Coretan-coretan sang Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang......

Kamis, 13 Maret 2014

Amma Wama Yata'allaqu Biha

AMMA WAMA YATA’ALLAQU BIHA


Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Nahwu
Dosen Pengampu: Ahmad Zuhrudin, M. Ag.





Disusun Oleh:
Miftahuddin                          113211032
Mochamad Fathoni               113211033



FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012

       I.            PENDAHULUAN
Dalam ayat-ayat Al-Qur’an terdapat banyak sekali ayat yang diawali dengan kata amma dan sesuatu yang berhubungan dengannya. kita sebagai seorang muslim harus selalu berupaya untuk memahami Al-Qur’an sesuai dengan makna yang terkandung didalamnya karena Al-Qur’an adalah pedoman yang paling pokok dalam menjalani kehidupan didunia ini. Untuk itu, kita perlu mengetahui maksud dan tujuan dicantumkannya amma dan sesuatu yang berhubungan dengannya. Maka dari itu, dalam makalah ini kami mencoba membahas amma dan sesuatu yang berhubungan dengan amma.

    II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian Amma?
B.     Apa saja hukum-hukum yang terdapat pada Amma dan sesuatu yang berhubungan dengan amma?

 III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian amma
أَمَّاكَمَهْمَايَكُ مِنْ شَيْءٍ,وَفَا  #   لِتِلْوِتِلْوِهَا وُجُوْبًا أُلِفَا
Amma seperti mahmaa yaku min syai-in, dan fa wajib diikutkan kepada lafadz yang terletak sesudah lafadz yang mengikutinya.

Amma adalah huruf yang menunjukan makna tafshil (rincian) yang menduduki tempat adat syarat dan fi’il syarat. Karena itu imam sibawaih menafsirkannya menjadi:
    مَهْمَا يَكُنْ مِنْ شَيْءٍApapun yang akan terjadi
Lafadz yang terletak sesudah ammaberkedudukan sebagai jawab syarat, karena itu harus disertai dengan fa seperti dalam contoh:
أَمَّا زَيْدٌ فَمُنْطَلِقٌ   adapun zaid maka ia tetap berangkat
Bentuk asalnya adalah:
    مَهْمَا يَكُنْ مِنْ شَيْءٍ فَزَيْدٌ مُنْطَلِقٌapapun yang akan terjadi maka zaid tetap berangkat.[1]

Sedangkan dalam kitab Mughni Labib, amma ialah huruf syarat, tafshil dan taukid, dinamakan huruf syarat karena amma sebagai ganti dari syarat dan menyimpan makna syarat.
Memiliki makna taukid maksudnya ialah penekanan terhadap isi pada kalimat tersebut, lafadz  زَيْدٌ ذَاهِبٌ ketika kita menginginkan untuk memperkuat dan menegaskan bahwa zaid benar-benar orang yang bepergian maka diucapkan أَمَّازَيْدٌ فَذَاهِبٌ. Namun sedikit ulama yang menyebutkan amma memiliki makna taukid dan menurut pengarang kitab Mughni, bahwa beliau belum menemukan ulama yang menyertai dalam kitab syarahnya amma memiliki makna taukid selain imam Zamakhsyari.[2]
Maksud tafhsil seperti yang tertera dalam kitab nahwu al-wafa ialah:تَبْيِيْنُ الْأُمُوْرِوَالْأَفْرَادِالْمُجْتَمِعَةِ تَحْتَ لَفْظٍ وَاحِدٍ يَتَضَمَّنُهَا إِجْمَالًا yang intinya  menjelaskan sesuatu yang terkumpul dalam satu lafadz yang umum.[3]
Ada dua hal dimana amma tidak sesuai dengan hokum-hukumnya,yaitu:
1.     Amma yang tersusun dari مأ dan م yang diidghamkan menurut orang yang menuliskannya secara tersambung (متصل), namun hal ini tidak dianggap baik. contoh: أَسَقَيْتَ الْحَقْلَ أَمَّاذَا؟

B.     Hukum-hukum yang terdapat pada amma dan sesuatu yang berhubungan dengan amma
Ada empat hukum yang ada pada amma dan sesuatu yang berhubungan dengannya, yaitu:
1.      Bahwasannya amma ialah adat syarat disebabkan amma menempati tempatnya isim syarat yang berupa مهما dan jumlah yang menjadi fi’il syarat dari مهما tersebut. Maka seakan-akan amma menempati tempatnya مهما يكن من شيء atau مهما يكن شيء. Oleh karena itu, amma bisa dibuang dan diletakkan مهما يكن من شيء atau مهما يكن شيء pada tempat amma tersebut tanpa merusak makna dan juga susunannya.
2.      Wajib mempertemukan jawabnya amma dengan fa jawab yang terletak setelah amma sebagai penjelas dari kata sebelumnya. Namun, jika pada kalam natsar (bukan sya’ir) maka dalam pembuangan fa jawab ini banyak terjadi bilamana pembuangannya itu disertai dengan membuang lafadz al-Qaul, seperti yang terkandung dalam firman Allah SWT:
فَأَمَّا الَّذِيْنَ اسْوَدَّتْ وُجُوْهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيْمَانِك                                   
Artinya: Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (kepada mereka dikatakan): "Kenapa kalian kafir sesudah kalian beriman”.  
(Ali ’Imran: 106)
Bentuk asalnya adalah:
فَيُقَالُ لَهُمْ : أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيْمَانِكُمْ
Maka dikatakan kepada mereka: "Kenapa kalian kafir sesudah kalian beriman”.  
Dan juga fa jawab bisa dibuang dalam kalam sya’ir dikarenakan dalam keadaan dharurat. Dua hal diatas yang memperbolehkan pembuangan fa jawab tidak bisa diqiyaskan dalam keadaan biasa atau normal.
3.      Boleh membuang amma karena ada fa yang tidak lain kecuali menjadi jawabnya amma. Seperti dalam firman Allah SWT:
وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ, وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ, وَالرُّجْزَفَهْجُرْ   
4.      Antara amma dan jawabnya wajib dipisah. Dengan syarat adanya pemisah ialah salah satu dari hal-hal berikut:
نحو
الفاصل
النمرة
فَأَمَّاالَّذِيْنَ أَمَنُوْا فَيَعْلَمُوْنَ أَنَّهُ الْحَقِّ مِنْ رَبِّهِمْ  
مبتد
ا
 أَمَّا كَرِيْمٌ فَالْعَرَبِيُّ أَوْ أَمَّا فِيْ الدَّارِ فَمُحَمَّدٌ    
خبر
ب
  فَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِيْنَ فَرَوْحٌ وَ   رَيْحَانٌ وَجَنَّةُ نَعِيْمٍ                                         
الجملة الشرطية وحدها دون جوابها
ح
 فَأَمَّا الْيَتِيْمَ فَلَا تَقْهَرْ أَوْ أَمَّا السَّائِلَ فَلَاتَنْهَرْ
الأسم المنصوب لفظااومحلابجوابها
د
 أَمَّا فِيْ الْقِتَالِ فَاالسِّلَاحُ اْلعلْمُ
شبه الجملةالمعمول لأما إذالم يوجد عامل غيرها
ه
 أَمَّا اْلآن حَفِيْظُكَ اللهُ فَأَنَا مُفَاسِرٌ
الجملة الدعائية بشرط أن يسبقها شبه جملة
و

                                                                                                                            
 IV.            PENUTUP
A.    Kesimpulan

B.     Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami susun, Kami menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami sendiri dan para pembaca.


DAFTAR PUSTAKA
Abu bakar, Bahrun, Terjemah Alfiyah Syarah Ibnu ‘Aqil, 2009. Bandung: Sinar Baru                               Algensindo.






[1] Bahrun Abu Bakar, Terjemah alfiah,(Bandung: Sinar BaruAlgensindo)hal. 791
[2] Jamaluddin Abdullah bin Yusuf bin Ahmad bin Hisyam,  Mughni labib, ()
[3] Nahwu waf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar