Coretan-coretan sang Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang......

Kamis, 13 Maret 2014

Keturunan, Lingkungan dan Fitrah dalam Pendidikan

KETURUNAN, LINGKUNGAN DAN FITRAH DALAM PENDIDIKAN



MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Drs. Mahfud Junaidi M.Ag




Disusun Oleh:
Iip Kasipul Qulub                 (113211025)



FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012

Keturunan, Lingkungan dan Fitrah dalam Pendidikan
I.                   Pendahuluan
Manusia adalah hasil dari proses pendidikan. Dengan mudah hal ini dapat direalisasikan manakala salah satu dari unsur-unsur pendidikan ini dikaitkan dengan petunjuk tingkah laku manusia berkenaan dengan obyek-obyek tertentu. Seperti kecenderungan pandai besi atau tukang kayu, untuk mengetahui karakteristik-krakteristik bahan-bahan material yang dihadapi dalam profesinya, hal ini akan dapat diejawntahkan manakala mempunyai ide yang tepat tentang sifat dasar manusia. Praktek-praktek kependidikan tidak pelak lagi pasti akan mengalami kegagalan, melainkan dibangun dengan konsep yang jelas mengenai sifat dasar manusia ini. Ini yang mungkin akan memberi cahaya penerang bagaimana mempercepat kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak diiringi beban yang terlalu berat oleh kemajuan-kemajuan demi kebahagian manusia.
Dalam kesempatan kali ini, pemakalah mau menjelaskan tentang keturunan, lingkungan dan teori fitrah yang berkaitan dengan pendidikan islam.

II.                Rumusan Masalah
A.     Apa pengertian Keturunan?
B.     Apa pengertian Lingkungan?
C.     Bagaimana pengaruh Keturunan dan Lingkungan dalam Pendidikan?
D.     Bagaimana teori Fitrah dalam Pendidikan?

III.             Pembahasan
A.     Keturunan
Masing-masing individu lahir ke dunia dengan suatu hereditas tertentu. Ini berarti, bahwa karakteristik individu diperoleh melalui pewarisan / pemidahan dari cairan-cairan “germinal” dari pihak orang tuanya. Salah satu dasar individual adalah latar belakang hereditas masing-masing individu. Hereditas dapat diartikan sebagai pewarisan atau pemindahan biologis karakteristik individu dari pihak orang tuanya. Pewarisan ini terjadi melalui proses genetis.[1]
Yang dimaksud dengan keturunan ialah ciri dan sifat yang diwarisi dari bapak, kakek dengan kadar yang berlainan. Umumnya, sebagiannya diwarisi dari sifat-sifat bapak, seperempat dari datuk tingkat pertama dan seperenam belas dari datuk tingkat ketiga, dan seterusnya.[2]
Dalam membicarakan soal keturunan ini terdapat perbedaan pendapat. Pendapat yang lebih tepat ialah walaupun fakta keturunan banyak mempengaruhi bentuk tubuh dan akal, namun ia sedikit banyak mempengaruhi juga pertumbuhan akhlak dan kebiasaan sosial. Tetapi faktor keturunan tersebut tidakalah merupakan suatu yang tidak bisa dipengaruhi. Mal;ah ia bisa lentur dalam batas tertentu. Alat untuk melentur ialah lingkungan dengan segala unsurnya sekarang. Lingkungan sekitar adalah faktor pendidikan yang terpenting.
Ajaran islam seperti yang tertera dalam ayat-ayat al-Quran, Hadits Nabi dan pendapat para ahli meskipun tidak menentukan tentang faktor lingkungan dan keturunan sebagai faktor pokok yang mempengaruhi pertumbuhan insan, namun tidak kurang sumber-sumber yang menerangkan serta mengakui akan pengaruh dua faktor ini dalam pertumbuahn watak dan tingkah laku.
Disamping itu pengaruh warisan dalam pengertiannya yang luas dapat dibagi menjadi dua bagian pokok:
a.       Warisan alami atau fitrah (internal) yang dipindahkan oleh jaringan-jaringan benih.
b.      Warisan social (external) yang dipindahkan oleh faktor di luar diri (unit-unit sosial) terutama keluarga.[3]
B.     Lingkungan
Orang sering mengartikan lingkungan secara sempit, seolah-olah lingkungan hanya alam sekitar di luar diri manusia / individu. Lingkungan itu sebenarnya mencakup segala material dan stimuli di dalam dan di luar diri individu, baik yang bersifat fisiologis, psikologis, maupun sosial-kultural. Dengan demikian lingkungan dapat diartikan secara fisiologis, secara psikologis, dan secara sosial-kultural.[4]
Secara harfiah lingkungan dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang mengitari kehidupan, baik berupa fisik seperti alam jagat raya dengan segala isinya, maupun berupa non fisik, seperti suasana kehidupan beragama, nilai-nilai dan adat istiadat yang berlaku di masyarakat, ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang berkembang, serta teknologi.[5]
Dalam arti yang luas lingkungan mencakup iklim dan geografis, tempat tinggal, adat istiadat, pengetahuan, pendidikan, dan alam. Dengan kata lain lingkungan ialah segala sesuatu yang tampak dan terdapat dalam alam kehidupan yang senantiasa berkembang. Ia adalah seluruh yang ada, baik manusia maupun benda buatan manusia, atau alam yang bergerak atau tidak bergerak, kejadian-kejadian atau hal-hal yang mempunyai hubungan dengan seseorang. Sejauh manakah seseorang berhubungan dengan lingkungannya, sejauh itu pula terbuka peluang masuknya pengaruh pendidikan kepadanya.
Disamping itu dapat pula dikemukakan bahwa “lingkungan pribadi” yang membentuk suasana diri, suatu suasana yang lebih bersifat pribadi. Suasana pribadi ini tampak pada diri seseorang sekalipun tanpa bergaul.[6]   
C.     Pengaruh Keturunan dan Lingkungan dalam Pendidikan
Insan dengan seluruh perwatakan dan ciri pertumbuhannya adalah perwujudan dua faktor, yaitu faktor warisan dan lingkungan. Kedua faktor ini mempengaruhi insan dan berinteraksi dengannya sejak hari pertama ia menjadi embrio hingga ke akhir hayatnya.
Kadar pengaruh keturunan dan lingkungan terhadap insan berbeda sesuai dengan segi-segi pertumbuhan kepribadian insan. Kadar pengaruh kedua faktor ini juga berbeda sesuai dengan umur dan fase yang dilalui. Faktor keturunan umumnya lebi kuat pengaruhnya pada tingkat bayi, yakni sebelum terjadinya hubungan sosial dan perkembangan pengalaman. Sebaliknya pengaruh lingkungan lebih besar apabila insan mulai meningkat dewasa. Ketika itu hubungan dengan lingkungan alam dan manusia serta ruang geraknya sudah semakin luas.[7]
Konsep lingkungan dalam hubungannya dengan pendidikan dan manusia sebagai makhluk yang merdeka, memiliki daya pilih yang kuat, serta berbagai potensi jasmani, rohani dan spiritual yang dimilikinya, telah menimbulkan berbagai aliran yang antara satu dan lainnya menunjukan perbedaan yang sangat mencolok. Berbagai aliran tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. aliran empirisme atau behaviorisme dari John Locke
   Menurut aliran ini, manusia atau peserta didik dianggap sebagai gelas kosong yang dapat diisi apa saja oleh pemiliknya. Peserta didik dinilai sebagai yang pasif seperti robot yang mengikuti dan tunduk sepenuhnya kepada pemiliknya. Murid ibarat kertas putih yang kosong yang dapat ditulis apa saja oleh pemiliknya. Menurut aliran yang eksterm luar (eksternal) ini, bahwa watak dan karakter peserta didik ditentukan oleh faktor dari luar yang ditransmisikan oleh pendidik. Dengan pandangan empirisme ini, maka yang menentukan dan aktif dalam pendidikan ialah guru (teacher centris).
2. aliran nativisme dari Scopenhaur
           Menurut aliran ini, bahwa yang menentukan seseorang menjadi apa saja, bukanlah lingkungan sebagaimana yang dianut oleh behaviorisme dan empirisme sebagaimana disebutkan di atas, melainkan watak, pembawaan dan potensi yang dimiliki seorang peserta didik dari sejak lahir. Aliran nativisme ini bertolak dari Leibnitzian Tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Hasil perkembangan tersebut ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperoleh sejak kelahiran. Lingkungan kurang berpengaruh terhadap pendidikan dan perkembangan anak. Hasil pendidikan tergantung pada pembawaan.
3. aliran konvergensi dari William Stern
             Aliran ini berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah disertai pembawaan baik dan pembawaan buruk. Penganut aliran ini berpendapat bahwa dalam proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama-sama mempunyai peranan yang sangat penting. Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai dengan bakat itu. Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak yang optimal, kalau memang pada diri anak tidak terdapat bakat yang diperlukan untuk mengembangkan itu. Sebagai contoh, hakikat kemampuan anak manusia berbahasa dengan kata-kata, ialah juga hasil konvergensi. Pada anak manusia ada pembawaan untuk berbicara melalui situasi lingkungannya, anak berbicara dengan bahasa tertentu. Lingkungan pun memengaruhi anak didik dalam mengembangkan pembawaan bahasanya. Karena itu, tiap anak manusia mula-mula menggunakan bahasa lingkungannya, misalnya bahasa jawa, sunda, dan sebagainya.[8]
D.     Teori Fitrah dalam Pendidikan
Fitrah berasal dari kata fathara yang sepadan dengan kata khalaqa dan ansyaa yang artinya mencipta. Biasanya kata fathara, khalaqa dan ansyaa digunakan dalam al-Quran untuk menunjukan pengertian mencipta sesuatu yang sebelumnya belum ada dan masih merupakan pola dasar (blue print) yang perlu penyempurnaan. Kata-kata yang biasanya digunakan dalam al-Quran untuk menunjukan bahwa Allah menyempurnakan pola dasar ciptaan Allah atau melengkapi penciptaan itu adalah kata ja’ala yang artinya menjadikan, yang diletakan dalam satu ayat setelah kata khalaqa dan ansyaa. Perwujudan dan penyempurnaan selanjutnya diserahkan pada manusia.[9]
Al-Quran mengajarkan kepada kita bahwa setiap individu itu mempunyai fitrah sejak lahirnya. Dimaksudkan fitrah di sini adalah kemampuan dasar dan kecenderungan-kecenderungan yang murni bagi setiap individu. kemampuan-kemampuan dan kecenderungan-kecenderungan tersebut lahir dalam bentuk yang sangat sederhana dan terbatas kemudian saling mempengaruhi dalam lingkungan sehingga tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik dan sebaliknya.[10]
Konsep fitrah juga menuntut agar pendidikan islam harus bertujuan mengarahkan pendidikan demi terjalinnya ikatan kuat seorang manusia dengan Allah. Kendatipun para pelajar yang belajar di sekolah tidak bertentangan dengan prinsip mendasar ini. Percaya dan yakin bahwa seorang manusia harus mengakui Allah karena fitrah manusia ini tidak dapat dipadukan dengan teori yang menganggap monofeisme sebagai suatu tingkatan perkembangan kepercayaan agama. Tauhid dengan demikian telah mempunyai esensi dari semua bentuk agama-agama yang ditunjukan oleh Allah kepada manusia dengan konsep-tuhan-tuhan majemuk, semata-mata hanya menjadi dominasi manusia manakala tauhid sebagai konsep ini telah dikesampingkan. Penekanan akan konsep tauhid ini bukan berarti persoalan yang campur baur, melainkan menjadi kekuasaan Allah yang mutlak tidak ada selain Dia. Konsep tauhid inilah yang memberi tekanan kekuasaan Allah yang mesti dipatuhi dalam kurikulum pendidikan islam.[11]

IV.              Kesimpulan
Pertama, keturunan ialah ciri dan sifat yang diwarisi dari bapak, kakek dengan kadar yang berlainan.
Kedua, Lingkungan itu sebenarnya mencakup segala material dan stimuli di dalam dan di luar diri individu, baik yang bersifat fisiologis, psikologis, maupun sosial-kultural.
Ketiga, Keturunan dan Lingkungan sangat berpengaruh terhadap pendidikan.
Keempat, lingkungan pendidikan telah menimbulkan tiga aliran pendidikan, yaitu empirisme yang mengagung-agungkan peranan lingkungan, nativisme yang kurang peduli kepada peranan ligkungan dan konvergensi yang mementingkan lingkungan dan pembawaan dari dalam diri manusia.
Kelima, Fitrah adalah kemampuan dasar dan kecenderungan-kecenderungan yang murni bagi setiap individu. kemampuan-kemampuan dan kecenderungan-kecenderungan tersebut lahir dalam bentuk yang sangat sederhana dan terbatas kemudian saling mempengaruhi dalam lingkungan sehingga tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik dan sebaliknya.

V.                Penutup
Demikian apa yang dapat disajikan oleh pemakalah, semoga dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya. Tentu masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan dalam makalah yang singkat ini, untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan demi penyempurnaan makalah ini.


Daftar Pustaka

Abdullah, Abdurrahman Saleh, Teori-teori Pendidikan berdasarkan Al-Qur’an, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007.
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Al Jamaly, Muhammad Fadhil, Konsep Pendidikan Qur’ani, Solo: Ramadhani, 1993.
Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Nata, Abuddin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Soemanto, Wasty, Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT: Renika Cipta, 1990.




[1] Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Renika Cipta, 1990), hlm. 78.
[2]Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 56.
 [3]Ibid, hlm. 57.
[4]Soemanto, Psikologi Pendidikan. hlm. 80.
[5]Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 291.
[6]Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 64.
[7]Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 55.
[8]Nata, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 293.
[9]Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 41.
[10]Muhammad Fadhil Al Jamaly, Konsep Pendidikan Qur’ani, (Solo: Ramadhani, 1993), hlm. 99.  
[11]Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan berdasarkan Al-Qur’an, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), hlm. 64.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar