Coretan-coretan sang Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang......

Selasa, 18 Maret 2014

al-Wasl

الوصل


MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Balaghoh
Dosen Pengampu: Mahfudz Shiddiq, Lc, M.Ag




Disusun Oleh:

Muhammad Fathoni                                     113211033
    Muhammad Agus Salim                               113211034


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013

       I.            PENDAHULUAN
Sebagai umat Islam, memahami bahasa Arab adalah salah satu hal yang sangat penting bagi kehidupan, karena dari bahasa Arab tertulis asas-asas kehidupan dan keagamaan yang menjadi pegangan di dunia. Al Quran adalah kitab pedoman yang merangkum segala hal dari semua aspek kehidupan. 
Bahasa Arab merupakan bahasa yang memiliki karakeristik yang berbeda dengan bahasa-bahasa yang lain. Bahasa Arab mempunyai beberapa komponen dalam penulisan dan pengucapan. Dalam pengucapan, bahasa arab tidak hanya sekedar merangkai kata menjadi kalimat. Akan tetapi rangkaian kata tersebut harus memiliki suatu makna sehingga mampu di pahami oleh pendengar.
Diantara cabang ilmu tata bahasa Arab, balaghoh merupakan ilmu yang mempelajari tata bahasa dimana ungkapan yang disampaikan dapat dipahami oleh pendengar. Sebagaimana penghimpunan atau penggabungan kata dalam kalimat yang dikenal dengan washl. Selain itu, juga beberapa penempatan washl dalam susunan kalimat akan dijelaskan dalam makalah ini.

    II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian washl?
B.     Bagaimana penempatan washl dalam susunan kalimat
 III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian Washl
Washl menurut bahasa ialah menghimpun, menghubungkan atau menggabungkan. Sedangkan Washl menurut istilah adalah:
الوصل عطف جملة علي أخري بالواو[1]
Mengathafkan suatu kalimat dengan kalimat yang lain dengan wawu.
Dalam kitab Qowaidu Lughotu Arobiyyah di sebutkan,

الوصل عطف جملة علي أخري[2]
Mengathafkan suatu kalimat dengan kalimat yang lain.
Sedangkan menurut Syaikh Ya’qub Imil Badi’ dalam kitabnya menyebutkan,

الوصل هو إستخدام واوالعطف بين جملتين[3]
Penggunaaan wawu athqaf di antara dua kalimat.
Dari uraian pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa Washl adalah menggabungkan dua kalimat dengan huruf athaf.
            B.   Penempatan Washl didalam susuna kalimat
                        Dalam susunan suatu kalimat adakalanya kalimat tersebut diharuskan untuk menghubungkan dengan kalimat berikutnya. Dan adakalanya dipisah (fashl). Diantara kalimat yang mengaharuskan untuk diwashl dalam kalimat adalah sebagai berikut:  
1.  Saling berhubungan  didalam i’rabnya. Contohnya:
زيد قام أبوه وقعد أخوه[4]
Ayahnya Zaid bediri dan saudaranya duduk.
            Pada contoh berikut, lafal قام  dan قعد menjadi fiil dan lafal أبوه dan أخوه menjadi failnya. Keduanya sama-sama dalam keadaan rafa’ dan di sambung dengan huruf athaf wawu.
قال أبوالعلاء المعري:     وحبّ العيش أعبد كلّ حرّ * وعلّم ساغيا أكل المرار
Cinta kehidupan itu memperbudak setiap orang merdeka dan mengajarkan orang yang lapar untuk makan tumbuh-tumbuhan yang pahit.

Syair diatas mengharapkan dua kalimat tersebut menduduki I’rob sebagai khobar dari mubtada’ sebelumnya dan menggabungkan kalimat yang kedua didalam hokum I’robnya. Dan oleh karena itu wajib washl.

2.   Diwajibkan Washl ketika dua kalimat cocok sebagai kalimat khobar atau insya’    dan mempunyai keserupaan yang sempurna tanpa adanya sebab yang menuntut adanya fashl diantara keduanya. Contoh :
وقال الأحنف بن قيس : لاوفاءَ لكذوبٌ ولا راحةَ لحسودٌ
Tidak cukup untuk sombong dan tidak berhenti untuk dengki.
Dalam contoh ini, dua kalimat yang tidak cocok didalam kalam khobar dan keduanya serupa di dalam makna dan karena tidak di temukannya sesuatu yang menuntut fashl maka di wajibkan washl. [5]
3. Adanya Fashl (pemisah) membutuhkan makna, yaitu dua kalimat yang berbeda         baik berupa kalam khobar dan insya’ dimana diantara keduanya terdapat kesempurnaan pemisah  oleh karena itu wajib fash, sebagaimana yang telah kita ketahui sebelumnya. Akan tetapi dalam kalimat tersebut terdapat penghalang dari wajibnya fashl karena fashl menyusun penggabungan didalam kebutuhan makna.    
[6]هل خرج صاحبك من المستشفي؟ فتقول: لا, وعافاه الله  يسأل سائل:                
Penanya bertanya, “Apakah temanmu telah keluar dari rumah sakit?” Kemudian dijawab, “Tidak, dan semoga Allah menyembuhkannya”
Ketika orang yang dikenai pertanyaan itu hanya cukup menjawa  "لا" maka hal ini di katakana kalimat khobariyah karena dari lafal  لا mengira-ngirakan kalimat        لم تخرج من المستشفي . Sedangkan kalimat عافاه الله  berupa kalimat Insyaiyyah karena maksud dari kalimat itu adalah do’a. Dan sebagaimana telah diketahui apabila dua kalimat itu berbeda, maka wajib fashl. Akan tetapi, jika kamu mengatakan, لا, عافاه الله   maka hal itu akan di kira sebagai do’a bagi orang yang dikenai pertanyaan padahal bukan demikian maksud yang diharapkan. Dan untuk menafikan perasangka ini, didatangkanlah wawu.
Oleh karenanya ulama’ balaghoh mengatakan hal ini sebagai kamalul inqitho’ yang disertai dengan persangkaan. Mereka mengatakan demikian, ketika diantara dua kalimat wajib difashl, kecuali jika ada persangkaan dengan perubahan makna maka hal itu diwajibkan washl.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                     
 IV.            KESIMPULAN
Secara bahasa Washl ialah menghimpun, menghubungkan atau menggabungkan. Sedangkan menurut istilah ulama balaghoh, washl berarti menggabungkan dua kalimat dengan huruf athaf.
Dalam susunan suatu kalimat adakalanya suatu kalimat mengharuskan untuk disambungkan dengan kalimat berikutnya. Dan terkadang ada pula yang dipisah (difashl). Diantara penempatan washl dalam kalimat adalah sebagai berikut:
1.      Saling berhubungan  didalam i’rabnya.
2.      Diwajibkan Washl ketika dua kalimat cocok sebagai kalimat khobar atau insya’ dan mempunyai keserupaan yang sempurna tanpa adanya sebab yang menuntut adanya fashl diantara keduanya.
3.      Adanya Fashl (pemisah) membutuhkan makna.
    V.            PENUTUP
Demikian makalah ini kami buat, semoga bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah pada khususnya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan  makalah ini, oleh karenanya bagi pembaca disarankan juga untuk membaca lebih lanjut pada referensi lain.  Saran dan kritik yang konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdurrahman bin Muhammad Al Akhdlori, Taqriraat Al Jauharul Maknun, (Kediri: Hidayatul Mubtadi’in bil Ma’had Islami Lirboyo,1512)
Ali Al Jaarim dan Mushtofa Amin, Balaghah Wadhihah, (Banland: Darul Ma’arif, tth)
Fadil Hasan Abbas, Balaghah Funnunuha Wa Afnanuha, (Jami’ah Ardanivah: Darul Furqon, 1997)
Hifni Bik Nasif dkk, Qawaid Alughah Al Arabiyah, (Semarang: PT. Toha Putra, tth)
Imil Badi’ Ya’qub, al Mu’ayyin fi al Balaghah,(Beirut : Word Of Books, 2000





[1] Ali Al Jaarim dan Mushtofa Amin, Balaghah Wadhihah, (Banland: Darul Ma’arif, tth), hlm. 230
[2] Hifni Bik Nasif dkk, Qawaid Alughah Al Arabiyah, (Semarang: PT. Toha Putra, tth), hlm. 114
[3] Imil Badi’ Ya’qub, al Mu’ayyin fi al Balaghah,(Beirut : Word Of Books, 2000), hlm. 208.
[4] Abdurrahman bin Muhammad Al Akhdlori, Taqriraat Al Jauharul Maknun, (Kediri: Hidayatul Mubtadi’in bil Ma’had Islami Lirboyo,1512), hlm.68
[5] Ali Al Jaarim dan Mushtofa Amin, Balaghah Wadhihah, (Banland: Darul Ma’arif, tth), hlm. 233-234
[6] Fadil Hasan Abbas, Balaghah Funnunuha Wa Afnanuha, (Jami’ah Ardanivah: Darul Furqon, 1997), hlm.  427

Tidak ada komentar:

Posting Komentar