Coretan-coretan sang Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang......

Minggu, 23 Maret 2014

Peran Utsman Bin Affan

Peran Utsman Bin Affan
I.              PENDAHULUAN
Rasulullah SAW wafat tanpa meninggalkan wasiat kepada seseorang untuk meneruskan kepemimpinannya (kekhalifahan). Padahal semasa hidupnya, Nabi bersusah payah dan berhasil membina persaudaraan sejati yang kokoh di antara sesama pengikutnya, yaitu Kaum Muhajirin dan Anshor.
Khulafaur Rasyidin merupakan pemimpin Islam dari kalangan sahabat. Mereka merupakan pemimpin yang dipilih langsung oleh para sahabat melalui mekanisme yang demokratis. Siapa yang dipilih, maka sahabat yang lain berhak untuk memberikan bai’at (sumpah setia) pada calon yang terpilih tersebut.
Khalafaur Rasyidin adalah para pengganti nabi. Islam sebagai sebuah ajaran dan Islam sebagai institusi negara mulai tumbuh dan berkembang pada masa tersebut. Dalam kedaulatan tertinggi ada pada Allah SWT, sehingga para pengganti Nabi tidak memiliki fasilitas “ekstra” dalam ajaran Islam untuk menentukan sebuah hukum baru, namun mereka merupakan pelaksana hukum. Perjalanan keempat khalifah akhirnya dipimpin oleh Abu Bakar al-Shidiq, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Dalam makalah ini akan dibahas tentang peran khalifah Utsman bin Affan dalam memajukan kebudayaan Islam.

II.           RUMUSAN MASALAH
A.      Bagaimana biografi khalifah Utsman bin Affan?
B.       Bagaimana pengangkatan Utsman bin Affan sebagai Khalifah?
C.       Apa saja peran Utsman bin Affan dalam memajukan Kebudayaan Islam?

III.        PEMBAHASAN
A.      Biografi Khalifah Utsman bin Affan
Khalifah ketiga adalah Utsman bin Affan. Nama lengkapnya adalah Utsman bin Affan ibn Abi al-Ash ibn Umayyah ibn Abdi Syams ibn Abdi Manaf dari suku Quraisy. Nasabnya bertemu Nabi pada kakek yang keempat yaitu Abdu Manaf. Dari sisi ibu, nasab keduanya bertemu pada Urwa bint Kariz. Ibunda Urwa adalah Ummu Hakim al-Baydha bint Abdul Muthallib, nenek Rasulullah SAW.
Utsman bin Affan lahir enam tahun setelah Tahun Gajah, tepatnya pada 47 S.H/ 576 M. Usianya enam tahun lebih muda daripada Rasulullah SAW. Ia dilahirkan di Thaif, daerah yang paling subur di kawasan Hijaz. Selayaknya anak-anak jazirah lainnya, Utsman bin Affan  tumbuh dalam lingkungan budaya dan kehidupan masyarakatnya yang diliputi kebodohan dan kesesatan.
Di masa jahiliyyah ia disebut dengan nama panggilan Abu Amr. Setelah masa Islam, ia lebih sering dipanggil “Abu Abdullah” yang diambil dari nama putranya dari Ruqayyah bint Rasulullah, ada juga yang bilang di masa jahiliyyah ia sering dipanggil Abu Layla, karena kelembutan dan keramahannya kepada sesama. Julukan yang paling terkenal adalah Dzunnurain- Sang Pemilik Dua Cahaya. Itulah julukan yang paling ia sukai. Julukan itu diberikan oleh junjungannya yang mulia, Rasulullah Muhammad SAW. Ia mendapat julukan itu karena keutamaanya, karena ia menikah dengan dua putri Nabi, Ruqayyah r.a dan Ummu Kultsum r.a.[1]
Sejak sebelum Islam ia sebagai seorang pedagang yang kaya raya pula. Ia bukan saja salah seorang sahabat terdekat Nabi, tetapi juga salah seorang penulis wahyu, dan sekretarisnya. Ia selalu berjuang bersama Rasulullah, hijrah kemana saja Nabi hijrah, atau disuruh hijrah oleh Nabi, dan berperang pada setiap peperangan kecuali perang badar, yang itupun atas perintah Nabi untuk menunggui istrinya Ruqayyah yang sedang sakit. Sebagai seorang hartawan Utsman menghabiskan hartanya demi penyebaran dan kehormatan agama Islam, serta kaum muslim. Selain menyumbang biaya-biaya perang dengan angka yang sangat besar, juga untuk pembangunan kembali Masjid al-Haram (Makah) dan Masjid al-Nabawi (Madinah). Utsman juga berperan aktif sebagai perantara dalam perjanjian hudaybiyah sebagai utusan Nabi.[2]
Utsman dikenal memiliki dua sifat utama yang berbeda dengan sahabat-sahabat lain, yaitu:
1.         Rasa malu. Tidak ada seorangpun yang memiliki rasa malu yang demikian kuat sebagaimana yang dimiliki oleh Utsman. Sampai-sampai Nabi SAW malu padanya dan bersabda dalam hadits riwayat muslim, “Tidakkah engkau malu pada seorang lelaki dimana malaikat pun sangat malu padanya.”
2.         Pemurah. Tidak ada seorangpun dari kalangan Quraisy yang memiliki sifat pemurah melebihi dirinya.[3]

B.       Pengangkatan Utsman bin Affan sebagai Khalifah
Ustman bin Affan diangkat menjadi khalifah melalui proses pemilihan. Bedanya Umar dipilih atas penunjukan langsung sedangkan Utsman diangkat atas penunjukan tidak langsung, yaitu melewati Badan Syura yang dibentuk oleh Umar menjelang wafatnya.
Khalifah Umar membentuk sebuah komisi yang terdiri dari enam orang calon, dengan perintah memilih salah satu dari mereka untuk diangkat menjadi khalifah baru. Mereka ialah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdullah ditambahkan kepada komisi enam itu, tetapi ia hanya mempunyai hak pilih, dan tidak berhak dipilih.
Melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali, sidang syura akhirnya memberi mandat kekhalifahan kepada Utsman bin Affan dan kaum muslimin bersepakat membaiat Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga setelah Abu Bakar al-Shidiq r.a dan Umar ibn Khattab r.a.
Ketika ditinggalkan oleh Umar ibn Khattab, umat Islam berada dalam keadaan yang makmur dan bahagia. Kawasan dunia muslim pun telah bertambah luas. Khalifah Umar berhasil menciptakan stabilitas sosial politik di dalam negeri sehingga ia dapat membagi perhatiannya untuk memperluas wilayah Islam.
Pada masa-masa awal pemerintahannya, Utsman melanjutkan sukses para pendahulunya, terutama dalam perluasan wilayah kekuasaan Islam. Daerah-daerah strategis yang sudah dikuasai Islam seperti Mesir dan Irak terus dilindungi dan dikembangkan dengan melakukan serangkaian ekspedisi militer yang terencanakan secara cermat dan simultan di semua front.[4]
Utsman bin Affan menjadi khalifah pada usia 70 tahun, usia yang sebenarnya sudah cukup tua untuk memikul beban berat sebagai kepala negara, khalifah umat Islam. Pemerintahannya berlangsung selama 12 tahun, yang oleh sejarawan biasanya dibagi dalam dua periode, yaitu enam tahun pertama dan enam tahun periode kedua. Disepakati bahwa selama enam tahun pertama adalah suatu periode pemerintahan yang baik dan makmur, ditandai oleh berbagai kejayaan dan keberhasilan. Selama tahun-tahun ini ekspansi arab terus berlanjut dan meluas di Asia Afrika. Umat Islam membangun armada yang tangguh, sehingga kemudian bangsa arab mampu menunjukkan keunggulannya di laut, suatu prestasi yang membanggakan kala itu.
Utsman bin Affan sebenarnya dalam banyak mengikuti khalifah pendahulunya, namun karena situasi yang berubah cepat ia mulai merubah kebijakannya. Perubahan kebijaksanaan ini biasanya digambarkan sebagai awal kemerosotan pemerintahan Utsman. Ketidakpuasan-ketidakpuasan muncul pada berbagai kalangan kelompok muslim. Salah satu yang dituduhkan oleh para kelompok pembangkang adalah bahwa utsman telah mengangkat dan mendudukkan anggota-anggota Bani Umayyah pada jabatan-jabatan tinggi dan bergelimang harta.
Reaksi awal memang hanya dalam bentuk pembicaraan-pembicaraan sekelompok orang yang tidak puas. Namun kemudian bertambah besar dan mulai menjalar di beberapa daerah. Reaksi bersifat terbuka bermula di Kufah dan Basrah. Rakyat bangkit menentang gubernur-gubernur yang diangkat oleh khalifah Utsman. Bahkan yang lebih hebat lagi di Mesir, dengan dimotori oleh hasutan Abdullah bin Saba muncul fitnah terhadap khalifah, bahwa Utsman telah melakukan kekeliruan dan kejahatan merampas hak kekhalifahan, inilah yang kemudian menjadi fitnah besar di tengah masyarakat dan berdampak luas.[5]

C.      Peran Utsman bin Affan dalam Memajukan Kebudayaan Islam
1.         Penghimpunan Kitab Suci al-Qur’an
Karya monumental Utsman lain yang dipersembahkan kepada umat Islam adalah penyusunan kitab suci al-Qur’an pada awal 24 H dan awal 25 H. Penyusunan al-Qur’an dimaksudkan untuk mengakhiri perbedaan-perbedaan serius dalam bacaan al-Qur’an. Utsman mengumpulkan para sahabat lalu empat orang diantara mereka untuk menyusun mushaf yang akan menjadi rujukan semua umat Islam. Keempat panitia kodifikasi itu adalah para penghafal al-Qur’an yang telah dikenal baik, yaitu Zaid ibn Tsabit, Abdullah ibn Zubair, Said ibn al-Ash, dan Abdurrahman ibn al-Harits ibn Hisyam. (satu persatunya mengepalai juru tulis (al-Kuttab).
Hafsah binti Umar, janda Nabi Besar Muhammad, menyerahkan kumpulan catatan itu kepada khalifah Utsman. Lembaga al-Kuttab itu lantas bekerja keras melakukan penghimpunan al-Qur’an.
Pekerjaan itu barulah selesai pada tahun 30 H/651 M. Penaskahan itu berjumlah 7 buah dan dikirimkan kepada pusat-pusat kedudukan kaum muslimin yang terpandang penting, yaitu (1) Makkah, (2) Damaskus, (3) San’a di Yaman, (4) Bahrain, (5) Basrah, (6) Kufah, (7) sebuah lagi terpegang di tangan khalifah Utsman bin Affan.[6]
Sepanjang sejarah umat Islam telah terjadi tiga kali kodifikasi al-Qur’an pada tiga masa yang berbeda:
a.         Kodifikasi pertama berlangsung pada masa Nabi Muhammad namun terbatas pada penulisan ayat, dan peletakannya pada tempat tertentu, seperti lempengan batu, tulang-pipih, pelepah kurma, dan media-media  lainnya yang didapatkan oleh para sahabat.
b.        kodifikasi kedua dilakukan oleh Abu Bakar al-Shidiq atas usul beberapa sahabat, terutama Umar ibn Khattab yang mengkhawatirkan kepunahan al-Qur’an karena banyaknya para penghafal al-Qur’an yang terbunuh di medan perang.
c.         Kodifikasi terakhir dilakukan pada masa Utsman bin Affan yang dilakukan melalui beberapa tahapan. Panitia mengumpulkan semua lembaran al-Qur’an yang dimiliki para sahabat dan menjadikan mushaf yang disimpan oleh Hafshah sebagai rujukan. Kemudian mereka menyusun satu mushaf utama, lalu membuat bebarapa salinan untuk dikirimkan ke seluruh pelosok dunia Islam.[7]
Adapun manfaat dibukukannya al-Qur’an adalah:
a.         Menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam ejaan tulisannya.
b.        Menyatukan bacaan kendatipun masih ada perbedaannya, namun harus tidak berlawanan dengan ejaan mushaf utsman.
c.         Menyatukan tertib susunan surat-surat menurut tertib urut yang kelihatan pada mushaf sekarang.[8]
2.         Perluasan Masjid di Tanah Suci
Sebuah jasa besar lainnya dari khalifah Utsman bin Affan adalah pemikiran dan pelaksanaan perluasan masjid Nabawi di Madinah al-Munawwarah dan Masjidil-Haram di Makkah al-Mukarromah.
a.        Perluasan Masjid Nabawi
Dinding masjid Nabawi pada masa Nabi Muhammad berukuran setinggi tegak dan terbuat dari susunan bingkah-bingkah tanah liat yang dikeringkan. Arah kiblat pada masa-masa permulaan menghadap bait-Allah di Yerusslem hingga pintu masuk berada pada penjuru dinding bagian selatan, berjumlah tiga buah pintu. Belakangan arah kiblat dirubah menghadap bait-Allah di Makkah hingga pintu-pintu masuk pada dinding selatan itu ditutup.
Pada masa pemerintahan khalifah Utsman bin Affan (644-656 M). timbullah perbandingan dengan rumah-rumah ibadat kepunyaan agama-agama lainnya, yang berada di luar Arabia. Terbanding kepada bangunan-bangunan gereja pihak Nasrani dan bangunan-bangunan pihak Keniset pihak Yahudi dan bangunan-bangunan kuil-api pihak Majusi, yang demikian agung dan megah dan mengesankan, maka bangunan masjid Nabawi itu dirasakan amat sederhana sekali, sedangkan tempatnya berada di ibu kota kekuasaan Islam.
Suara-suara perbandingan yang diperdengarkan itu dapat dirasakan oleh khalifah Utsman bin Affan. Iapun membicarakannya dengan tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan al Shahabi di Madinah al-Munawwarah dan beroleh persetujuan untuk perombakannya.
Pekerjaan besar itu dimulai pada bulan Rabiul-awal tahun 29 H/650 M. Dan barulah selesai pada masa sepuluh bulan kemudian, yaitu pada bulan Muharram tahun 30 H/651M.
Dindingnya terbuat dari batu berukir dengan bertatahkan perak. Tiang-tiangnya terbuat dari batu pualam. Kasau-kasau atap yang berbentuk cembung terbuat dari kayu pinus yang didatangkan dari Lebanon. Gerbang masuk tetap berjumlah enam buah seperti masa khalifah Umar.
Tetapi luasnya kini berukuran 160 hasta x 150 hasta. Rumah-rumah penduduk sekitar masjid yang termasuk daerah perluasan itu, dibeli satu persatunya dengan harga yang layak. Pembiayaannya dikeluarkan dari pendaharaan Bait-al-Mal.
b.        Perluasan Masjidil-Haram
Lapangan thawaf beralaskan jubin sekitar bait-Allah (ka’bah) pada masa sekarang ini maka itulah yang disebut dengan lapangan Masjidil Haram. Pada masa Nabi Muhammad dan masa khlifah Abu Bakar bersifat lapangan terbuka, berbataskan dinding-dinding rumah kubus bertingkat kepunyaan penduduk, dengan lorong-lorong sempit pada berbagai penjuru menuju arah lapangan ka’bah. Lorong sempit yang berhadapan dengan hijar al-aswad maka itulah yang disebut dengan bab bani Syaibah, yakni gerbang bani Syaibah, tempat bagi memulai thawaf. Bangunan yang menghadap Hijr-Ismail pada arah utara maka itulah yang disebut dengan Dar al-Nadwa yakni balai sidang para pembesar Quraisy di kota Makkah. Bekas bangunan Dar al-Nadwa itu pada masa sekarang ini ditandai dengan garisan jubin hitam berbentuk seperempat pada arah utara.
Khalifah Utsman membeli rumah-rumah yang berada sekitar lapangan Masjidil Haram guna perluasannya. Tetapi lapangannya kini bukan sekedar dibatasi dinding, tetpai sekitar lapangan itu dibangun ruangan-ruangan berceruk pada empat penjurunya, dan antara ruangan berceruk dengan ka’bah terletak lapangan terbuka dan itu dikerjakan oleh para ahli bangunan dari Syiria.[9]
  
IV.        PENUTUP
A.      Kesimpulan
1.      Nama lengkap Utsman adalah Utsman bin Affan ibn Abi al-Ash ibn Umayyah ibn Abdi Syams ibn Abdi Manaf dari suku Quraisy. Nasabnya bertemu Nabi pada kakek yang keempat yaitu Abdu Manaf. Dari sisi ibu, nasab keduanya bertemu pada Urwa bint Kariz. Ibunda Urwa adalah ummu hakim al-Baydha bint Abdul Muthallib, nenek Rasulullah. Utsman bin Affan lahir 6 tahun setelah Tahun Gajah, tepatnya pada 47 S.H/ 576 M di Thaif, daerah yang paling subur di Hijaz.
2.      Ustman bin Affan diangkat menjadi khalifah melalui proses pemilihan.
Khalifah Umar membentuk sebuah komisi yang terdiri dari enam orang calon, dengan perintah memilih salah dari mereka untuk diangkat menjadi khalifah baru. Mereka ialah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdullah ditambahkan kepada komisi enam itu, tetapi ia hanya mempunyai hak pilih, dan tidak berhak dipilih.
Melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali, sidang syura akhirnya memberi mandat kekhalifahan kepada Utsman bin Affan dan kaum muslimin bersepakat membaiat Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga setelah Abu Bakar al-Shidiq r.a dan Umar ibn Khattab r.a.
3.      Peran Utsman bin Affan dalam memajukan kebudayaan islam diantaranya:
a.       Penghimpunan Kitab Suci al-Qur’an
b.      Perluasan masji Nabawi dan masjidil Haram

B.       Penutup
Demikianlah makalah yang telah pemakalah susun, pemakalah menyadari masih adanya kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat pemakalah harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Amin

DAFTAR PUSTAKA
Al-Usairy, Ahmad, Sejarah Islam Sejak Nabi Adam Hingga Abad XX, Jakarta: Akbar Media, 2003.
Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah Press, 2010.
Fu’adi, Imam, Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta: Teras, 2011.
Karim, M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.
Murad, Musthafa, Kisah Hidup Usman ibn Affan, Jakarta: Zaman Press, 2007.
Sou’yb, Joesoef, Sejarah Daulat Khalafaur Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Syukur, Fatah, Sejarah Peradaban Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009.



[1] Musthafa Murad, Kisah Hidup Usman ibn Affan, (Jakarta: Zaman Press, 2007), hlm. 12-13.
[2] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 89-90.
[3] Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta: Akbar Media, 2003), hlm. 165.
[4] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah Press, 2010), hlm. 104-105.
[5] Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 49-50.
[6] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khalafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 390.
[7] Musthafa Murad, Kisah Hihup Utsman ibn Affan, hlm. 57.
[8] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 56-57.
[9] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khalfaur Rasyidin, hlm. 392-396.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar