Coretan-coretan sang Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang......

Minggu, 09 Februari 2014

Periodisasi Penghimpunan Hadits

Periodisasi Penghimpunan Hadits
I.                   PENDAHULUAN

Dalam sejarah penghimpunan dan kodifikasi hadits mengalami perkembangan yang agak lamban dan bertahap dibandingkan perkembangan kodifikasi Al-Qur’an. Hal ini wajar, karena Al-Qur’an pada masa Nabi sudah tercatat seluruhnya sekalipun sangat sederhana, dan mulai dibukukan pada masa Abu Bakar r.a sekalipun dalam penyempurnaannya dilakukan pada masa Utsman bin Affan yang disebut dengan tulisan utsmani (khath usmani). Sedangkan penulisan hadits pada masa Nabi secara umum justru malah dilarang. Masa pembukuannya pun terlambat sampai pada masa abad kedua hijriyah dan mengalami kejayaan pada abad ke-3H. Penghimpunan hadits mengalami proses perkembangan yang lamban, melibatkan banyak orang dari masa ke masa dan menghadapi kendala serta permasalahan yang banyak. Perkembangan penghimpunan hadits di sini dibagi menjadi 5 periode, yaitu periode Nabi Muhammad SAW, periode sahabat, periode tabi’in, periode tabi’ tabiin dan periode setelah tabi’ tabi’in.

II.                RUMUSAN MASALAH

A.    Apa periodisasi penghimpunan hadits itu?
B.     Ada berapa pengklasifikasian periode pengkodifikasian hadits?
C.  Ada berapakah cara yang ditempuh oleh para sahabat untuk mendapatkan hadits Nabi Muhammad SAW.
D.    Faktor-faktor apakah yang mendorong pengumpulan dan pengkodifikasian hadits?

III.             PEMBAHASAN

A.    Pengertian Periodisasi Penghimpunan Hadits
Periodisasi penghimpunan hadits merupakan fase-fase yang telah ditempuh dan dialami dalam sejarah pembinaan dan perkembangan hadits, sejak Rasulullah SAW masih hidup sampai terwujudnya kitab-kitab yang dapat disaksikan dewasa ini.[1]
B.     Klasifikasi Periode Pengkodifikasian Hadits
1.      Periode Nabi Muhammad SAW (13 SH-11 H)
Nabi dalam melaksanakan tugas sucinya yakni sebagai Rasul berdakwah, menyampaikan dan mengajarkan risalah islamiyah kepada umatnya. Nabi sebagai sumber hadits menjadi figur sentral yang mendapat perhatian para sahabat. Segala aktifitas Beliau seperti perkataan, perbuatan dan segala keputusan Beliau diingat dan disampaikan kepada sahabat lain yang tidak menyaksikannya, karena tidak seluruh sahabat dapat hadir di majlis Nabi dan tidak seluruhnya selalu menemani Beliau. Bagi mereka yang hadir dan mendapatkan hadits dari Beliau berkewajiban menyampaikan apa yang dilihat dan apa yang didengar dari Rasulullah baik ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits-hadits dari Rasulullah. Mereka sangat antusias dan patuh pada perintah-perintah Nabi SAW, sesuai dengan sabda Beliau:
بَلِّغُوْا عَنِّيْ وَلَوْا آيَةً
“Sampaikan dari padaku walaupun satu ayat.” (HR. Al-Bukhari, dan At-Tirmidzi dari Ibnu Umar)
Dan sabda Nabi:
نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَحَفِظَهُ حَتَّي يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهِ إِلَي مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ
“Semoga Allah menerangi seseorang yang mendengar dari kami sebuah hadits, kemudian ia hapal sehingga ia sampaikan kepada orang lain. Maka banyak pembawa fikih (ilmu) kepada orang yang lebih paham dari padanya dan banyak pembawa fikih tetapi ia tidak ahli fikih.” (HR. Al-Bukhari)
Perhatian sahabat terhadap hadits sangat tinggi terutama di berbagai majlis Nabi atau tempat untuk menyampaikan risalah islamiyah seperti di masjid, halaqah ilmu, dan di barbagai tempat yang dijanjikan Rasulullah. Mereka berkewajiban menghadiri tempat-tempat itu untuk menerima petunjuk dan pelajaran dari hadits Beliau. Perhatian para sahabat pada hadits sangat tinggi untuk diingat dan disampaikan kepada para sahabat lain yang tidak hadir dalam majlis. Demikian juga diantara mereka yang tidak hadir dalam majlis Rasul juga sangat inten untuk mencari informasi tentang apa yang disampaikan Beliau, baik yang secara langsung atau melalui utusan. Diantara mereka ada yang bergantian hadir di majlis Beliau seperti yang dilakukan oleh Umar ra. berkata: aku bersama tetanggaku sahabat anshar bani Umayah Bin Zaid-dia diantar tokoh madinah- bergantian hadir di majlis Rasulullah SAW, sehari dia hadir dan hari lain aku yang hadir. Jika aku yang hadir aku sampaikan kepadanya berita tentang wahyu dan yang lain kepadanya, demikian juga jika ia yang hadir.
Nabi SAW menjadi pusat nara sumber, referensi, dan tumpuan pertanyaan, ketika mereka menghadapi suatu masalah baik secara langsung atau tidak langsung seperti melalui istri-istri Beliau dalam masalah-masalah keluarga dan kewanitaan, karena mereka orang-orang yang paling mengetahui keadaan Rasul dalam masalah keluarga. Seperti kisah seorang sahabat yang mengirim istrinya untuk menanyakan hukum mencium istri pada saat berpuasa. Umi Salamah menjawab: bahwa Rasul menciumnya sedangkan Beliau berpuasa. Demikian juga para sahabat wanita sering berdatangan kepada istri-istri Nabi untuk bertanya masalah-masalah yang dihadapinya. Terkadang mereka langsung bertanya kepada Rasul dan dijelaskan oleh istri-istri Beliau.[2]
Hadits yang memperbolehkan penulisan sunnah juga banyak sekali yaitu diantaranya:
a.       Dari Abu Hurairah ra. bahwa ada seorang laki-laki dari sahabat anshar menyaksikan hadits Rasulullah tetapi tidak hapal, kemudian bertanya kepada Abu Hurairah maka ia memberitakannya. Kemudian ia mengadu tentang hapalannya yang minim tersebut, maka Nabi bersabda:
اِسْتَعِنْ عَلَي حِفْظِكَ بِيَمِيْنِكَ (رواه التّرمذي)
“Bantulah hapalanmu dengan tanganmu” (HR. At-Tirmidzi)
b.      Dari Abu Hurairah ra. pada saat Nabi menaklukan makkah, Beliau berdiri dan berkhutbah. Maka berdirilah seorang laki-laki dari Yaman bernama Abu Syah dan bertanya “tuliskanlah aku”, maka Rasulullah bersabda:
اُكْتُبُوْا لِأَبِيْ شَاة وفي رواية احمد: اُكْتُبُوْا لَهُ
“Tuliskanlah untuk Abi Syah (HR. Al-Bukhari dan Abu Dawud). Dalam riwayat Imam Ahmad: tuliskanlah dia”
Dalam mencari solusi 2 fersi hadits yang kontra di atas para ulama berbeda pendapat. Diantara mereka berpendapat bahwa hadits yang melarang penulisan dihapus (di-nasakh) dengan hadits yang memperbolehkannya. Hadits Abu Sai’d Al-Khudri terjadi pada awal islam dimana di antara sahabat yang mampu menulis belum begitu banyak kira-kira dapat dihitng dengan jari, sementara sarana penulisan juga masih sangat sederhana, maka sangat dikhawatirkan tercampur dengan Al-Qur’an. Sedang hadits Abi Syah terjadi pada akhir kehidupan Rasulullah yaitu pada masa penaklukan makkah (fath makkah)
2.      Periode Sahabat (12-98H)
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat para sahabat belum memikirkan penghimpunan dan pengkodifikasian hadits, karena banyak problem yang dihadapi, diantaranya timbulnya kelompok orang yang murtad, timbulnya peperangan sehingga banyak penghafal Al-Qur’an yang gugur dan konsentrasi mereka bersama Abu Bakar dalam membukukan Al-Qur’an. Demikian juga kasus lain kondisi orang-orang asing atau non arab yang masuk islam yang tidak paham bahasa arab secara baik sehingga dikhawatirkan tidak bisa membedakan antara Al-Qur’an dan hadits.[3]
Para sahabat memang berbeda dalam banyak dan sedikitnya periwayatan karena profesi mereka yang berbeda. Di antara mereka ada yang terjun dalam politik praktis seperti: sahabat Abu bakar, Umar, Utsman, Ali. Ada yang berprofesi sebagai petani, peternak, pedagang, berperang dan lain sebagainya. Demikian juga dalam bidang keilmuan di antara mereka da yang ahli dalam bidang tafsir seperti Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas, ada yang ahli dalam bidang ilmu faraid (pembagian harta warisan) seperti Zaid bin Tsabit dan ada juga yang ahli dalam bidang hadits seperti para sahabat yang banyak meriwayatkan hadits berikut ini.
Ada 6 orang diantara sahabat yang tergolong banyak meriwayatkan hadits yaitu:
1.      Abu Hurairah sebanyak 5.374 hadits
2.      Abullah bin Umar bin Al Khattab sebanyak 2.635 hadits
3.      Anas bin Malik sebanyak 2.286 hadits
4.      Aisyah Ummi Al-Mu’minin sebanyak 2.210 hadits
5.      Abdullah bin Abbas sebanyak 1.660 hadits
6.      Jabir bin Abdullah sebanyak 1.540 hadits
Pada masa sahabat Ali karromallahu wajhah timbul perpecahan di kalangan umat islam akibat konflik politik di antara pendukung sahabat Ali dan Muawiyah. Akibat perpecahan ini mereka tidak segan-segan membuat hadits palsu (mawdhu) untuk mengklaim bahwa dirinya yang paling benar di antara golongan atau partai-partai di atas dan untuk mencari dukungan dari umat islam. Pada masa inilah awal terjadinya hadits mawdhu dalam sejarah yang merupakan dampak konflik politik secara internal. Sebab perpecahan ini pula masing-masing kelompok menolak hadits yang diriwayatkan oleh kelompok lawannya karena masing-masing memiliki persyaratan tertentu. Syiah misalnya, hanya menerima hadits yang perowinya dari ahli bait karena hanya merekalah yang memiliki kredibilitas dalam periwayatan. Mereka mempunyai kitab hadits Al Majmu’ yaitu himpunan hadits yang shohih menurut mereka. Khawarij menolak hadits para sahabat yang terlibat dalam perdamaian antara pendukung sahabat Ali dan Muawiyah.[4]



3.      Periode Tabi’in
Pada masa ini disebut masa pengkodifikasian hadits
"الجمع والتدوين" Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H) yakni yang hidup pada akhir abad 1 H menganggap perlu adanya penghimpunan dan pembukuan hadits, karena Beliau khawatir lenyapnya ajaran-ajaran Nabi setelah wafatnya para ulama’ baik di kalangan sahabat atau tabi’in, maka Beliau intruksikan kepada para gubernur di seluruh negeri islam agar para ulama’ dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan hadits.
Inilah surat Kholifah yang dikirim kepada Ibn Hazm:
  أُكْتُبْ إِلَيَّ بِمَا يَثْبُتُ عِنْدَكَ مِنَ الْحَدِيْثِ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنِّي خَشِيْتُ دُرُوْسُ الْعِلْمَ وَذَهَابَ الْعُلَمَاءِ
“Tulislah kepadaku apa yang tetap padamu dari pada hadist Rasulullah, sesungguhnya aku khawatir hilangnya ilmu dan wafatnya para ulama.”
Namun pendapat yang paling popular adalah bahwa surat itu disampaikan kepada Muhammad bin Muslim bin Asy-Syihab Az-Zuhri sedangkan Ibnu Hazm hanya menyampaikan intruksi kholifah.
Berdasarkan inilah para ahli sejarah dan ulama berkesimpulan bahwa Az-Zuhri adalah orang yang pertama yang mengkodifikasikan hadits pada awal tahun 100H di bawah kholifah Umar bin Abdul Aziz. Kemudian aktifitas penghimpunan dan pengkodifikasian hadits tersebar di negeri islam pada abad ke-2 H. Penghimpunan hadits pada abad ini masih bercampur dengan perkataan sahabat dan fatwanya. Berbeda dengan penulisan pada abad sebelumnya yang masih berbentuk lembaran-lembaran yang hanya dikumpulkan tanpa klasifikasi ke dalam beberapa bab secara tertib.
Diantara buku-buku yang muncul pada masa ini adalah:
a.       Al-Muwaththa’, yang ditulis oleh Imam Malik.
b.      Al-Musshannaf, oleh Abdul Razzaq bin Hammam Ash-Shan’ani
c.       As-sunnah, ditulis oleh Abdul bin Mansur.[5]




4.      Periode Tabi’ Tabi’in
Periode ini adalah periode pengikut tabi’in yakni pada abad 3H yang disebut ulama salaf atau mutaqaddimin. Pada periode ini disebut masa kejayaan as-sunnah  "من عصور الإظهار", karena pada masa ini kegiatan rihlah mencari ilmu dan sunnah serta pembukuannya mengalami puncak keberhasilan yang luar biasa, maka lahirlah buku induk hadits 6  "امهات الكتب الستة " maksud buku induk hadits 6 ialah buku-buku hadits yang dijadikan pedoman dan referensi para ulama’ hadits berikutnya, yaitu:
a.     الجميع الصحيح لألبخارى
b.   الجميع الصحيح لمسلم بن الحجاج القشيري
c.    سنن النسائي
d.   سنن أبو داود
e.    جميع الترميذي
f.     سنن ابن ماجه القزويني
Periode ini masa yang paling sukses dalam pembukuan hadits, sebab pada masa ini ulama hadits telah berhasil memisahkan antara hadits shahih dan tidak shahih. Dan yang pertama kali berhasil membukukan hadits shahih saja adalah Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim. Oleh karena itu pada periode ini disebut juga masa kodifikasi dan filterisasi.
Perkembangan pembukuan hadits pada periode tabi’in ada 3 bentuk, yaitu sebagai berikut:
a.       Musnad, yaitu menghimpun semua hadits dari tiap-tiap sahabat tanpa memperhatikan masalah atau topiknya. Misalnya, semua hadits Nabi yang diperoleh dari rawi Abu Hurairah dikelompokkan pada bab hadits-hadits Abu Hurairah dan seterusnya. Kitab hadits yang disusun secara musnad ini misalnya, musnad Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H) dan musnad Ahmad bin Rahawaih (161-238 H).
b.      Al-Jami’, yaitu tehnik pembukuan hadits yang mengakumulasi sembilan masalah yaitu aqaid, hukum, perbudakan, adab makan minum, tafsir, tarikh, sifat-sifat akhlaq, fitnah dan manaqib (sejarah). Misalnya, kitab al-jami’ ash-shahih li al-bukhari, al-jami’ al-shahih li muslim.
c.       Sunan, tehnik penghimpunan hadits secara bab seperti fiqih, seperti sunan an-nasa’i, sunan ibnu majah,  dan sunan abu dawud.
5.      Periode Setelah Tabi’ Tabi’in
Pada masa abad ini disebut penghimpunan dan penertiban. Ulama’ yang hidup pada abad ke-4 H dan berikutnya disebut ulama’ khalaf atau muta’akhirin. Berbeda dengan ulama pada masa sebelumnya, mereka menghimpun hadits Nabi dengan cara langsung mendengar dari guru-gurunya kemudian mengadakan penelitian sendiri baik matan dan sanadnya. Untuk itu mereka tidak segan-segan mengadakan perjalanan jauh untuk mengecek kebenaran hadits yang mereka dengar dari orang lain. Sedangkan ulama pada masa abad ke 4 H dan seterusnya cara periwayatan dan pembukuannya bereferensi dan mengutip dari kitab-kitab pada abad sebelumnya. Oleh karena itu tidak banyak penambahan hadits pada abad ini.
Perkembangan tehnik pembukuan hadits pada abad ke4-6 H ialah sebagai berikut:
1.      Mu’jam, artinya penghimpuna hadits yang diperoleh berdasarkan nama sahabat secara abjad seperti kitab al-mu’jam al-kabir karya Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabrani.
2.    Shahih, artinya metode pembukuannya mengikuti metode pembukuan hadits shohihain (Al Bukhori dan Muslim) yang hanya mengumpulkan hadits yang shohih saja menurut penulisnya shohih Ibnu Hibban Al-Basti dll.
3.      Al-mustadrak, artinya menambah beberapa hadits sohih yang belum disebutkan dalam kitab Al-Bukhori dan muslim serta menurutnya telah memenuhi persyaratn keduanya, seperti al-mustadrak ala shahihain karya Abi Abdullah Al-Hakim An-Naisaburi.
4.      Sunan, artinya metode penulisannya seperti kitab sunan abad sebelumnya. Seperti, Muntaqa Ibn Al-Jarud, Sunan Ad-Daruq Quthni.
5.      Syarah, yakni penjelasan hadits baik yang berkaitan dengan sanad atau matan, terutama maksud dan makna matan hadits atau pemecahannya jika terjadi kontradiksi dengan ayat atau hadits lain. Misalnya, Syarah Ma’ani Al-Atsar karya Ath-Thahawi.
6.      Mustakhraj, ialah seorang penghimpun hadits mengeluarkan beberapa buah hadits dari sebuah buku hadits seperti yang diterima dari gurunya sendiri dengan menggunakan sanad sendiri. Misalnya, Mustakhraj Abi Bakr Al-Isma’ili Ala Shahih Al-Bukhari.
7.      Al-jam’u, yaitu gabungan dua atau beberapa buku hadits menjadi satu buku, seperti Al-Jam’u Bayn As-Shahihain karya Isma’il bin Ahmad yang terkenal dengan Ibnu Al-Furat.[6]








C.     Cara yang Ditempuh oleh Para Sahabat untuk Mendapatkan Hadits Nabi Muhammad SAW.
Ada empat cara yang ditempuh oleh para sahabat untuk mendapatkan hadits Nabi SAW:
1.      Mendatangi majlis-majlis ta’lim yang diadakan Rasulullah SAW. Rasulullah SAW selalu menyediakan waktu-waktu khusus untuk mengajarkan ajaran-ajaran islam kepada para sahabat. Para sahabat selalu berusaha untuk menghadiri majlis tersebut meskipun mereka juga sibuk dengan pekerjaan masing-masing, seperti menggembala ternak atau berdagang. Apabila mereka berhalangan, maka mereka bergantian menghadiri majlis tersebut, sebagaimana yang dilakukan Umar dan tetangganya. Yang hadir memberi informasi yang mereka dapatkan kepada yang tidak hadir.
2.      Kadang-kadang Rasul SAW sendiri menghadapi beberapa peristiwa tertentu, kemudian Beliau menjelaskan hukumnya kepada para sahabat. Apabila para sahabat yang hadir menyaksikan peristiwa tersebut jumlahnya banyak, maka berita tentang peristiwa itu akan segera tersebar luas. Namun, apabila yang hadir hanya sedikit, maka Rasulullah memerintahkan mereka yang hadir untuk memberitahukannya kepada sahabat yang lain yang kebetulan tidak hadir. Adakalanya Rasulullah SAW melihat atau mendengar seorang sahabat melakukan suatu kesalahan, lantas Beliau mengoreksi kesalahan tersebut. Diriwayatkan oleh Umar ibn Al-Khaththab, bahwa dia menyaksikan seseorang sedang berwudlu untuk shalat, namun dia melakukannya tanpa membasuh bagian atas kuku kakinya. Hal tersebut dilihat oleh Rasulullah SAW, dan Rasul SAW menyuruhnya untuk menyempurnakan wudlunya  dengan mengtakan , “kembalilah engkau berwudlu, dan baguskan (sempurnakan)-lah wudlumu!” orang tersebut segera mengulangi wudlunya dan kemudian barulah dia melaksanakan shalat.
3.      Kadang-kadang terjadi sejumlah peristiwa pada diri para sahabat, kemudian mereka menanyakan hukumnya kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah SAW memberikan fatwa atau penjelasan hukum tentang peristiwa tersebut. Kasus yang terjadi adakalanya mengenai diri Si penanya sendiri, namun tidak jarang pula terjadi pada diri sahabat lain yang kebetulan disaksikannya atau didengarnya Rasulullah SAW dalam hal ini tidak membedakan diantara sahabat yang datang bertanya kepada Beliau, sehingga seorang badawi yang datang dari tempat yang jauh pun akan mendapat perlakuan yang sama dengan apa yang diperoleh oleh para sahabat yang selalu mendampingi Rasulullah SAW. Bahkan apabila seorang sahabat mendengar sesuatu (secara tidak langsung) dari Rasul SAW, maka sahabat tersebut, dalam rangka mengkonfirmasikan berita itu, tanpa segan-segan menanyakan kembali hal tersebut kepada Beliau. Dan pada umumnya, dalam rangka untuk mendapatkan keterangan yang meyakinkan dan menentramkan hati mereka tentang peristiwa yang terjadi pada diri mereka, para sahabat tidak merasa malu untuk datang secara langsung menanyakan kepada Rasulullah SAW. Akan tetapi, apabila diantara mereka ada yang malu untuk bertanya secara langsung kepada Rasulullah SAW tentang masalah yang dialaminya, maka biasanya sahabat yang bersangkutan akan mengutus seorang sahabat yang lain untuk bertanya tentang kedudukan masalah tersebut.
4.      Kadang-kadang para sahabat menyaksikan Rasulullah SAW melakukan suatu perbuatan, dan sering kali yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan yang lainnya. Sahabat yang menyaksikan perbuatan tersebut, kemudian menyampaikannya kepada yang lainnya atau generasi sesudahnya. Diantara contohnya adalah peristiwa dialog yang terjadi antara Rasul SAW dengan Jibril mengenai masalah iman, islam, ihsan, dan tanda-tanda hari kiamat.
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ مَاالْإِيْمَانُ؟ قَالَ الْإِيْمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ...فَقَالَ: هذَا جِبْرِيْلُ جَاءَ يُعَلِّمُ النَّاسَ دَيْنَهُمْ.(رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah ra. berkata, adalah Nabi SAW tampak pada suatu hari di tengah-tengah manusia (sahabat), maka datang kepadanya seorang laki-laki seraya bertanya, “apakah iman itu?” Rasul SAW menjawab, “iman itu adalah bahwa engkau beriman…” (Akhirnya) Rasul SAW mengatakan (kepada para sahabat) “dia adalah (malaikat) Jibril yang datang untuk mengajari manusia tentang masalah agama mereka.” (HR. Bukhari)[7]

D.    Faktor-Faktor yang Mendorong Pengumpulan dan Pengkodifikasian Hadits
Ada beberapa  faktor yang mendorong Umar bin Abdul Aziz mengambil inisiatif untuk memerintahkan para gubernur dan pembantunya untuk mengumpulkan dan menuliskan hadits, diantaranya: pertama, tidak adanya lagi penghalang untuk menuliskan dan membukukan hadits, yaitu kekhawatiran bercampurnya hadits dengan Al-Qur’an karena Al-Qur’an ketika itu telah dibukukan dan disebarluaskan. Kedua, munculnya kekhawatiran akan hilang dan lenyapnya hadits karena banyaknya para sahabat yang meninggal dunia akibat usia lanjut atau karena seringnya terjadi peperangan. Ketiga, semakin maraknya kegiatan pemalsuan hadits yang dilatarbelakangi oleh perpecahan politik dan perdebatan madzhab di kalangan umat islam. Keadaan ini apabila diteruskan akan merusak kemurnian ajaran islam, sehingga upaya untuk menyelamatkan hadits dengan cara pembukuannya setelah melalui seleksi yang ketat harus segera dilakukan. Keempat, karena telah semakin luasnya daerah kekuasaan islam disertai dengan semakin banyak dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh umat islam, maka hal tersebut menuntut mereka untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk dari hadits Nabi Muhammad SAW, selain petunjuk Al-Qur’an itu sendiri.[8]
IV.             Simpulan
Periodisasi penghimpunan hadits merupakan fase-fase yang telah ditempuh dan dialami dalam sejarah pembinaan dan perkembangan hadits, sejak Rasulullah SAW masih hidup sampai terwujudnya kitab-kitab yang dapat disaksikan dewasa ini.
Tabel perkembangan pembinaan dan penghimpunan hadits:
No
Periode
Perkembengan
Karakteristik penulisan
Model buku
1.
Masa Nabi Muhammad SAW
Larangan penulisan (nahyu al-kitabah)
Hadits dihapal di luar kepala
Catatan pribadi bentuk shahifah atau lembaran
2.
Masa sahabat
Penyederhanaan periwayatan pada masa khulafaur rasyidin dan masa perlawatan hadist masa setelahnya
Disertai sumpah dan saksi pada masa khulafaur rasyidin disertai sanad pada masa setelahnya
Catatan pribadi dalam bentuk shahifah atau lembaran
3.
Masa tabi’in
Penghimpunan hadits
Bercampur antara hadits nabi dan fatwa sahabat
Shahifah, musannaf, muwaththa’, musnad dan jami’
4.
Masa tabi’ tabi’in
Kejayaan kodifikasi hadits
Filterisasi dan klasifikasi hadits
Musnad, jami’ dan sunan
5.
Masa setelah tabi’ tabi’in (abad IV H dan seterusnya)
Penghimpunan dan penertiban secara sistematik
Bereferensi pada buku-buku sebelumnya tetapi lebih sistematik
Mu’jam, mustadrak, mustakhraj, ikhtishar dan syarah, zawa’id jami’, Jawami’, athraf, takhrij dan mu’jam.


V.                PENUTUP

Syukur Alhamdulillah atas selesainya makalah ini tepat pada waktunya. Akan tetapi jelas masalah ini tidaklah sempurna, oleh karena itu, pemakalah sangat mengharapkan segala bentuk kritik dan saran guna memperbaiki makalah ini dan yang akan datang.


DAFTAR KEPUSTAKAAN


Majid Khon, Abdul. 2009. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah
Yuslem, Nawir. 1998. Ulumul Hadis. Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya




[1] Dr.Nawir Yuslem, MA, Ulumul Hadits, (Jakarta:PT Mutiara Sumber Widya, 1998), hlm 83.
[2] Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ulumul Hadis,(Jakarta:Amzah, 2009), hlm 41-43
[3] Ibid. hlm 46-47
[4] Ibid. hlm, 49-51
[5] Ibid. hlm, 55
[6] Ibid. hlm 58-60
[7] Dr.Nawir Yuslem, MA, Ulumul Hadits, (Jakarta:PT Mutiara Sumber Widya, 1998), hlm 89-93.
[8] Ibid, hlm, 126-127

Tidak ada komentar:

Posting Komentar