Coretan-coretan sang Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang......

Minggu, 09 Maret 2014

Pokok-Pokok Ajaran Islam dan Perasaan Malu

POKOK-POKOK AJARAN ISLAM
DAN PERASAAN MALU

Makalah
Disusun guna Memenuhi Tugas
Mata kuliah: Hadits
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. M. Erfan Soebahar, M.A.




Disusun oleh:
Siti Munadhiroh                      113211011
Furaida Ayu Musyrifa             113211023
Hilmi Sahab                            113211024
Ahmad Najib                          113211042


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012


POKOK-POKOK AJARAN AGAMA ISLAM
DAN PERASAAN MALU

I.         PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang diturunkan Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW yang dimana dalam ajaran agama Islam tersebut menyempurnakan ajaran-ajaran agama nabi-nabi yang ada sebelum nabi Muhammad SAW. Allah SWT juga menegaskan bahwa ajaran agama Islam merupakan ajaran agama yang sempurna dan Allah SWT juga telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya dalam agama Islam.
Dalam agama Islam terdapat beberapa pokok atau pilar yang sangat urgen yang mana apabila pokok atau pilar ini tidak terdapat pada diri seorang muslim, maka keislamannya diragukan. Pilar atau pokok tersebut yang begitu urgen di antaranya adalah 1) iman, 2) Islam, 3) ihsan. Ketiga pilar tersebut menjadi sendi pokok yang bersifat urgen dalam ajaran agama Islam. Serta di dalamnya juga termasuk rukun iman dan rukun Islam. Di antara rukun iman tersebut adalah iman akan datangnya hari kiamat kelak. Rukun iman tentunya dirasa  sangat berat untuk dijadikan sebuah keyakinan karena semua rukun iman itu bersifat ghaib dan belum pernah kita lihat. Berbeda halnya dengan rukun Islam, yang mana rukun Islam itu lebih menitik beratkan pada sebuah tuntutan.
Seseorang yang sudah mempunyai iman, Islam dan ihsan, tentu dalam dirinya akan timbul perasaan malu jikalau dirinya melakukan hal-hal yang menyimpang dari ajaran agama Islam karena perasaan malu mempunyai relasi yang kuat dengan iman. Semakin tinggi iman seseorang, maka semakin tinggi pula perasaan malu untuk melakukan hal-hal yang menyimpang dari ajaran agama Islam. Maka di dalam makalah ini akan membahas tentang pengertian Iman, Islam, Ihsan, Hari kiamat dan perasaan malu.

II.      HADIST TERJAMAH
A.    Hadist Umar bin Khattab tentang Iman, Islam, Ihsan dan Hari Kiamat
عَنْ عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ ، قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ ، اِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَذِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ ، شَذِيْدُ سَوَادِ الشَّعَرِ ، لَا يُرَى عَلَيْهِ اَثَرُ السَّفَرِ ، وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا اَحَدٌحَتَّى جَلَسَ اِلَى النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَاَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ اِلَى رُكْبَتَيْهِ، وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ. وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، اَخْبِرْنِيْ عَنِ اْلِاسْلَامِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((اَلْاِسْلَامُ اَنْ تَشْهَدَ اَنْ لَااِلَهَ اِلَّا اللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ, وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ, وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ, وَتَحُجَّ الْبَيْتَ, إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلًا)). قَالَ: صَدَقْتَ. قَالَ: فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّ قُهُ. قَالَ:  فَأَخْبِرْنِى عَنِ الْاِيْمَانِ، قَالَ: (( أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرَسُلِهِ، وَاْليَوْمِ الْاَخِرِ، وَتُؤْمِنُ بِاْلقَدْرِ} خَيْرِهِ وَشَرِّهِ)). قَالَ: صَدَقَتْ. قَالَ: فَباخْبِرْنِي عَنِ اْلاِحْسَانِ، قَالَ: (( اَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَاَنَّكَ تَرَاهُ، فَاِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ، فَاِنَّهُ يَرَاكَ )). قَالَ: فَاَخْبِرْنِيْ عَنِ السَّاعَةِ. قَالَ: ((مَا اْلمسْئُوْلُ عَنْهَا بِاَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ)).  قَالَ: فَاَخْبِرْنِيْ عَنْ اَمَارَتِهَا. قَالَ: ((اَنْ تـَلِدَ اْلَامَةُ رَبَّتَهَا، وَاَنْ تَرَى الْحُفَاةَ اْلعُرَاةَ اْلعَالَةَ، رِعَاءَ الشَّاءِ، يَتَطَاوَلُوْنَ فِى الْبُنْيَانِ)). قَالَ: ثُمَّ انْطَلَقَ. فَلَبِثْتُ مَلِيًّا. ثُمَّ قَالَ لِيْ: ((يَا عُمَرُ، اَتَدْرِيْ مَنِ السَّائِلَ))؟ قُلْتُ: اللهُ وَرَسُولُهُ اَعْلَمُ، قَالَ: ((فَاِنَّهُ جِبْرِيْلُ، اَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ)).(اخرجه مسلم فى كتاب الايمان)
Dari Umar bin Khathab RA, Umar berkata: Suatu hari muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih, rambutnya hitam sekali dan tampak tanda-tanda perjalanan. Tidak seorang pun dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah saw kedua kakinya menghimpit kedua kaki Rasulullah saw, dan kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha rasulullah saw, seraya berkata, “ ya Muhammad, beritahu aku tentang islam. “ Lalu Rasulullah Saw menjawab, “ Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Mhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu. “ kemudian dia bertanya lagi, “ Kini beritahu aku tentang iman.” Rasulullah Saw menjawab, “ beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya, hari akhir dan beriman kepada Qodar baik dan buruknya.” Orang itu lantas berkata.” Benar. Kini beritahu aku tentang ihsan.” Rasulullah berkata, “ beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihatNya walaupun anda tidak melihatNya, karena sesungguhnya Allah melihat anda.” Dia bertanya lgi, “ Beritahu aku tentang assa’ah ( hari kiamat) .” Rasulullah menjawab,” Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.” Kemudian dia bertanya lagi, Beritahu aku tentang tanda-tandanya.” Rasululah menjawab, “ Seorang budak wanita melahirkan majikanya. Orang-orang tanpa sandal, setengah telanjang, melarat, dan penggembala unta masing-masing berlomba membangun gedung-gedung bertingkat.” Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandanagn mata. Lalu Rasulullah saw bertanya kepada umar,” Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi? “ Lalu Umar Menjawab, “ Allah dan Rasulnya lebih mengetahui.” Rasululah lantas berkata, Itulah jibril datang untuk mengajarkan agama kalian.” ( HR. Muslim)[1]

B.     Hadist Abu Hurairah tentang Perasaan Malu
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلْحَيَاءُ مِنَ اْلِايْمَانِ وَاْلِايْمَانُ فِي الْجَنَّةِ وَاْلبَذَاءُ مِنَ اْلجَفَاءِ وَالْجَفَاءُ فِي النَّارِ (اخرجه الترمذي كتاب البر والصلة)[2]
Dari Abu hurairoh berkata, Rasulullah SAW berkata: Malu sebagian dari iman dan iman itu membawa pada keselamatan (jorok). Perkataan jorok itu sebagian dari perangai yang buruk dan perangai yang buruk itu membawa pada kesengsaraan (neraka).

III.   PEMBAHASAN
A.       Pengertian Iman, Islam, Ihsan dan Hari Kiamat
1.      Iman
Iman berasal dari kata أَمَنَ-يُؤْمِنُ-إِيْمَانًا, artinya percaya. أَمِنَ-يَأْمَنُ-أَمِنًا berarti aman dan damai. Percaya adalah pengakuan dan keyakinan seseorang terhadap sesuatu. Ia mengakui dan meyakini suatu kebenaran secara benar tanpa adanya keraguan sedikit pun, serta meyakini suatu kesalahan secara benar pula, artinya menyakini bahwa sesuatu itu memang kesalahan yang benar-benar salah.
Iman menurut Al-Qur’an berarti suatu keyakinan mantap dalam hati. Melalui iman seorang mukmin meyakini dan mempercayai Allah Swt bahwa Allah swt adalah satu-satunya tuhan pencipta semesta alam yang Maha Benar, sumber kebenaran dan pemberi kebenaran.
Menurut hadist di atas, iman meliputi enam perkara, yakni:
·      Iman kepada Allah.
·      Iman kepada malaikat-malaikat Allah.
·      Iman kepada kitab-kitab Allah.
·      Iman kepada rasul-rasul Allah.
·      Iman kepada hari akhir.
·      Iman kepada qodho’ dan qadar Allah.
Benih-benih iman yang telah di tanamkan Allah kepada manusia sejak mereka diciptakan perlu adanya tindak lanjut untuk menumbuhkan benih-benih iman supaya bisa tumbuh dan menaungi diri mereka dan orang lain. Dalam hal ini orang tualah yang sangat berperan penting dalam menumbuhkan benih-benih iman.
Imam Ghazali mengatakan setiap orang mempunyai potensi untuk melihat, tetapi ia tidak dapat melihat apabila tidak ada cahaya yang masuk ke dalam mata, begitu juga dengan potensi iman yang dimiliki seseorang harus ditindaklanjuti oleh orang tua dan lingkungan.[3]

2.      Islam
Islam berasal dari kataسَلِمَ-يَسْلَمُ-سِلْمًا , artinya damai, jauh dari sifat permusuhan dan pertengkaran. Sedangkan dari asal kata سَلِمَ-يَسْلَمُ-سَلَامٌ yang artinya sejahtera, selamat dan bersih. Menurut syara’, Islam adalah agama Allah yang mengajarkan keimanan, mentaukidkan Allah Swt. dan menentang segala bentuk kemusyrikan, kezaliman, kekufuran, kebatilan dan sebagainya.[4]
Didalam hadist diatas juga di terangkan pengertian islam, Islam dibangun  (ditegakkan atas lima perkara, yaitu: syahadat, bahwa tiada tuhan selain Allah dan nabi Muhammad Saw adalah utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, melaksanakan haji dan puasa di bulan ramadhan.
Kelima pilar di atas adalah pokok-pokok ajaran islam berupa ibadah. Ibadah-ibadah tersebut kemudian dirangkum menjadi rukun islam. Adapun rukun islam wajib ditegakkan seluruhnya dan tidak boleh ditinggalkan sama sekali.
Islam seperti pokok kayu. Rukun iman sebagai urat atau akar, sedangkan rukun islam sebagai batang, dahan dan ranting. Iman mempunyai kedudukan yang jauh lebih penting dari rukun islam. Begitu pula keadaan seorang islam yang tak beriman, atau lemah imannya karena tidak dipupuk dan dipelihara, agamanya akan merana, tidak ada perhatian dan kegiatan padanya untuk melakukan ibadat yang dinamakan rukun islam yang lima. Orang yang beragama islam yang tidak melakukan ibadat, adalah agamanya itu ibarat pokok kayu yang tak berbuah.[5]

3.      Ihsan
Ihsan secara etimologi artinya berbuat baik. Berbuat baik itu tidak hanya di lakukan kepada Allah Swt sebagai pencipta alam semesta namun juga kepada manusia. Kita tidak bisa lepas dari bimbingan Allah Swt sedikit pun karena Allah pemberi hidayah dan rahmat. Kita tidak bisa lepas dari manusia juga karena jati diri manusia itu sebagai makhluk sosial yang membutuhkan manusia lain atau makhluk lain.
        Ihsan kepada Allah berarti menyembah Allah dengan ikhlas, seakan-akan melihat Allah dihadapan kita. Dengan begitu dalam melaksanakan semua perbuatan kita merasa sedang di pantau oleh Allah Swt, khususnya dalam hal beribadah kepada Allah.
Sedangkan ihsan kepada manusia adalah berbuat baik kepada manusia sesuai dengan aturan kemasyarakatan dan aturan muamalah yang seharusnya. Kita dalam bergaul dengan lingkungan sekitar yakni masyarakat tentunya mempunyai aturan-aturan, karena apabila tidak ada aturan dalam bergaul dengan masyarakat, maka akan timbul yang namanya permusuhan, hasud, dengki dan lain-lain.

4.        Hari kiamat
Beriman kepada hari kiamat adalah mempercayai sepenuh hati bahwa hari kiamat pasti datangnya. Tak ada seorangpun yang mampu menolak dan menahannya walau dengan teknologi secanggih apaupun, karena datangnya hari kiamat itu sudah merupakan ketentuan Allah Swt pada zaman azali dan tidak ada kekuatan manapun yang dapat menandingi qodrat Allah Swt. Kiamat itu tidak dapat diketahui kapan waktu datangnya, akan tetapi dapat diketahui akan kedatanganya melalui tanda-tanda yang telah tercantum dalam hadits maupun al qur’an, diantaranya adalah[6]:
a.    Orang tua melahirkan anak yang bertindak sebagai tuannya.
Dari salah satu tanda hari kiamat di atas dapat dipahami bahwa sudah banyak anak yang memperbudak orang tuanya sendiri. Sukanya bermain-main, ketika pulang, tahunya makanan siap, pakaian bersih, uang jajan cukup dan segala kebutuhan cukup. ketika dewasa, anak itu semakin menganggap orang tuanya sebagai manusia tidak berguna.
Sungguh anak yang demikian itu termasuk anak yang durhaka dan mempercepat datangnya hari kiamat karena dia telah memperbudak orang tuanya sendiri.
b.    Orang-orang yang tidak beradab terpilih menjadi pemimpin.
Itu berarti orang sudah tidak memperdulikan kompetensi dan keahlian untuk diserahi kepemimpinan. Yang diburu hanyalah uang, keterkenalan dan banyak teman. Padahal tidak mudah untuk menjadi seorang pemimpin yang baik.
Seorang pemimpin yang baik haruslah memiliki pengetahuan yang luas, mampu mengeluarkan seluruh potensi masyarakat untuk mencapai kemaslahatan masyarakat, serta mampu berhubungan baik dengan segenap lapisan masyarakat.
Jika syarat-syarat kepemimpinan tersebut tidak dimiliki oleh seorang pemimpin, maka yang terjadi adalah kesesatan dan menyesatkan. Hal ini adalah salah satu sebab cepat datangnya hari kiamat.
c.    Kaum tidak terdidik berlomba-lomba membangun rumah.
Ini artinya orang-orang yang tidak berpendidikan justru mendapatkan peluang meraih kesuksesan duniawi. Orang-orang pandai dan berilmu justru terpinggirkan dan tidak diberi kesempatan.
Saat ini sudah banyak terjadi bahwa kesuksesan seseorang tidak lagi ditentukan oleh pendidikan dan ilmu pendidikan tetapi lebih didominasi oleh faktor-faktor yang bernilai rendah.
Sesudah terjadinya kiamat itu, semua roh-roh manusia diberi bertubuh kembali seperti kehidupan di dunia sekarang ini. Semua manusia yang pernah hidup di dunia ini sekalipun hanya satu detik lamanya, akan ditiup kembali. Dan inilah yang dinamai kehidupan akhirat, yaitu satu macam kehidupan yang hampir sama dengan kehidupan di dunia sekarang ini, tetapi berlainan sifat dan keadaannya.
Kehidupan akhirat yang kekal dan abadi itu gunanya ialah untuk mempertanggungjawabkan semua amal perbuatan apa saja yang pernah dilakukan semasa hidupnya di dunia.[7]
  
B.       Pengertian Malu
Malu adalah mencegah lisan dari perkataan–perkataan yang jelek yang di benci Allah dan manusia, mencegah diri dari perbuatan yang jelek.  malu itu ada tiga macam di antaranya yaitu:
1.    Malu kepada Allah.
عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ مَسْعُوْدِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ النَّبِيَ عَلَيْهِ وَالصَّلاُة وَالسَّلاَمُ قَالَ: اِسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ قَالَ: فَقُلْنَا: يَانَبِيَّ اللهِ اِنْ نَسْتَحْيِ قَالَ لَيْسَ ذَلِكَ اسْتِحْيَاءُ وَلَكِنْ مَنِ اسْتَحْيِ مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الَّرأْسِ وَمَاحَوَى وَالْبَطَنَ وَمَاوَعَى وَاْليَذْكُرُالْمَوْتَى وَاْلبَلَى وَمَنْ اَرَادَالْأَخِرَةَ تَرَكَ زِيْنَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاثَرَ الْأَخِرَةِ عَلَى اْلُاوْلَى فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدِاسْتَحْيَا مِنَ اللهِ تَعَالَى حَقُّ الْحَيَاءِ.
 dari Abdullah bin Mas’ud ra, bahwa nabi Muhammad Saw bersabda: malulah kepada Allah Swt dengan sungguh-sungguh”. Para sahabat menjawab, “ Wahai nabi Allah, sesungguhnya kami telah malu kepadanya. Nabi Muhammad berkata: bukan iu yang dinamakan malu kepadanya. Tetapi barang siapa malu kepadanya maka jagalah kepala serta kandunganya, perut serta kandunganya, jangan sampai menjalankan hal-hal yang dilarang Allah. disamping itu kenanglah kematian. Barang siapa menghendaki akhirat, maka tinggalkanlah perhiasan kehidupan dunia, seta menangkanlah urusan akhirat. Barang siapa mengerjakan itu semua, berarti dia benar-benar malu kepada Allah.[8]

Dari uraian diatas, menjelaskan bahwa yang dinamakan malu kepada Allah bukanlah hanya sekedar malu tidak mengerjakan sholat ataupun yang lainya, akan tetapi malu apabila dirinya atau anggota tubuhnya masuk atau berada pada hal-hal yang dilarang Allah. Misalnya: makan makanan yang dilarang Allah Swt, makan barang riba dan lain-lain. Maka dari itu, menjaga diri atau tubuh kita agar tidak kemasukan hal-hal yang dilarang oleh Allah Swt adalah sangat penting sekali karena disamping merugikan diri sendiri, besok pada hari kiamat kita akan dihisab oleh Allah. Begitu hina apabila kita masuk neraka sebab makan barang haram.

2.    Malu kepada sesama manusia
Malu sesama manusia yaitu malu apabila diri kita untuk menyakiti orang lain dan meninggalkan sesuatu yang jelek dengan menjauhi perkataan yang tidak berfaidah bagi orang lain. Malu kepada sesama manusia ini harus dipunyai oleh setiap orang, khususnya orang-orang muslim, karena watak seorang manusia adalah makhluk sosial yang artinya manusia itu tidak mungkin akan bisa hidup sendirian tanpa manusia lain. Maka dari itu kita sebagai makhluk sosial harus menjaga diri kita agar tidak menyakiti manusia lain yang ada di sekitar kita. Akan tetapi jika malu dalam kebaikan maka hal tersebut juga tidak bisa dikatakan dengan malu.

3.    Malu kepada diri sendiri
Sebelum kita malu kepada orang lain maupun malu kepada Allah Swt., kita harus malu kepada diri sendiri dulu. Karena apabila kita malu terhadap diri kita sendiri dulu, maka tentu kita akan malu kepada Allah Swt. dan malu kepada sesama juga. Jika seorang manusia tidak mempunyai rasa malu terhadap diri sendiri, maka apabila seorang tadi melakukan perbuatan tercela menjadi biasa. Tidak diragukan lagi bahwa kehinaan dan malapetaka yang ditimpakan oleh Allah Swt kepada manusia, itu karena salah manusia sendiri. Mereka sudah tidak mempunyai rasa malu kepada dirinya sendiri ketika melakukan dosa. Akan tetapi jika kita malu kepada hal kebaikan, misalnya dalam mengembangkan diri kita untuk bisa berbahasa arab, maka hal tersebut tidak dikatakan dengan malu.
Perasaan malu itu akan mendatangkan pada kebaikan, karena setiap malu mengandung kebaikan. Seperti dalam hadits yang diceritakan oleh Imran bin Husain ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “perasaan malu selalu mendatangkan kebaikan”.[9]

C.       Penerapan malu dalam kehidupan sehari-hari
Jika seseorang muslim mempunyai iman yang kuat, pasti di dalam dirinya akan terdapat rasa malu jika akan melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah, baik malu pada Allah, malu kepada sesama manusia, lebih-lebih malu pada diri sendiri. Akan tetapi malu harus ditempatkan sesuai dengan tempatnya, misalnya jika kita berbicara atau bercakap-cakap dengan bahasa arab, haruskah kita malu? Tentunya tidak, karena apabila kita malu maka kita tidak akan bisa berbicara dengan bahasa arab. Berbeda halnya jika kita melakukan kejahatan. Kalau kita melakukan kejahatan, kita harus malu baik malu kepada Allah, malu kepada sesama manusia maupun kapada diri sendiri, jika dalam hal kebaikan itu tidak ada kata malu.

IV.   PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kita sebagai mahkluk ciptakan Allah yang memiliki keistimewaan daripada makhluk yang lainnya diwajibkan untuk beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rosul-rosul-Nya, Hari kiamat, dan Qodho dan Qadar dari Allah Swt. Dengan kita beriman maka kita akan menambah ketaqwaaan, menjalankan semua perintah-Nya seperti sholat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan menjalankan haji bagi yang mampu. Kemudian kita juga harus menjauhi semua larangan-Nya (Amar ma’ruf nahi munkar).
Seseorang yang memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Allah senantiasa akan menjalankan perintah-Nya dengan ikhlas dan semua apa yang ia kerjakan seolah-olah Allah  mengetahuinya. Kita di ciptakan hanyalah untuk menyembah kepada Allah, karena Allah akan membalas apa yang manusia perbuaat di dunia.
Setiap manusia juga memiliki perasaan malu, malu kepada Allah, diri sendiri dan sesama manusia. Perasaan malu itu penting karena malu sebagian dari iman, bahkan apabila ia tidak memiliki perasaan malu maka ia akan berbuat dengan seenaknya dan mudah untuk melakukan perbuatan yang tercela, tetapi orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah pasti ia akan mempunyai perasaan malu.

B.     Penutup
Demikian makalah ini kami sampaikan, tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik sangat kami harapkan guna kesempurnaan makalah ini, dan semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca dan kita semua. Amin



DAFTAR PUSTAKA


Al-Arif, Ahmad  Adib, Aqidah  Akhlak  jilid 1, Semarang: Aneka Ilmu, 2009.

             , Aqidah Akhlak  jilid 3, Semarang: Aneka Ilmu, 2009.

Al-Hajaj, Imam Abi Khusain Muslim bin, Shohih Muslim juz 1, Libanon: Darul Kuthub Al ‘Alamiyah, 1971.

Al-Imam, Abu Zakaria Yahya bin Syaraf  An-Nawawi, Terjemah Riyadhus Sholihin, Jakarta: Pustaka Amani, 1999.
Al-Qozwini, Imam Abi Abdulloh Muhammad bin  Zaidin, Sunan Ibnu Majjah juz 3, Kairo: Darul Ibnu Haitsami, T.th.

Arifin, Bey, Mengenal Tuhan, Bandung: Umar  Hasan  Mansoor, 1960.

Muhammad, Sayyid, At Tarbiyah Wa Tahdib, Surabaya: Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhan Wa Auladihi, T.th.

Wahyuddin, Achmad, dkk, Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, Jakarta: PT Grasindo, 2009.














[1] Imam Abi Khusain Muslim bin Al Hajaj,  Shohih Muslim juz 1, (Libanon: Darul Kuthub Al ‘Alamiyah, 1971),  hlm. 29-30.

[2] Imam Abi Abdulloh Muhammad bin  Zaidin  Al-qozwini, Sunan Ibnu Majjah juz 3, (Kairo: Darul Ibnu Haitsami, T.th), hlm. 239.
[3] Achmad wahyuddin, dkk, Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: PT Grasindo, 2009), hlm. 34-35.

[4] Ahmad  Adib Al-Arif, Aqidah  Akhlak  jilid 1, (Semarang: Aneka Ilmu, 2009), hlm. 7-9.

[5] Bey Arifin, Mengenal Tuhan, (Bandung: Umar  Hasan  Mansoor, 1960), hlm. 12.
[6] Ahmad  Adib Al-Arif, Aqidah Akhlak  jilid 3, (Semarang: Aneka Ilmu, 2009 ),hlm. 2-7.
[7] Bey Arifin, Mengenal Tuhan, hlm. 353-354.

[9] Al-Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf  An-Nawawi, Terjemah Riyadhus Sholihin, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hlm. 624.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar