Coretan-coretan sang Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang......

Senin, 24 Februari 2014

Amar Ma'ruf Nahi Munkar

AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR

Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Hadits
Dosen Pengampu: Prof. DR. HM. Erfan Soebahar, MA.




Disusun Oleh:
Nurul Khasanah                         (113111013)
Muhammad Fathoni                  (113111033)
M Agus Salim                            (113111034)
Zoraya Rahmawati                    (113111043)


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SEMARANG
2012

 
I. PENDAHULUAN
       Sesungguhnya kebenaran dan kemungkaran akan senantiasa terus bertarung di muka bumi semenjak keberadaan manusia di atasnya. Setiap meredup cahaya keimanan dalam jiwa-jiwa manusia. Allah mengutus orang yang mengkokohkan dan mambangkitkanya kembali. Allah mempersiapkan orang-orang yang bangkit membela kebenaran, sehingga para pendukung kebatilan seantiasa tunduk dan kalah.[1]
Ketahuilah bahwasanya amar ma’ruf nahi munkar merupakan poros yang paling besar dalam agama islam dan merupakan tugas yang karenanya Allah mengutus para nabi. Andaikan tugas ini ditiadakan, maka akan muncul kerusakan dimana-mana dan dunia akan binasa.
       Seluruh kaum muslimin telah bersepakat atas wajibnya  meningkari kemungkaran. Seorang muslim wajib mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuanya, mengubahnya sesuai dengan kekuatanya untuk melakukan perubahan, dengan perbuatan atau dengan perkataan, dengan tanganya atau dengan lidahnya, atau dengan hatinya.
       Jika nahi mungkar ditinggalkan, maka kejahatan akan tersebar di muka bumi serta akan merebak berbagai kemaksiatan dan kedurhakaan, akan bertambah jumlah pembela kerusakan, mereka akan menguasai orang-orang baik dan menjajahnya, sehingga lenyaplah rambu-rambu akhlak yang utama, tersebar perilaku hina dan ketika itu maka semua orang berhak mendapatkan murka Allah SWT, dihinakan dan disiksa.

II. HADIST DAN TERJEMAH
A. Hadist Abu Bakar al-Shidiq tentang penurunan azab menimpa semua masayarakat
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ قَالَ: أَخْبَرَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ أَنَّهُ قَالَ: أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّكُمْ تَقْرَءُونَ هَذِهِ الآيَةَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ} [المائدة: 105] ، وَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِنَّ §النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الظَّالِمَ فَلَمْ يَأْخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ بِعِقَابٍ مِنْهُ» حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ، نَحْوَهُ. وَفِي البَابِ عَنْ عَائِشَةَ، وَأُمّ سَلَمَةَ، وَالنُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ، -[468]- وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، وَحُذَيْفَةَ وَهَكَذَا رَوَى غَيْرُ وَاحِدٍ عَنْ إِسْمَاعِيلَ نَحْوَ حَدِيثِ يَزِيدَ وَرَفَعَهُ بَعْضُهُمْ عَنْ إِسْمَاعِيلَ وَأَوْقَفَهُ بَعْضُهُم
Menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani’ beliau berkata: menceritakan Yazid bin Harun beliau berkata: mengabarkan kepada kami Ismail bin Abi Kholid, dari Qais bin Abi Hazim, Qais dari Abi Bakar As Siddiq  sesungguhnya beliau berkata: Wahai orang-orang sesungguhnya kalian bacalah ayat ini: “Wahai orang –orang beriman jagalah dirimu, tiadalah orang yang sesat itu akan memberi madhorot kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.”[2] Dan sesungguhnya saya mendengar langsung dari dari Rasulullah SAW. beliau bersabda, ”Sesungguhnya manusia ketika kalian melihat kesesatan maka janganlah membantu mereka, maka Allah akan menurunkan adzab.
B.  Hadits Abi Sa’id al-Khudri tentang perintah mencegah kemungkaran
حَدَّثَنَا بُنْدَارٌ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ، عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ، قَالَ: أَوَّلُ مَنْ قَدَّمَ الخُطْبَةَ قَبْلَ الصَّلَاةِ مَرْوَانُ، فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ لِمَرْوَانَ: خَالَفْتَ السُّنَّةَ، فَقَالَ: يَا فُلَانُ، تُرِكَ مَا هُنَالِكَ، فَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ: أَمَّا هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ، -[470]- سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «§مَنْ رَأَى مُنْكَرًا فَلْيُغيِرْهُ بِيَدِهِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ» : هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
Mengabarkan kepada kami Bundar, beliau berkata: mengabarkan Abdurrahman bin Mahdi berkata Sufyan mengabarkan dari Qais bin Muslim dari Thariq bin Syihab beliau berkata; Orang yang pertama mendahulukan khutbah sebelum sholat adalah Marwan, kemudian seorang lelaki berdiri kemudian berkata kepada Marwan: engkau sudah bertentangan dengan sunnah, kemudian berkata: wahai Fulan perkara itu sudah di tinggalkan.  Kemudian Abu Sa’id  berkata: Adapun ini, apa yang telah diwajibkan padanya telah gugur. Saya mendengar langsung dari Rasulullah,”Barangsiapa yang melihat kemungkaran maka rubahlah kemungkaran itu dengan tangannya, ketika tidak mampu maka dengan lisannya, kemudian apabila masih tidak mampu maka dengan hatinya maka hal ini adalah paling lemahnya iman.[3]

III. PEMBAHASAN
A.    Hadits Abu Bakar tentang penurunan azab menimpa semua masyarakat
                        Hadis ini memiliki urutan sanad antara lain: Ahmad bin mani’ mendapat berita  dari Yazid bin Harun, Yazid mendapatkan berita dari Ismail bin Abi Kholid, Ismail mendapat berita dari Qois bin Abi Hazm Qais mendapat berita dari Abu Bakar As Siddiq, Abu Bakar  mendengar langsung dari Rosullullah SAW. Hadist ini di riwayatkan oleh Imam Tirmidzi.
                        Hadits ini menjelaskan tentang sebuah pesan Rasulullah kepada seluruh umatnya sejak masa shahabat hingga berlangsung sepanjang masa. Dalam hadits ini Rasulullah berpesan kepada umatnya lewat ayat yang diturunkan Allah kepadanya tentang menjaga diri masing-masing umat, apabila setiap umat sudah mampu menjaga diri mereka dengan petunjuk yang telah diberikan oleh Allah maka kesesatan apapun akan dapat mereka singkirkan dari diri dan lingkungan mereka. Rasulullah bersabda “Apabila kalian melihat kesesatan kemudian kalian tidak mengubah atau ragu untuk mengubahnya maka Allah akan menurunkan azab kepada semua masyarakat”. Hal ini berhubungan dengan firman Allah dalam QS. Al Furqon: 19
ôs)sù Nä.qç/¤Ÿ2 $yJÎ/ šcqä9qà)s? $yJsù šcqãèŠÏÜtFó¡n@ $]ù÷Ž|À Ÿwur #ZŽóÇtR 4 `tBur NÎ=ôàtƒ öNà6ZÏiB çmø%ÉçR $\/#xtã #ZŽÎ7Ÿ2 ÇÊÒÈ 
Dan barangsiapa diantara kalian berbuat zhalim, niscaya Kami rasakan kepadanya azab yang besar.”(QS. Al Furqon:19)

                        Ketika terlintas oleh seorang Muslim dorongan kemanusiaannya, dan dosa, maka ia melawannya dengan mengusirnya dari dalam dirinya, dan membencinya agar lintasan tersebut tidak menjadi obsesi, atau keinginan yang ia kerjakan, kemudian ia celaka karenanya. Jika ia tertarik kepada sesuatu, ia berkata,”Apa saja yang dikehendaki Allah pasti terjadi. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan Allah.” Dengan cara seperti itu ia tidak dapat di pengaruhi oleh lintasan hatinya, dan tidak menyerah kalah.[4]
                        Secara empiris membuktikan bahwasanya jika kemungkaran dibiarkan begitu saja dan tidak diubah, maka tidak lama kemudian kemungkaran tersebut akan dianggap sesuatu yang wajar dan di kerjakan oleh semua orang dewasa dan anak-anak. Jika itu telah terjadi, maka kemungkaran tersebut sulit untuk di hilangkan. Ketika itulah para pelakunya berhak mendapatkan hukuman dari Allah SWT. Jika kemungkaran dalam masyarakat muslim di biarkan begitu saja dan kebaikan tidak diperintahkan kepada mereka, maka tidak lama berselang mereka berrohani buruk atau orang-orang jahat, tidak menyuruh kepada kebaikan, dan tidak melarang dalam kemungkaran. Dari hasil pengamatan sehari-hari dapat kita jika jiwa manusia terbiasa dengan keburukan, maka keburukan tersebut akan menjadi wataknya. Itulah kerja amar ma’ruf nahi mungkar.[5]
a.  Penjelasan surat al ma’idah ayat 105
Ayat di atas menjelaskan keengganan kaum musyrikin mengikuti tuntunan Allah dan Rosul-Nya karena kengganan mereka membatalkan tradisi nenek moyang. Pembatalan itu jika mereka terima merupakan pengakuan atas kebodohan dan kepicikan orang tua mereka, dan ini tentu saja dalam pandangan mereka merupakan madharat merugikan mereka. Untuk meluruskan hal ini kaum muslimin diingatkan bahwa menerima petunjuk Allah sama sekali tidak akan mengakibatkan madharat.
Ayat ini bukan berarti mengabaikan amar ma’ruf nahi munkar. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad Ibnu hanbal dalam musnadnya bahwa suatu ketika Rasul SAW, melihat Abu Amir al-Asy’ari berdiam diri menghadapi sesuatu. Maka beliau bersabda: ”Hai Abu Amir, bukankah seharusnya engaku mengubah atau menegur?” Abu Amir menjawab dengan menggunakan ayat ini sehingga Rasul SAW, marah (menegurnya) dengan keras sambil bersabda: ”Kemana kalian pergi (dalam memahami ayat ini)? Kalian hanya tidak akan mendapat mudharat atas kesesatan orang-orang kafir kalau kalian telah memperoleh hidayah (mengamalkanya)”[6]
B. Hadist Abi Sa’id tentang perintah mencegah  kemunkaran
Muslim meriwayatkan dari Thariq bin Shihab, dia berkata, orang yang pertama mengawalkan khutbah pada sholat Ied adalah marwan kemudian laki-laki berdiri dan berkata,” Sholat khotbah .” dia berkata, “ yang demikian itu telah ditinggalkan. “ Maka Abu Said berkata , “Adapun ini, apa yang telah diwajibkan kepadanya telah gugur.” Yaitu telah menunaikan kewajiban dengan menginkari perbuatan yang menyalahi sunnah Rosulullah SAW- kemudian dia berkata, “ saya mendegar .......”(al-hadist)
Dalam riwayat Al-Buhari dan Muslim, sesungguhnya Abu Said RA. adalah orang yang menarik tanganya dan berkata apa yang dikatakan kepadanya (Marwan). Maka Marwan menjawab seperti apa yang disebutkan. Barangkali laki-laki itu mengingkari terlebih dahulu dengan ucapanya, kemudian Abu Sa’id berusaha untuk mengubah kemungkaran dengan tanganya.wallahu a’lam[7]
1.      Pengertian amar ma’ruf  nahi munkar
Secara harfiah amar ma’ruf nahi munkar berarti menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.[8] Sedangkan secara etimologis berarti yang di kenal, sebaliknya munkar adalah sesuatu yang tidak dikenal. Menurut Muhammad Abduh ma’ruf adalah apa yang dikenal (baik) oleh akal sehat dan hati nurani, sedangkan munkar adalah apa yang ditolak oleh akal sehat dan hati nurani.[9]
Adapun nahi munkar mengandung pengertian hal-hal yang munkar, yang menurut Al Maududi adalah nama untuk segala dosa dan kejahatan-kejahatan yang sepanjang masa telah dianggap watak manusia sebagai perbuatan yang jahat. Misalnya membunuh, memfitnah,memusuhi, berzina, berbuat curang, korupsi, mendzalimi masyarakat, dusta dan sifat buruk lainnya.[10]
   Amar ma’ruf nahi munkar adalah ibadah yang sangat mulia, dan sebagaimana yang dimaklumi bahwa suatu ibadah tidak akan diterima oleh allah kecuali apabila ikhlas kepada-Nya dan sebagai amal yang sholeh, suatu amalan tidak akan mungkin menjadi amal sholeh kecuali apabila berlandaskan ilmu yang benar. Karena seseorang yang beribadah tanpa ilmu maka ia lebih banyak merusak daripada memperbaiki, karena ilmu adalah imam amalan, dan amalan mengikutinya.
   Merupakan poros yang paling besar dalam agama, merupakan tugas yang karenanya Allah mengutus para nabi andai kata tugas ini ditiadakan maka akan muncul kerusakan diman-mana dan dunia pun akan binasa.[11]

2.  Unsur-unsur penyampaian amar ma’ruf nahi munkar diantaranya:
a. Ilmu
Diantara syarat dakwah amar ma’ruf  nahi munkar adalah ilmu. Aksi dari amar ma’ruf nahi munkar ini juga harus dilakukan secara bijak, dan didukung dengan ilmu dan kefakihan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Umar bn Adul Aziz, “ barang siapa yang  beribadah kepada allah tanpa ada ilmu, dia akan lebih banyak memberi kerusakan daripada kemaslahatan.” Mu’adz r.a. berkata,” ilmu adalah pemimpin amal sedangkan amal itu adalah pengikutnya. Hal ini sangat jelas kerana niat dan amal itu, apabila keduanya tidak disertai dengan ilmu, ia hanya akan menjadikan kebodohan, kesehatan dan penurutan terhadap hawa nafsu.”
Selain itu kita juga harus selalu membandingkan antara kemaslahatan dan kerusakan yang terjadi, sebelum kita melakukan amar ma’ruf nahi mungkar.[12]
b. Kelembutan
Dalam kelembutan aksi amar  ma’ruf nahi mungkar, kita pun harus selalu bersikap lemah lembut, sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW.,” Perbuatan apa saja yang disertai sikap lemah lembut, maka ia akan menjadi indah. Dan perbuatan apa saja yang disertai sikap jelek, maka ia akan menjadi jelek.” Dalam riwayat lain beliau bersabda,” Barang siapa yang tidak memiliki sikap lemah lembut, niscaya ia akan diharamkan  dari segala kebaikan.[13]
Amar ma’ruf nahi munkar hendaknya di lakukan dengan cara yang hikmah sebagaimana firman Allah SWT,
“ Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik” (Qs an-Nahl:125)
            Hikmah itu berbeda-beda tergantung kondisi orang yang diperintah dan dilarang, juga tergantung pada apa yang diperintahkan dan dilarang adakalanya amar ma’aruf harus dilakukan dengan lemah lembut dan basabasi, juga ada kalanya tidak ada pilihan lain kecuali harus dengan keras dan kasar. Ahmad Rahimahullah  berkata,” manusia membutuhkan basa-basi  dan kelemah lembutan dalam amar ma’ruf  nahi munkar tanpa adanya kekerasan kecuali terhadap orang-orang yang terang-terangan dalam melakukan kefasikan, maka tidak ada yang haram lagi atas orang tersebut.
c.  Kesabaran
                        Seorang pemberi nasehat harus sabar  dengan penderitaan yang dialaminya. Inilah sifat yang diwasiatkan Luqman kepada anaknya dalam firman allah SWT.,” Hai anakku, dirikanlah sholat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh allah) (QS luqman [31]: 17)[14]
                        Ibnu Syubrumah berkata dan ditegaskan lagi oleh Ahmad, “ amar ma’ruf nahi mukar adalah seprti jihad maka yang melakukanya harus bersabar dalam menghadapi dua orang, dia haram untuk lari dari mereka, dan dia tidak wajib bersabar jika harus menghadapi lebih dari dua orang. Namun, jika dia sanggup menanggung penderitaan dan merasa kuat maka itu lebih utama.[15] 

IV. PENUTUP
A.  Kesimpulan
·                  Kemungkaran jika dibiarkan saja maka akan menjadi hal yang wajar, dan jika itu terjadi maka semuanya akan mendapat siksa atau adzab dari Allah apapun bentuk kemungkaran harus kita cegah, semampu kita. Baik dengan perbuatan atau kekuasaan (tangan), dengan lisan (ucapan), ataupun hanya sekedar dengan hati yaitu mengingkari perbuatan munkar tersebut. Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah menyuruh  apa yang diperintahkan oleh syara’ dan  dinilai baik oleh akal, dan mencegah apa yang dilarang syara’ dan dinilai buruk oleh akal. Namun apabila perbuatan itu dianggap baik oleh akal sedangkan dianggap buruk oleh syara’ maka kita harus meningalkannya.
       Dalam menyampaikan Amar Ma’ruf  Nahi Munkar  harus dengan ilmu, kesabaran dan kelembutan. Kesesatan akan tersingkir jika setiap umat dapat menjaga diri dengan petunjuk dari Allah.
B.      Penutup
                             Demikianlah makalah yang bisa kami susun. Kami menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena tu maka kami sangat mengharapkan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.


DAFTAR PUSTAKA
 Abduh, Ahmad Iwad, Mutiara Hadis Qudsi, Kairo: Markaz Al-Kitab li Al-           Nasyr, 2006.
Al-Bugha, Dieb Mustafa, Al-Wafi fi syarhi Arba’in Nawawi, Beirut: Muassasah    Ulumil Qur’an, t.th.
Ilyas, Yunahar,  Kuliah  Ahlak, Yogyakarta:  Lembaga Pengkajian dan Pengalaman, 2007.
Abu  Al-jazair Bakr, Minhajjul Muslim, Beirut: Darul Fikr, t.th.
Nata, Abuddin, Tafsir ayat-ayat pendidikan (Tafsir ayat-ayat pendidikan nabawiy), Jakarta: PT. Raja grafindo persada, 2002.
 Qudamah, Al-Imam Asy-Syeikh Ahmad Bin Abdurrahman bin, Minhajul Qosidin, (Jakarta: Pustaka Al – Kausar, 2006), hlm.147
Shihab, M Quraish, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Tim Pentashih Al Qur’an Departemen Agama, Al-Qur’an  Bahasa Indonesia Terjemah, Kudus: Menara Kudus, 2006.




[1] Mustafa Dieb Al-Bugha dan Muhyidin, Al wafi fi Syarah Arba’in Nawawi, (Beirut: Muassasah Ulumil Qur’an, t.th), hlm.317.

            [2] Departemen Agama,  Al-qur’an Terjemah Bahasa Indonesia, (Kudus: Menara Kudus, 2006),  hlm. 125
                [3] Al-Imam Asy-Syeikh Ahmad Bin Abdurrahman bin Qudamah,  Minhajul Qosidin, (Jakarta : Pustaka Al – Kausar, 2006),   hlm.147
[4] Ibid, hlm.149
                [5] Abu Bakr Al-jazairi, Minhajjul Muslim , ( Beirut: Darul Fikr, t.th), hlm.88
                [6] M Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah ( Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 272
                [7] Mustafa Dieb Al-Bugha dan Muhyidin, Op.Cit. hlm. 316-317
                [8] Yunahar Ilyas,  Kuliah Ahlak ( Yogyakarta: Lembaga pengkajian dan pengamalan islam, 2007), hlm.241
                [9] Yunahar Ilyas, Op.Cit. hlm.142
[10]Abuddin nata, Tafsir ayat-ayat pendidikan (Tafsir ayat-ayat pendidikan nabawiy) (Jakarta: PT.Raja grafindo persada,2002), hlm.179
[11] Mustafa Dieb Al-Bugha dan Muhyidin, Op.Cit. hlm.329

[12] Ahmad Abduh Iwadh, Mutiara Hadis Qudsi, (Kairo: Markaz Al-Kitab li Al-Nasyr,2006, hlm.221
                [13]Ibid
                [14] Mustafa Dieb Al-Bugha dan Muhyidin, Op.Cit. hlm.328
                [15] Ahmad Abduh Iwadh, Op.Cit. hlm.223

Tidak ada komentar:

Posting Komentar