Periodisasi Penghimpunan Hadits
I.
PENDAHULUAN
Dalam sejarah
penghimpunan dan kodifikasi hadits mengalami perkembangan yang agak lamban dan
bertahap dibandingkan perkembangan kodifikasi Al-Qur’an. Hal ini wajar, karena
Al-Qur’an pada masa Nabi sudah tercatat seluruhnya sekalipun sangat sederhana,
dan mulai dibukukan pada masa Abu Bakar r.a sekalipun dalam penyempurnaannya
dilakukan pada masa Utsman bin Affan yang disebut dengan tulisan utsmani (khath
usmani). Sedangkan penulisan hadits pada masa Nabi secara umum justru malah
dilarang. Masa pembukuannya pun terlambat sampai pada masa abad kedua hijriyah
dan mengalami kejayaan pada abad ke-3H.
Penghimpunan hadits mengalami proses perkembangan yang lamban, melibatkan
banyak orang dari masa ke masa dan menghadapi kendala serta permasalahan yang banyak.
Perkembangan penghimpunan hadits di sini dibagi menjadi 5 periode, yaitu periode Nabi
Muhammad SAW, periode sahabat, periode
tabi’in, periode tabi’ tabi’in
dan periode setelah tabi’ tabi’in.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Apa periodisasi penghimpunan hadits itu?
B. Ada berapa pengklasifikasian periode
pengkodifikasian hadits?
C. Ada berapakah cara yang ditempuh oleh
para sahabat untuk mendapatkan hadits Nabi Muhammad SAW.
D. Faktor-faktor apakah yang mendorong
pengumpulan dan pengkodifikasian hadits?
III.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Periodisasi Penghimpunan Hadits
Periodisasi
penghimpunan hadits merupakan fase-fase yang telah ditempuh dan dialami dalam
sejarah pembinaan dan perkembangan hadits, sejak Rasulullah SAW masih hidup
sampai terwujudnya kitab-kitab yang dapat disaksikan dewasa ini.[1]
B. Klasifikasi Periode Pengkodifikasian Hadits
1.
Periode Nabi Muhammad SAW (13 SH-11 H)
Nabi dalam melaksanakan
tugas sucinya yakni sebagai Rasul berdakwah, menyampaikan dan mengajarkan
risalah islamiyah kepada umatnya. Nabi
sebagai sumber hadits menjadi figur sentral yang mendapat perhatian para
sahabat. Segala aktifitas Beliau seperti perkataan, perbuatan dan segala
keputusan Beliau diingat dan disampaikan kepada sahabat lain yang tidak
menyaksikannya, karena tidak seluruh sahabat dapat hadir di majlis Nabi dan
tidak seluruhnya selalu menemani Beliau. Bagi mereka yang hadir dan mendapatkan
hadits dari Beliau berkewajiban menyampaikan apa yang dilihat dan apa yang
didengar dari Rasulullah baik ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits-hadits dari Rasulullah.
Mereka sangat antusias dan patuh pada perintah-perintah Nabi SAW, sesuai dengan
sabda Beliau:
بَلِّغُوْا عَنِّيْ وَلَوْا آيَةً
“Sampaikan dari padaku walaupun satu ayat.”
(HR. Al-Bukhari, dan At-Tirmidzi dari Ibnu Umar)
Dan sabda Nabi:
نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَحَفِظَهُ
حَتَّي يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهِ إِلَي مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ
وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ
“Semoga Allah
menerangi seseorang yang mendengar dari kami sebuah hadits, kemudian ia hapal
sehingga ia sampaikan kepada orang lain. Maka banyak pembawa fikih (ilmu)
kepada orang yang lebih paham dari padanya dan banyak pembawa fikih tetapi ia
tidak ahli fikih.” (HR. Al-Bukhari)
Perhatian
sahabat terhadap hadits sangat tinggi terutama di berbagai majlis Nabi atau
tempat untuk menyampaikan risalah islamiyah seperti di masjid, halaqah ilmu, dan
di barbagai tempat yang dijanjikan Rasulullah. Mereka berkewajiban menghadiri
tempat-tempat itu untuk menerima petunjuk dan pelajaran dari hadits Beliau.
Perhatian para sahabat pada hadits sangat tinggi untuk diingat dan disampaikan
kepada para sahabat lain yang tidak hadir dalam majlis. Demikian juga diantara
mereka yang tidak hadir dalam majlis Rasul juga sangat inten untuk mencari
informasi tentang apa yang disampaikan Beliau, baik yang secara langsung atau
melalui utusan. Diantara mereka ada yang bergantian hadir di majlis Beliau
seperti yang dilakukan oleh Umar ra. berkata: aku bersama tetanggaku sahabat
anshar bani Umayah Bin Zaid-dia diantar tokoh madinah- bergantian hadir di
majlis Rasulullah SAW, sehari dia hadir dan hari lain aku yang hadir. Jika aku
yang hadir aku sampaikan kepadanya berita tentang wahyu dan yang lain
kepadanya, demikian juga jika ia yang hadir.
Nabi
SAW menjadi pusat nara sumber, referensi, dan tumpuan pertanyaan, ketika mereka
menghadapi suatu masalah baik secara langsung atau tidak langsung seperti
melalui istri-istri Beliau dalam masalah-masalah keluarga dan kewanitaan,
karena mereka orang-orang yang paling mengetahui keadaan Rasul dalam masalah
keluarga. Seperti kisah seorang sahabat yang mengirim istrinya untuk menanyakan
hukum mencium istri pada saat berpuasa. Umi Salamah menjawab: bahwa Rasul
menciumnya sedangkan Beliau berpuasa. Demikian juga para sahabat wanita sering
berdatangan kepada istri-istri Nabi untuk bertanya masalah-masalah yang
dihadapinya. Terkadang mereka langsung bertanya kepada Rasul dan dijelaskan
oleh istri-istri Beliau.[2]
Hadits yang
memperbolehkan penulisan sunnah juga banyak sekali yaitu diantaranya:
a.
Dari Abu Hurairah ra. bahwa ada seorang laki-laki dari sahabat anshar
menyaksikan hadits Rasulullah tetapi tidak hapal, kemudian bertanya kepada Abu
Hurairah maka ia memberitakannya. Kemudian ia mengadu tentang hapalannya yang
minim tersebut, maka Nabi bersabda:
اِسْتَعِنْ عَلَي حِفْظِكَ بِيَمِيْنِكَ (رواه التّرمذي)
“Bantulah hapalanmu dengan tanganmu” (HR. At-Tirmidzi)
b.
Dari Abu Hurairah ra. pada saat Nabi menaklukan makkah, Beliau berdiri
dan berkhutbah. Maka berdirilah seorang laki-laki dari Yaman bernama Abu Syah
dan bertanya “tuliskanlah aku”, maka Rasulullah bersabda:
اُكْتُبُوْا لِأَبِيْ شَاة وفي رواية احمد: اُكْتُبُوْا
لَهُ
“Tuliskanlah
untuk Abi Syah (HR. Al-Bukhari dan Abu Dawud). Dalam riwayat Imam Ahmad:
tuliskanlah dia”
Dalam
mencari solusi 2 fersi hadits yang kontra di atas para ulama berbeda pendapat.
Diantara mereka berpendapat bahwa hadits yang melarang penulisan dihapus
(di-nasakh) dengan hadits yang memperbolehkannya. Hadits Abu Sai’d Al-Khudri
terjadi pada awal islam dimana di antara sahabat yang mampu menulis belum
begitu banyak kira-kira dapat dihitng dengan jari, sementara sarana penulisan juga
masih sangat sederhana, maka sangat dikhawatirkan tercampur dengan Al-Qur’an.
Sedang hadits Abi Syah terjadi pada akhir kehidupan Rasulullah yaitu pada masa
penaklukan makkah (fath makkah)
2. Periode Sahabat (12-98H)
Setelah
Nabi Muhammad SAW wafat para sahabat belum memikirkan penghimpunan dan
pengkodifikasian hadits, karena banyak problem yang dihadapi, diantaranya
timbulnya kelompok orang yang murtad, timbulnya peperangan sehingga banyak penghafal
Al-Qur’an yang gugur dan konsentrasi mereka bersama Abu Bakar dalam membukukan
Al-Qur’an. Demikian juga kasus lain kondisi orang-orang asing atau non arab
yang masuk islam yang tidak paham bahasa arab secara baik sehingga
dikhawatirkan tidak bisa membedakan antara Al-Qur’an dan hadits.[3]
Para
sahabat memang berbeda dalam banyak dan sedikitnya periwayatan karena profesi
mereka yang berbeda. Di antara
mereka ada yang terjun dalam
politik praktis seperti: sahabat Abu bakar, Umar, Utsman, Ali. Ada yang
berprofesi sebagai petani, peternak, pedagang, berperang dan lain sebagainya.
Demikian juga dalam bidang keilmuan di antara mereka da yang ahli dalam bidang
tafsir seperti Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas, ada yang ahli dalam
bidang ilmu faraid (pembagian harta warisan) seperti Zaid bin Tsabit dan ada
juga yang ahli dalam bidang hadits seperti para sahabat yang banyak
meriwayatkan hadits berikut ini.
Ada
6 orang diantara sahabat yang tergolong banyak meriwayatkan hadits yaitu:
1. Abu Hurairah sebanyak 5.374 hadits
2. Abullah bin Umar bin Al Khattab sebanyak
2.635 hadits
3. Anas bin Malik sebanyak 2.286 hadits
4. Aisyah Ummi Al-Mu’minin sebanyak 2.210
hadits
5. Abdullah bin Abbas sebanyak 1.660 hadits
6. Jabir bin Abdullah sebanyak 1.540 hadits
Pada
masa sahabat Ali karromallahu wajhah timbul perpecahan di kalangan umat islam akibat
konflik politik di antara
pendukung sahabat Ali dan Muawiyah. Akibat perpecahan ini mereka tidak
segan-segan membuat hadits palsu (mawdhu) untuk mengklaim bahwa dirinya yang
paling benar di antara
golongan atau partai-partai di
atas
dan untuk mencari dukungan dari umat islam. Pada masa inilah awal terjadinya
hadits mawdhu dalam sejarah yang merupakan dampak konflik politik secara
internal. Sebab perpecahan ini pula masing-masing kelompok menolak hadits yang
diriwayatkan oleh kelompok lawannya karena masing-masing memiliki persyaratan
tertentu. Syiah misalnya, hanya menerima hadits yang perowinya dari ahli bait
karena hanya merekalah yang memiliki kredibilitas dalam periwayatan. Mereka
mempunyai kitab hadits Al Majmu’ yaitu himpunan hadits yang shohih menurut
mereka. Khawarij menolak hadits para sahabat yang terlibat dalam perdamaian
antara pendukung sahabat Ali dan Muawiyah.[4]
3.
Periode
Tabi’in
Pada
masa ini disebut masa pengkodifikasian hadits
"الجمع
والتدوين"
Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H) yakni yang hidup pada akhir abad 1 H
menganggap perlu adanya penghimpunan dan pembukuan hadits, karena Beliau
khawatir lenyapnya ajaran-ajaran Nabi setelah wafatnya para ulama’ baik di
kalangan sahabat atau tabi’in, maka Beliau intruksikan kepada para gubernur di
seluruh negeri islam agar para ulama’ dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan
hadits.
Inilah surat Kholifah yang dikirim kepada Ibn Hazm:
أُكْتُبْ إِلَيَّ بِمَا يَثْبُتُ عِنْدَكَ مِنَ الْحَدِيْثِ عَنْ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنِّي خَشِيْتُ دُرُوْسُ الْعِلْمَ
وَذَهَابَ الْعُلَمَاءِ
“Tulislah kepadaku apa yang tetap padamu dari pada
hadist Rasulullah, sesungguhnya aku khawatir hilangnya ilmu dan wafatnya para
ulama.”
Namun pendapat yang paling popular adalah bahwa surat
itu disampaikan kepada Muhammad bin Muslim bin Asy-Syihab Az-Zuhri sedangkan Ibnu
Hazm hanya menyampaikan intruksi kholifah.
Berdasarkan inilah para ahli sejarah dan ulama
berkesimpulan bahwa Az-Zuhri adalah orang yang pertama yang mengkodifikasikan
hadits pada awal tahun 100H di bawah kholifah Umar bin Abdul Aziz. Kemudian
aktifitas penghimpunan dan pengkodifikasian hadits tersebar di negeri islam
pada abad ke-2 H. Penghimpunan hadits pada abad ini masih bercampur dengan
perkataan sahabat dan fatwanya. Berbeda dengan penulisan pada abad sebelumnya
yang masih berbentuk lembaran-lembaran yang hanya dikumpulkan tanpa klasifikasi
ke dalam beberapa bab secara tertib.
Diantara buku-buku yang muncul pada masa ini adalah:
a.
Al-Muwaththa’, yang ditulis oleh Imam Malik.
b.
Al-Musshannaf, oleh Abdul Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani
c.
As-sunnah, ditulis oleh Abdul bin Mansur.[5]
4. Periode Tabi’ Tabi’in
Periode ini adalah periode pengikut tabi’in yakni pada
abad 3H yang disebut ulama salaf atau mutaqaddimin. Pada periode ini disebut
masa kejayaan as-sunnah "من عصور الإظهار", karena pada masa ini
kegiatan rihlah mencari ilmu dan sunnah serta pembukuannya mengalami puncak
keberhasilan yang luar biasa, maka lahirlah buku induk hadits 6 "امهات الكتب الستة "
maksud buku induk hadits 6 ialah buku-buku hadits yang dijadikan pedoman dan
referensi para ulama’ hadits berikutnya, yaitu:
a.
الجميع الصحيح لألبخارى
b.
الجميع الصحيح لمسلم بن الحجاج القشيري
c.
سنن النسائي
d.
سنن أبو داود
e.
جميع الترميذي
f.
سنن ابن ماجه القزويني
Periode
ini masa yang paling sukses dalam pembukuan hadits, sebab pada masa ini ulama
hadits telah berhasil memisahkan antara hadits shahih dan tidak shahih. Dan
yang pertama kali berhasil membukukan hadits shahih saja adalah Imam Al-Bukhari
dan Imam Muslim. Oleh karena itu pada periode ini disebut juga masa kodifikasi
dan filterisasi.
Perkembangan
pembukuan hadits pada periode tabi’in ada 3 bentuk, yaitu sebagai berikut:
a.
Musnad, yaitu
menghimpun semua hadits dari tiap-tiap sahabat tanpa memperhatikan masalah atau
topiknya. Misalnya, semua hadits Nabi yang diperoleh dari rawi Abu Hurairah
dikelompokkan pada bab hadits-hadits Abu Hurairah dan seterusnya. Kitab hadits
yang disusun secara musnad ini misalnya, musnad Imam Ahmad bin Hambal (164-241
H) dan musnad Ahmad bin Rahawaih (161-238 H).
b.
Al-Jami’, yaitu tehnik
pembukuan hadits yang mengakumulasi sembilan masalah yaitu aqaid, hukum,
perbudakan, adab makan minum, tafsir, tarikh,
sifat-sifat akhlaq, fitnah dan manaqib (sejarah). Misalnya, kitab al-jami’
ash-shahih li al-bukhari, al-jami’ al-shahih li muslim.
c.
Sunan,
tehnik penghimpunan hadits secara bab seperti fiqih, seperti sunan an-nasa’i,
sunan ibnu majah, dan sunan abu dawud.
5. Periode Setelah Tabi’ Tabi’in
Pada
masa abad ini disebut
penghimpunan dan penertiban. Ulama’ yang hidup pada abad ke-4 H dan berikutnya
disebut ulama’ khalaf atau muta’akhirin. Berbeda dengan ulama pada masa
sebelumnya, mereka menghimpun hadits Nabi dengan cara langsung mendengar dari
guru-gurunya kemudian mengadakan penelitian sendiri baik matan dan sanadnya.
Untuk itu mereka tidak segan-segan mengadakan perjalanan jauh untuk mengecek
kebenaran hadits yang mereka dengar dari orang lain. Sedangkan ulama pada masa
abad ke 4 H dan seterusnya cara periwayatan dan pembukuannya bereferensi dan
mengutip dari kitab-kitab pada abad sebelumnya. Oleh karena itu tidak banyak
penambahan hadits pada abad ini.
Perkembangan
tehnik pembukuan hadits pada abad ke4-6 H ialah sebagai berikut:
1. Mu’jam,
artinya penghimpuna hadits yang diperoleh berdasarkan nama sahabat secara abjad
seperti kitab al-mu’jam al-kabir karya Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabrani.
2. Shahih,
artinya metode pembukuannya mengikuti metode pembukuan hadits shohihain (Al
Bukhori dan Muslim) yang hanya mengumpulkan hadits yang shohih saja menurut
penulisnya shohih Ibnu Hibban Al-Basti dll.
3. Al-mustadrak,
artinya menambah beberapa hadits sohih yang belum disebutkan dalam kitab Al-Bukhori
dan muslim serta menurutnya telah memenuhi persyaratn keduanya, seperti
al-mustadrak ala shahihain karya Abi Abdullah Al-Hakim An-Naisaburi.
4. Sunan,
artinya metode penulisannya seperti kitab sunan abad sebelumnya. Seperti, Muntaqa
Ibn Al-Jarud, Sunan Ad-Daruq Quthni.
5. Syarah,
yakni penjelasan hadits baik yang berkaitan dengan sanad atau matan, terutama
maksud dan makna matan hadits atau pemecahannya jika terjadi kontradiksi dengan
ayat atau hadits lain. Misalnya, Syarah Ma’ani Al-Atsar karya Ath-Thahawi.
6. Mustakhraj,
ialah seorang penghimpun hadits mengeluarkan beberapa buah hadits dari sebuah
buku hadits seperti yang diterima dari gurunya sendiri dengan menggunakan sanad
sendiri. Misalnya, Mustakhraj Abi Bakr Al-Isma’ili Ala Shahih Al-Bukhari.
7. Al-jam’u,
yaitu gabungan dua atau beberapa buku hadits menjadi satu buku, seperti Al-Jam’u
Bayn As-Shahihain karya Isma’il bin Ahmad yang terkenal dengan Ibnu Al-Furat.[6]
C. Cara yang Ditempuh oleh Para Sahabat untuk Mendapatkan
Hadits Nabi Muhammad SAW.
Ada
empat cara yang ditempuh oleh para sahabat untuk mendapatkan hadits Nabi SAW:
1.
Mendatangi majlis-majlis ta’lim yang diadakan Rasulullah SAW. Rasulullah
SAW selalu menyediakan waktu-waktu khusus untuk mengajarkan ajaran-ajaran islam
kepada para sahabat. Para sahabat selalu berusaha untuk menghadiri majlis
tersebut meskipun mereka juga sibuk dengan pekerjaan masing-masing, seperti
menggembala ternak atau berdagang. Apabila mereka berhalangan, maka mereka
bergantian menghadiri majlis tersebut, sebagaimana yang dilakukan Umar dan
tetangganya. Yang hadir memberi informasi yang mereka dapatkan kepada yang tidak
hadir.
2.
Kadang-kadang Rasul SAW sendiri menghadapi beberapa peristiwa tertentu,
kemudian Beliau menjelaskan hukumnya kepada para sahabat. Apabila para sahabat
yang hadir menyaksikan peristiwa tersebut jumlahnya banyak, maka berita tentang
peristiwa itu akan segera tersebar luas. Namun, apabila yang hadir hanya
sedikit, maka Rasulullah memerintahkan mereka yang hadir untuk
memberitahukannya kepada sahabat yang lain yang kebetulan tidak hadir.
Adakalanya Rasulullah SAW melihat atau mendengar seorang sahabat melakukan
suatu kesalahan, lantas Beliau mengoreksi kesalahan tersebut. Diriwayatkan oleh
Umar ibn Al-Khaththab, bahwa dia menyaksikan seseorang sedang berwudlu untuk
shalat, namun dia melakukannya tanpa membasuh bagian atas kuku kakinya. Hal
tersebut dilihat oleh Rasulullah SAW, dan Rasul SAW menyuruhnya untuk
menyempurnakan wudlunya dengan mengtakan
, “kembalilah engkau berwudlu, dan baguskan (sempurnakan)-lah wudlumu!”
orang tersebut segera mengulangi wudlunya dan kemudian barulah dia melaksanakan
shalat.
3.
Kadang-kadang terjadi sejumlah peristiwa pada diri para sahabat,
kemudian mereka menanyakan hukumnya kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah SAW
memberikan fatwa atau penjelasan hukum tentang peristiwa tersebut. Kasus yang
terjadi adakalanya mengenai diri Si penanya sendiri, namun tidak jarang pula
terjadi pada diri sahabat lain yang kebetulan disaksikannya atau didengarnya Rasulullah
SAW dalam hal ini tidak membedakan diantara sahabat yang datang bertanya kepada
Beliau, sehingga seorang badawi yang datang dari tempat yang jauh pun akan
mendapat perlakuan yang sama dengan apa yang diperoleh oleh para sahabat yang
selalu mendampingi Rasulullah SAW. Bahkan apabila seorang sahabat mendengar
sesuatu (secara tidak langsung) dari Rasul SAW, maka sahabat tersebut, dalam
rangka mengkonfirmasikan berita itu, tanpa segan-segan menanyakan kembali hal
tersebut kepada Beliau. Dan pada umumnya, dalam rangka untuk mendapatkan
keterangan yang meyakinkan dan menentramkan hati mereka tentang peristiwa yang
terjadi pada diri mereka, para sahabat tidak merasa malu untuk datang secara
langsung menanyakan kepada Rasulullah SAW. Akan tetapi, apabila diantara mereka
ada yang malu untuk bertanya secara langsung kepada Rasulullah SAW tentang
masalah yang dialaminya, maka biasanya sahabat yang bersangkutan akan mengutus
seorang sahabat yang lain untuk bertanya tentang kedudukan masalah tersebut.
4.
Kadang-kadang para sahabat menyaksikan Rasulullah SAW melakukan suatu
perbuatan, dan sering kali yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan ibadah,
seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan yang lainnya. Sahabat yang menyaksikan
perbuatan tersebut, kemudian menyampaikannya kepada yang lainnya atau generasi
sesudahnya. Diantara contohnya adalah peristiwa dialog yang terjadi antara Rasul
SAW dengan Jibril mengenai masalah iman, islam, ihsan, dan tanda-tanda hari
kiamat.
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ
رَجُلٌ فَقَالَ مَاالْإِيْمَانُ؟ قَالَ الْإِيْمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ...فَقَالَ: هذَا
جِبْرِيْلُ جَاءَ يُعَلِّمُ النَّاسَ دَيْنَهُمْ.(رواه البخاري)
Dari Abu
Hurairah ra. berkata, adalah Nabi SAW tampak pada suatu hari di tengah-tengah
manusia (sahabat), maka datang kepadanya seorang laki-laki seraya bertanya,
“apakah iman itu?” Rasul SAW menjawab, “iman itu adalah bahwa engkau beriman…”
(Akhirnya) Rasul SAW mengatakan (kepada para sahabat) “dia adalah (malaikat) Jibril
yang datang untuk mengajari manusia tentang masalah agama mereka.” (HR. Bukhari)[7]
D. Faktor-Faktor yang Mendorong Pengumpulan dan
Pengkodifikasian Hadits
Ada beberapa faktor yang mendorong Umar bin Abdul Aziz
mengambil inisiatif untuk memerintahkan para gubernur dan pembantunya untuk
mengumpulkan dan menuliskan hadits, diantaranya: pertama, tidak adanya
lagi penghalang untuk menuliskan dan membukukan hadits, yaitu kekhawatiran
bercampurnya hadits dengan Al-Qur’an karena Al-Qur’an ketika itu telah
dibukukan dan disebarluaskan. Kedua, munculnya kekhawatiran akan hilang dan lenyapnya
hadits karena banyaknya para sahabat yang meninggal dunia akibat usia lanjut
atau karena seringnya terjadi peperangan. Ketiga, semakin maraknya
kegiatan pemalsuan hadits yang dilatarbelakangi oleh perpecahan politik dan
perdebatan madzhab di kalangan umat islam. Keadaan ini apabila diteruskan akan
merusak kemurnian ajaran islam, sehingga upaya untuk menyelamatkan hadits
dengan cara pembukuannya setelah melalui seleksi yang ketat harus segera
dilakukan. Keempat, karena telah semakin luasnya daerah kekuasaan islam
disertai dengan semakin banyak dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh
umat islam, maka hal tersebut menuntut mereka untuk mendapatkan
petunjuk-petunjuk dari hadits Nabi Muhammad SAW, selain petunjuk Al-Qur’an itu
sendiri.[8]
IV.
Simpulan
Periodisasi
penghimpunan hadits merupakan fase-fase yang telah ditempuh dan dialami dalam
sejarah pembinaan dan perkembangan hadits, sejak Rasulullah SAW masih hidup
sampai terwujudnya kitab-kitab yang dapat disaksikan dewasa ini.
Tabel perkembangan pembinaan dan penghimpunan hadits:
No
|
Periode
|
Perkembengan
|
Karakteristik
penulisan
|
Model
buku
|
1.
|
Masa
Nabi Muhammad SAW
|
Larangan
penulisan (nahyu al-kitabah)
|
Hadits
dihapal di luar kepala
|
Catatan
pribadi bentuk shahifah atau lembaran
|
2.
|
Masa
sahabat
|
Penyederhanaan
periwayatan pada masa khulafaur rasyidin dan masa perlawatan hadist masa
setelahnya
|
Disertai
sumpah dan saksi pada masa khulafaur rasyidin disertai sanad pada masa
setelahnya
|
Catatan
pribadi dalam bentuk shahifah atau lembaran
|
3.
|
Masa
tabi’in
|
Penghimpunan
hadits
|
Bercampur
antara hadits nabi dan fatwa sahabat
|
Shahifah,
musannaf, muwaththa’, musnad dan jami’
|
4.
|
Masa
tabi’ tabi’in
|
Kejayaan
kodifikasi hadits
|
Filterisasi
dan klasifikasi hadits
|
Musnad,
jami’ dan sunan
|
5.
|
Masa
setelah tabi’ tabi’in (abad IV H dan seterusnya)
|
Penghimpunan
dan penertiban secara sistematik
|
Bereferensi
pada buku-buku sebelumnya tetapi lebih sistematik
|
Mu’jam,
mustadrak, mustakhraj, ikhtishar dan syarah, zawa’id jami’, Jawami’, athraf,
takhrij dan mu’jam.
|
V.
PENUTUP
Syukur
Alhamdulillah atas selesainya makalah ini tepat pada waktunya. Akan tetapi
jelas masalah ini tidaklah sempurna, oleh karena itu, pemakalah sangat
mengharapkan segala bentuk kritik dan saran guna memperbaiki makalah ini dan
yang akan datang.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Majid
Khon, Abdul. 2009. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah
Yuslem,
Nawir. 1998. Ulumul Hadis. Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar