dan Umar memberlakukan aturan ini secara ketat. Jika seorang pria menghamili seorang budak, ia harus menikah dengannya, yang berarti anaknya akan lahir sebagai seorang muslim dan menjadi merdeka.
Majikan tidak boleh menganiaya atau menyakiti budak, yang memiliki hak asasi manusia yang sama seperti orang-orang bebas. Umar memerintah seorang majikan untuk memberikan makanan kepada budaknya seperti yang ia makan dan bahkan mengajak budak itu untuk makan bersama-sama keluarganya. Jika ditarik kesimpulan, perbudakan mungkin akan berakhir di dunia Islam pada masa awal kekhalifahan. Tetapi pada prakteknya, masyarakat muslim mengalami kemunduran dalam hal ini. [11]
Ironisnya, karir Umar sendiri berakhir ketika seorang budak Kristen dari Persia bernama Abu Lu’lu’ah menikamkan sebilah pisau ke perutnya ketika shalat shubuh berjama’ah di masjid Nabawi. Khalifah yang dalam keadaan terluka itu membentuk syura (komisi pemilih) yang akan memilih penerus kekhalifahannya. Beliau wafat setelah tiga hari penikaman, pada tanggal 1 Muharram 23 H/644 M.[12]

IV. PENUTUP
A.    Kesimpulan

B.     Penutup
Demikian makalah yang telah kami susun. Kami menyadari adanya kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Amin

DAFTAR PUSTAKA

Ansary, Tamim, Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia Versi Islam, Jakarta: Zaman, 2010.
‘Azam, Abdurrahman, Keagungan Nabi Muhammad SAW, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2001.
Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam: Dari Arab sebelum Islam hingga Dinasti-dinasti Islam, Yogyakarta: Teras, 2012.
Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008.




[1] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 77-78.
[2] Abdurrahman ‘Azam, Keagungan Nabi Muhammad SAW, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2001), hlm. 204.
[3] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 78.
[4] Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam: Dari Arab sebelum Islam hingga Dinasti-dinasti Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm.58-59.
[5] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 78-80.
[6] Tamim Ansary, Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia Versi Islam, (Jakarta: Zaman, 2010), hlm. 99-100.
[7] Tamim Ansary, Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia Versi Islam, hlm. 101.
[8] Tamim Ansary, Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia Versi Islam, hlm. 102.
[9] Tamim Ansary, Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia Versi Islam, hlm. 103.
[10] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 84-85.
[11] Tamim Ansary, Dari Puncak Bagdad: Sejarah Dunia Versi Islam, hlm. 103-104.
[12] Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam: Dari Arab sebelum Islam hingga Dinasti-dinasti Islam, hlm. 59.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar