Peran Utsman Bin Affan
I.
PENDAHULUAN
Rasulullah
SAW wafat tanpa meninggalkan wasiat kepada seseorang untuk meneruskan
kepemimpinannya (kekhalifahan). Padahal semasa hidupnya, Nabi bersusah payah
dan berhasil membina persaudaraan sejati yang kokoh di antara sesama
pengikutnya, yaitu Kaum Muhajirin dan Anshor.
Khulafaur
Rasyidin merupakan pemimpin Islam dari kalangan sahabat. Mereka merupakan
pemimpin yang dipilih langsung oleh para sahabat melalui mekanisme yang
demokratis. Siapa yang dipilih, maka sahabat yang lain berhak untuk memberikan
bai’at (sumpah setia) pada calon yang terpilih tersebut.
Khalafaur
Rasyidin adalah para pengganti nabi. Islam sebagai sebuah ajaran dan Islam sebagai
institusi negara mulai tumbuh dan berkembang pada masa tersebut. Dalam
kedaulatan tertinggi ada pada Allah SWT, sehingga para pengganti Nabi tidak
memiliki fasilitas “ekstra” dalam ajaran Islam untuk menentukan sebuah hukum
baru, namun mereka merupakan pelaksana hukum. Perjalanan keempat khalifah
akhirnya dipimpin oleh Abu Bakar al-Shidiq, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan,
dan Ali bin Abi Thalib. Dalam makalah ini akan dibahas tentang peran khalifah
Utsman bin Affan dalam memajukan kebudayaan Islam.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Bagaimana biografi khalifah Utsman bin Affan?
B. Bagaimana pengangkatan Utsman bin Affan
sebagai Khalifah?
C. Apa saja peran Utsman bin Affan dalam
memajukan Kebudayaan Islam?
III.
PEMBAHASAN
A. Biografi Khalifah Utsman bin Affan
Khalifah
ketiga adalah Utsman bin Affan. Nama lengkapnya adalah Utsman bin Affan ibn Abi
al-Ash ibn Umayyah ibn Abdi Syams ibn Abdi Manaf dari suku Quraisy. Nasabnya
bertemu Nabi pada kakek yang keempat yaitu Abdu Manaf. Dari sisi ibu, nasab
keduanya bertemu pada Urwa bint Kariz. Ibunda Urwa adalah Ummu Hakim al-Baydha bint
Abdul Muthallib, nenek Rasulullah SAW.
Utsman
bin Affan lahir enam tahun setelah Tahun Gajah, tepatnya pada 47 S.H/ 576 M. Usianya
enam tahun lebih muda daripada Rasulullah SAW. Ia dilahirkan di Thaif, daerah
yang paling subur di kawasan Hijaz. Selayaknya anak-anak jazirah lainnya, Utsman
bin Affan tumbuh dalam lingkungan budaya
dan kehidupan masyarakatnya yang diliputi kebodohan dan kesesatan.
Di
masa jahiliyyah ia disebut dengan nama panggilan Abu Amr. Setelah masa Islam,
ia lebih sering dipanggil “Abu Abdullah” yang diambil dari nama putranya dari Ruqayyah
bint Rasulullah, ada juga yang bilang di masa jahiliyyah ia sering dipanggil
Abu Layla, karena kelembutan dan keramahannya kepada sesama. Julukan yang
paling terkenal adalah Dzunnurain- Sang Pemilik Dua Cahaya. Itulah
julukan yang paling ia sukai. Julukan itu diberikan oleh junjungannya yang
mulia, Rasulullah Muhammad SAW. Ia mendapat julukan itu karena keutamaanya,
karena ia menikah dengan dua putri Nabi, Ruqayyah r.a dan Ummu Kultsum r.a.[1]
Sejak
sebelum Islam ia sebagai seorang pedagang yang kaya raya pula. Ia bukan saja
salah seorang sahabat terdekat Nabi, tetapi juga salah seorang penulis wahyu,
dan sekretarisnya. Ia selalu berjuang bersama Rasulullah, hijrah kemana saja Nabi
hijrah, atau disuruh hijrah oleh Nabi, dan berperang pada setiap peperangan kecuali
perang badar, yang itupun atas perintah Nabi untuk menunggui istrinya Ruqayyah yang
sedang sakit. Sebagai seorang hartawan Utsman menghabiskan hartanya demi
penyebaran dan kehormatan agama Islam, serta kaum muslim. Selain menyumbang
biaya-biaya perang dengan angka yang sangat besar, juga untuk pembangunan
kembali Masjid al-Haram (Makah) dan Masjid al-Nabawi (Madinah). Utsman juga
berperan aktif sebagai perantara dalam perjanjian hudaybiyah sebagai utusan Nabi.[2]
Utsman
dikenal memiliki dua sifat utama yang berbeda dengan sahabat-sahabat lain,
yaitu:
1.
Rasa
malu. Tidak ada seorangpun yang memiliki rasa malu yang demikian kuat
sebagaimana yang dimiliki oleh Utsman. Sampai-sampai Nabi SAW malu padanya dan
bersabda dalam hadits riwayat muslim, “Tidakkah engkau malu pada seorang
lelaki dimana malaikat pun sangat malu padanya.”
2.
Pemurah.
Tidak ada seorangpun dari kalangan Quraisy yang memiliki sifat pemurah melebihi
dirinya.[3]
B. Pengangkatan Utsman bin Affan sebagai Khalifah
Ustman
bin Affan diangkat menjadi khalifah melalui proses pemilihan. Bedanya Umar dipilih
atas penunjukan langsung sedangkan Utsman diangkat atas penunjukan tidak
langsung, yaitu melewati Badan Syura yang dibentuk oleh Umar menjelang
wafatnya.
Khalifah
Umar membentuk sebuah komisi yang terdiri dari enam orang calon, dengan
perintah memilih salah satu dari mereka untuk diangkat menjadi khalifah baru.
Mereka ialah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin Awwam, Sa’ad
bin Abi Waqqash, dan Abdullah ditambahkan kepada komisi enam itu, tetapi ia
hanya mempunyai hak pilih, dan tidak berhak dipilih.
Melalui
persaingan yang agak ketat dengan Ali, sidang syura akhirnya memberi mandat
kekhalifahan kepada Utsman bin Affan dan kaum muslimin bersepakat membaiat Utsman
bin Affan sebagai khalifah ketiga setelah Abu Bakar al-Shidiq r.a dan Umar ibn Khattab
r.a.
Ketika
ditinggalkan oleh Umar ibn Khattab, umat Islam berada dalam keadaan yang makmur
dan bahagia. Kawasan dunia muslim pun telah bertambah luas. Khalifah Umar berhasil
menciptakan stabilitas sosial politik di dalam negeri sehingga ia dapat membagi
perhatiannya untuk memperluas wilayah Islam.
Pada
masa-masa awal pemerintahannya, Utsman melanjutkan sukses para pendahulunya,
terutama dalam perluasan wilayah kekuasaan Islam. Daerah-daerah strategis yang
sudah dikuasai Islam seperti Mesir dan Irak terus dilindungi dan dikembangkan
dengan melakukan serangkaian ekspedisi militer yang terencanakan secara cermat
dan simultan di semua front.[4]
Utsman
bin Affan menjadi khalifah pada usia 70 tahun, usia yang sebenarnya sudah cukup
tua untuk memikul beban berat sebagai kepala negara, khalifah umat Islam.
Pemerintahannya berlangsung selama 12 tahun, yang oleh sejarawan biasanya
dibagi dalam dua periode, yaitu enam tahun pertama dan enam tahun periode kedua.
Disepakati bahwa selama enam tahun pertama adalah suatu periode pemerintahan
yang baik dan makmur, ditandai oleh berbagai kejayaan dan keberhasilan. Selama
tahun-tahun ini ekspansi arab terus berlanjut dan meluas di Asia Afrika. Umat Islam
membangun armada yang tangguh, sehingga kemudian bangsa arab mampu menunjukkan keunggulannya
di laut, suatu prestasi yang membanggakan kala itu.
Utsman
bin Affan sebenarnya dalam banyak mengikuti khalifah pendahulunya, namun karena
situasi yang berubah cepat ia mulai merubah kebijakannya. Perubahan
kebijaksanaan ini biasanya digambarkan sebagai awal kemerosotan pemerintahan Utsman.
Ketidakpuasan-ketidakpuasan muncul pada berbagai kalangan kelompok muslim.
Salah satu yang dituduhkan oleh para kelompok pembangkang adalah bahwa utsman
telah mengangkat dan mendudukkan anggota-anggota Bani Umayyah pada
jabatan-jabatan tinggi dan bergelimang harta.
Reaksi
awal memang hanya dalam bentuk pembicaraan-pembicaraan sekelompok orang yang
tidak puas. Namun kemudian bertambah besar dan mulai menjalar di beberapa
daerah. Reaksi bersifat terbuka bermula di Kufah dan Basrah. Rakyat bangkit
menentang gubernur-gubernur yang diangkat oleh khalifah Utsman. Bahkan yang
lebih hebat lagi di Mesir, dengan dimotori oleh hasutan Abdullah bin Saba muncul
fitnah terhadap khalifah, bahwa Utsman telah melakukan kekeliruan dan kejahatan
merampas hak kekhalifahan, inilah yang kemudian menjadi fitnah besar di tengah
masyarakat dan berdampak luas.[5]
C. Peran Utsman bin Affan dalam Memajukan
Kebudayaan Islam
1.
Penghimpunan
Kitab Suci al-Qur’an
Karya
monumental Utsman lain yang dipersembahkan kepada umat Islam adalah penyusunan
kitab suci al-Qur’an pada awal 24 H dan awal 25 H. Penyusunan al-Qur’an dimaksudkan
untuk mengakhiri perbedaan-perbedaan serius dalam bacaan al-Qur’an. Utsman
mengumpulkan para sahabat lalu empat orang diantara mereka untuk menyusun mushaf
yang akan menjadi rujukan semua umat Islam. Keempat panitia kodifikasi itu
adalah para penghafal al-Qur’an yang telah dikenal baik, yaitu Zaid ibn Tsabit,
Abdullah ibn Zubair, Said ibn al-Ash, dan Abdurrahman ibn al-Harits ibn Hisyam.
(satu persatunya mengepalai juru tulis (al-Kuttab).
Hafsah
binti Umar, janda Nabi Besar Muhammad, menyerahkan kumpulan catatan itu kepada
khalifah Utsman. Lembaga al-Kuttab itu lantas bekerja keras melakukan
penghimpunan al-Qur’an.
Pekerjaan
itu barulah selesai pada tahun 30 H/651 M. Penaskahan itu berjumlah 7 buah dan
dikirimkan kepada pusat-pusat kedudukan kaum muslimin yang terpandang penting,
yaitu (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah,
(6) Kufah, (7) sebuah lagi terpegang di tangan khalifah Utsman bin Affan.[6]
Sepanjang
sejarah umat Islam telah terjadi tiga kali kodifikasi al-Qur’an pada tiga masa
yang berbeda:
a.
Kodifikasi
pertama berlangsung pada masa Nabi Muhammad namun terbatas pada penulisan ayat,
dan peletakannya pada tempat tertentu, seperti lempengan batu, tulang-pipih,
pelepah kurma, dan media-media lainnya
yang didapatkan oleh para sahabat.
b.
kodifikasi
kedua dilakukan oleh Abu Bakar al-Shidiq atas usul beberapa sahabat, terutama Umar
ibn Khattab yang mengkhawatirkan kepunahan al-Qur’an karena banyaknya para
penghafal al-Qur’an yang terbunuh di medan perang.
c.
Kodifikasi
terakhir dilakukan pada masa Utsman bin Affan yang dilakukan melalui beberapa
tahapan. Panitia mengumpulkan semua lembaran al-Qur’an yang dimiliki para
sahabat dan menjadikan mushaf yang disimpan oleh Hafshah sebagai rujukan.
Kemudian mereka menyusun satu mushaf utama, lalu membuat bebarapa salinan untuk
dikirimkan ke seluruh pelosok dunia Islam.[7]
Adapun manfaat
dibukukannya al-Qur’an adalah:
a.
Menyatukan
kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam ejaan tulisannya.
b.
Menyatukan
bacaan kendatipun masih ada perbedaannya, namun harus tidak berlawanan dengan
ejaan mushaf utsman.
c.
Menyatukan
tertib susunan surat-surat menurut tertib urut yang kelihatan pada mushaf
sekarang.[8]
2.
Perluasan
Masjid di Tanah Suci
Sebuah
jasa besar lainnya dari khalifah Utsman bin Affan adalah pemikiran dan
pelaksanaan perluasan masjid Nabawi di Madinah al-Munawwarah dan Masjidil-Haram
di Makkah al-Mukarromah.
a.
Perluasan
Masjid Nabawi
Dinding
masjid Nabawi pada masa Nabi Muhammad berukuran setinggi tegak dan terbuat dari
susunan bingkah-bingkah tanah liat yang dikeringkan. Arah kiblat pada masa-masa
permulaan menghadap bait-Allah di Yerusslem hingga pintu masuk berada pada
penjuru dinding bagian selatan, berjumlah tiga buah pintu. Belakangan arah
kiblat dirubah menghadap bait-Allah di Makkah hingga pintu-pintu masuk pada
dinding selatan itu ditutup.
Pada
masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). timbullah perbandingan
dengan rumah-rumah ibadat kepunyaan agama-agama lainnya, yang berada di luar Arabia.
Terbanding kepada bangunan-bangunan gereja pihak Nasrani dan bangunan-bangunan
pihak Keniset pihak Yahudi dan bangunan-bangunan kuil-api pihak Majusi, yang
demikian agung dan megah dan mengesankan, maka bangunan masjid Nabawi itu
dirasakan amat sederhana sekali, sedangkan tempatnya berada di ibu kota
kekuasaan Islam.
Suara-suara
perbandingan yang diperdengarkan itu dapat dirasakan oleh khalifah Utsman bin Affan.
Iapun membicarakannya dengan tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan al Shahabi di Madinah
al-Munawwarah dan beroleh persetujuan untuk perombakannya.
Pekerjaan
besar itu dimulai pada bulan Rabiul-awal tahun 29 H/650 M. Dan barulah selesai
pada masa sepuluh bulan kemudian, yaitu pada bulan Muharram tahun 30 H/651M.
Dindingnya
terbuat dari batu berukir dengan bertatahkan perak. Tiang-tiangnya terbuat dari
batu pualam. Kasau-kasau atap yang berbentuk cembung terbuat dari kayu pinus
yang didatangkan dari Lebanon. Gerbang masuk tetap berjumlah enam buah seperti
masa khalifah Umar.
Tetapi
luasnya kini berukuran 160 hasta x 150 hasta. Rumah-rumah penduduk sekitar
masjid yang termasuk daerah perluasan itu, dibeli satu persatunya dengan harga
yang layak. Pembiayaannya dikeluarkan dari pendaharaan Bait-al-Mal.
b.
Perluasan
Masjidil-Haram
Lapangan
thawaf beralaskan jubin sekitar bait-Allah (ka’bah) pada masa sekarang ini maka
itulah yang disebut dengan lapangan Masjidil Haram. Pada masa Nabi Muhammad dan
masa khlifah Abu Bakar bersifat lapangan terbuka, berbataskan dinding-dinding
rumah kubus bertingkat kepunyaan penduduk, dengan lorong-lorong sempit pada
berbagai penjuru menuju arah lapangan ka’bah. Lorong sempit yang berhadapan
dengan hijar al-aswad maka itulah yang disebut dengan bab bani Syaibah, yakni
gerbang bani Syaibah, tempat bagi memulai thawaf. Bangunan yang menghadap Hijr-Ismail
pada arah utara maka itulah yang disebut dengan Dar al-Nadwa yakni balai
sidang para pembesar Quraisy di kota Makkah. Bekas bangunan Dar al-Nadwa itu
pada masa sekarang ini ditandai dengan garisan jubin hitam berbentuk seperempat
pada arah utara.
Khalifah
Utsman membeli rumah-rumah yang berada sekitar lapangan Masjidil Haram guna
perluasannya. Tetapi lapangannya kini bukan sekedar dibatasi dinding, tetpai
sekitar lapangan itu dibangun ruangan-ruangan berceruk pada empat penjurunya,
dan antara ruangan berceruk dengan ka’bah terletak lapangan terbuka dan itu
dikerjakan oleh para ahli bangunan dari Syiria.[9]
IV.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Nama lengkap Utsman adalah Utsman bin
Affan ibn Abi al-Ash ibn Umayyah ibn Abdi Syams ibn Abdi Manaf dari suku
Quraisy. Nasabnya bertemu Nabi pada kakek yang keempat yaitu Abdu Manaf. Dari
sisi ibu, nasab keduanya bertemu pada Urwa bint Kariz. Ibunda Urwa adalah ummu
hakim al-Baydha bint Abdul Muthallib, nenek Rasulullah. Utsman bin Affan lahir
6 tahun setelah Tahun Gajah, tepatnya pada 47 S.H/ 576 M di Thaif, daerah yang
paling subur di Hijaz.
2. Ustman bin Affan diangkat menjadi
khalifah melalui proses pemilihan.
Khalifah Umar membentuk
sebuah komisi yang terdiri dari enam orang calon, dengan perintah memilih salah
dari mereka untuk diangkat menjadi khalifah baru. Mereka ialah Utsman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash,
dan Abdullah ditambahkan kepada komisi enam itu, tetapi ia hanya mempunyai hak
pilih, dan tidak berhak dipilih.
Melalui persaingan yang
agak ketat dengan Ali, sidang syura akhirnya memberi mandat kekhalifahan kepada
Utsman bin Affan dan kaum muslimin bersepakat membaiat Utsman bin Affan sebagai
khalifah ketiga setelah Abu Bakar al-Shidiq r.a dan Umar ibn Khattab r.a.
3. Peran Utsman bin Affan dalam memajukan
kebudayaan islam diantaranya:
a. Penghimpunan Kitab Suci al-Qur’an
b. Perluasan masji Nabawi dan masjidil
Haram
B. Penutup
Demikianlah makalah yang telah pemakalah susun,
pemakalah menyadari masih adanya kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat pemakalah harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca. Amin
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Usairy, Ahmad, Sejarah Islam Sejak Nabi Adam
Hingga Abad XX, Jakarta: Akbar Media, 2003.
Amin,
Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah Press, 2010.
Fu’adi, Imam, Sejarah Peradaban Islam,
Yogyakarta: Teras, 2011.
Karim, M. Abdul, Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.
Murad,
Musthafa, Kisah Hidup Usman ibn Affan, Jakarta: Zaman Press, 2007.
Sou’yb,
Joesoef, Sejarah Daulat Khalafaur Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Syukur, Fatah, Sejarah Peradaban Islam, Semarang:
PT Pustaka Rizki Putra, 2009.
[1] Musthafa Murad, Kisah
Hidup Usman ibn Affan, (Jakarta: Zaman Press, 2007), hlm. 12-13.
[2] M. Abdul Karim, Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007),
hlm. 89-90.
[3] Ahmad Al-Usairy, Sejarah
Islam Sejak Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta: Akbar Media, 2003), hlm.
165.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar