Coretan-coretan sang Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang......

Sabtu, 22 Februari 2014

Niat dan Istiqomah

NIAT DAN ISTIQOMAH
DALAM BERAMAL


Makalah
Disusun guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Hadits
Dosen Pengampu: Prof. DR. H.M. Erfan Soebahar, M.A.




Disusun oleh:
Dewi Azzahroh          113211005
Laely Zulfa                 113211007
Iip Kasipul Qulub      113211025
M. Ali Ma’sum           113211035



FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012


I.          PENDAHULUAN
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Hadits adalah segala hal yang bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan beliau. Hadits tak lain adalah sebagai pendamping sekaligus penjelas dari Al Qur’an dalam menetapkan berbagai perkara. Dilihat dari berbagai segi, macam hadits terbilang cukup banyak jumlahnya.
Amalan yang baik adalah amalan yang disertai dengan niat yang baik. Orang yang beramal dengan niat yang baik akan mendapatkan dampak yang baik. Sebaliknya, orang yang beramal dengan niat buruk akan mendapatkan dampak buruk.
Penting sekali adanya niat dan istiqomah dalam beramal. Melakukan amalan kecil secara terus-menerus itu lebih baik daripada melakukan amalan besar tetapi tidak dijadikan kebiasaan. Misalnya, lebih baik melakukan sholat sunnah dhuha dua rokaat setiap hari daripada dua belas rokaat namun dalam sehari saja.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang niat dan istiqomah dalam beramal.

II.       HADITS DAN TERJEMAH
A.    Hadits Umar bin Khattab tentang Kedudukan Niat dalam Beramal
عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ قَالَ: سَمِعْتُ عُمَرَبْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِنَّمَااْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِكُلٍّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِامْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ (أخرجه البخاري في الكتاب الإيمان والنّذر)
Dari Alqomah bin Waqqash berkata: saya mendengar Umar bin Khattab ra berkata: saya mendengar Nabi SAW bersabda: Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya.. Dan barangsiapa yang berhijrah karena (untuk mendapatkan) dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya). (HR. Al-Bukhori dalam kitab Iman dan Nadzar)


B.     Hadits Abi Usamah tentang Istiqomah dalam Kebaikan
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ سُفْيَانَ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ رَجُلاً قَالَ ياَرَسُوْلَ اللهِ أَخْبِرْنِيْ أَمْرًا فِي اْلاِسْلاَمِ لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ قَالَ قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ قَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ فَأَيَّ شَيْئٍ أَتَّقِيْ قَالَ فَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى لِسَانِهِ (أخرجه احمد في مسند المكيين)
Dari Abdullah bin Sufyan, dari ayahnya. Sesungguhnya seorang laki-laki berkata: “Ya Rasulullah, perintahkanlah kepadaku suatu perintah dalam Islam, yang tidak akan aku tanyakan kepada seseorang setelah Anda.” Rasulullah SAW bersabda: “Katakanlah, Aku beriman kepada Allah kemudian beristiqomahlah.” Aku bertanya: Ya Rasulullah, apa yang harus saya jaga?” Rasulullah SAW mengisyaratkan tangannya ke lisannya. (HR. Ahmad dalam Musnad al-Makkiyyin)

III.   PEMBAHASAN
A.       Hadits Umar bin Khattab tentang Kedudukan Niat dalam Beramal
Hadits ini memiliki urutan sanad antara lain:  Abdullah bin Maslamah mendapat berita  dari Malik, Malik mendapat berita dari Yahya bin Sa’id, Yahya bin Sa’id mendapat berita dari Muhammad bin Ibrahim, Muhammad bin Ibrahim mendapat berita dari Alqomah bin Waqqash, Alqomah bin Waqqash mendapat berita dari Umar bin Khattab dan Umar bin Khattab mendengar langsung dari Nabi SAW. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori.[1]
Sebagaimana kita ketahui bahwa Al Bukhari tergolong orang yang memiliki sifat penyabar dan memiliki kecerdasan yang jarang dimiliki oleh orang lain. Kecerdasan dan ketekunan dalam mempelajari hadits-hadits itulah yang menyebabkan ia diberi gelar Amir al Mukminin fi al hadits. Ia juga tekenal mempunyai sifat wara’ dalam menghadapi kehidupan dan tergolong orang yang ahli ibadah. Al Bukhari menghafal 100.000 hadits shohih, dan 200.000 hadits yang tidak shohih, suatu kemampuan menghafal yang jarang ada tandingannya.[2]


1.    Amal
Amal adalah melakukan sesuatu hal yang didasari pada ikhtiar yang sungguh-sungguh untuk para mukallaf yang berakal. Dan kalau tidak berakal tidak di namakan mukallaf melainkan hewan. Sahnya amal itu harus disertai dengan niat. Menurut madzhab Syafi’i dan Hanafi, amal itu ditetapkan memperoleh balasan pahala dengan niatnya. Sebagaimana sabda Nabi SAW:
كَمْ مِنْ عَمَلٍ يَتَصَوَّرُبِصُوْرَةِأَعْمَالِ الدُّنْيَاوَيَصِيْرُبِحُسْنِ النِّيَّةِمِنْ أعْمَالِ اْلآخِرَةِوَكَمْ مِنْ عَمَلٍ يَتَصَوَّرُبِصُوْرَةِأَعْمَالِ اْلآخِرَةِثُمّ يَصِيْرُمِنْ أَعْمَالِ الدُّنْيَابِسُوْءِالنِّيَّةِ.
Banyak sekali amal-amal yang wujudnya menyerupai amal dunia tetapi sebenarnya merupakan amal akhirat karena bagusnya niat. Dan tidak sedikit amal yang wujudnya seperti amal akhirat kemudian menjadi amal dunia dengan jeleknya niat. (Hadits Shohih)[3]
Misalnya: makan, minum dan tidur. Bentuknya seperti amal keduniaan tetapi semua itu dapat menjadi amal akhirat karena baiknya niat. Seperti makan dengan niat untuk bertakwa dan agar kuat beribadah, maka akan menjadi amal akhirat. Demikian juga minum, tidur dan lain sebagainya, asal diniatkan untuk ketaatan kepada Allah. Dan banyak juga bentuk amal akhirat ternyata menjadi amal dunia karena jeleknya niat. Seperti melakukan amal-amal karena pamer.[4]
2.      Niat
Pengertian niat menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah maksud atau tujuan suatu pekerjaan.[5] Adapun pengertian niat dalam kitab Safinatun Naja ialah:
قَصْدُ الشَّيْئِ مُقْتَرِنًابِفِعْلِهِ
Sengaja melakukan sesuatu bersamaan dengan pekerjaannya.[6]
Niat menurut bahasa ialah tujuan hati dan kehendak hati. Menurut syara’ ialah bergeraknya hati ke arah suatu pekerjaan untuk mencari keridhoan Allah dan untuk menyatakan tunduk dan patuh terhadap perintah-Nya.[7]
Niat adalah perbuatan yang dituju. Sebagai contoh, apabila niat semula berniat baik, maka akan mendapatkan kemanfaatan dan sebaliknya apabila niat sebelumnya jelek maka akan mendapatkan kemadhorotan.
قَالَ صَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلاَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَاصَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَالْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَوَهِيَ الْقَلْبُ.
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya di dalam tubuh kita terdapat segumpal daging. Apabila daging itu baik maka akan baik pula seluruh tubuh kita. Dan apabila daging itu cacat atau rusak maka akan rusak pula seluruh tubuh kita. Yang di maksud dengan daging di sini adalah hati.[8]         
       Niat memiliki 2 fungsi, di antaranya:
a.         Untuk membedakan antara amal ibadah dengan amal kebiasaan. Dalam hal ini niat berkaitan dengan sasaran suatu amal (ma’bud).
b.        Untuk membedakan antara satu amal ibadah dengan amal ibadah lainnya. Dalam hal ini niat berkaitan dengan amal itu sendiri (ibadah).[9]
3.         Hijrah
Hijrah ialah meninggalkan seseorang atau lari dari suatu tempat atau meninggalkan nafsu-nafsu rendah, kecenderungan jahat atau tingkah laku yang buruk. Hijrah serupa dengan meninggalkan hubungan keduniawian, kemewahan serta harta milik dan mengalami penderitaan yang sangat berat demi keyakinan.[10]
Dalam hadits Umar bin Khattab tentang kedudukan niat dalam beramal, terdapat kata hijrah yang memiliki 2 makna:
a.       Hijrahnya sahabat dari Makkah ke Habsyi ketika kaum musyrikin melukai Rasulullah SAW.
b.      Hijrahnya Nabi dari Makkah ke Madinah.[11]
                                    
B.       Hadits Abi Usamah tentang Istiqomah dalam Kebaikan
Hadits ini diterima oleh Abdullah bin Sufyan dari ayahnya, yaitu Sufyan ats-Tsaqofi. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Imam Ahmad dikenal sebagai ulama besar pada zamannya, bukan saja sebagai ahli hadits tetapi juga dikenal luas sebagai fuqaha mujtahid. Imam Ahmad telah banyak meriwayatkan hadits yang berasal dari beberapa tokoh kenamaan. Riwayat itu diantaranya berasal dari Bisyir al Mufadhal al Raqqasi, Sufyan bin Uyainiyah, Yahya bin Said Al Qattani, Abd al Razaq bin Humman al-Shan’ani Sulaiman bin Dawud al-Thayalisi, Ismail bin Ulayah Mu’tamar bin Sualiman al-Basri.[12]
Hadits ini adalah kumpulan kalimat yang disampaikan oleh Nabi SAW. Sesungguhnya Nabi mengumpulkan semua jawaban ini kepada sahabat (iman dan Islam) karena Nabi memerintahkan kepadanya untuk memperbarui iman dengan berdzikir baik secara lisan maupun dalam hati. Hadits ini berisi perintah untuk bersikap istiqomah dalam menjalankan ketaatan kepada Allah (beribadah).
Istiqomah adalah berusaha sekuat tenaga untuk tetap berdiri tegak, terus menerus, konsisten. Kata “istiqomah” artinya jalan yang lurus, tidak berbelok-belok. Kebenaran disebut juga dengan jalan yang lurus (tariq mustaqim). Kebalikannya adalah tariq mu’wajj atau jalan yang berkelok-kelok. Istiqomah dalam hadits ini mempunyai arti teguh dalam pendirian. Teguh dalam pendirian itu merupakan hal yang sangat diperlukan oleh setiap mukmin. Menurut Abu Bakar yang dimaksud dengan perkataan “istiqomah” ialah tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun.[13]
Amal yang baik hendaknya dilakukan secara terus-menerus, jangan hanya sekali saja. Amalan besar yang dilakukan sekali saja tidak lebih baik daripada amalan kecil yang dilakukan secara terus-menerus. Setelah kita beramal baik dengan disertai niat yang baik pula, kita juga harus beristiqomah atau menjadikan amal baik itu menjadi hal yang biasa kita lakukan.
اْلإِسْتِقَامَةُ دَرَجَةٌ بِهَا كَمَالِ اْلأُمُوْرِ وَتَمَامِهَا وَبِوُجُوْدِهَا حُصُوْلَ الْخَيْرَاتِ وَنِظَامَهَا وَمَنْ لَمْ يَكُنْ مُسْتَقِيْمًا فِيْ حَالٍ سَعْيُهُ ضَاعٌ سَعْيُهُ وَخَابُ جَدُّهُ[14]




IV.   PENUTUP
A.    Kesimpulan
                           1.   Amal adalah melakukan sesuatu hal yang didasari pada ikhtiar yang sungguh-sungguh untuk para mukallaf yang berakal.
                           2.   Niat menurut bahasa ialah tujuan hati dan kehendak hati. Menurut syara’ ialah bergeraknya hati ke arah suatu pekerjaan untuk mencari keridhoan Allah dan untuk menyatakan tunduk dan patuh terhadap perintah-Nya.
                           3.   Hijrah ialah meninggalkan seseorang atau lari dari suatu tempat atau meninggalkan nafsu-nafsu rendah, kecenderungan jahat atau tingkah laku yang buruk.
                           4.   Istiqomah adalah berusaha sekuat tenaga untuk tetap berdiri tegak, terus menerus, konsisten.
                           5.   Dalam beramal hendaknya mempunyai niat yang baik karena amal itu tergantung pada niatnya. dan amalan yang baik hendaknya dilakukan secara terus-menerus.

B.     Penutup
Demikianlah makalah yang telah kami susun. Kami menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca. Amin.












DAFTAR PUSTAKA
Ali, Maulana Muhammad, Kitab Hadits Pegangan, Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 1992.
al-Bukhari, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, Matan Bukhari, Bandung: Syirkat Al- Ma’arif Lit Thab’i Wan Nasyri, 1138 H.
Hadi, Abi Al-Hasan Nuruddin Muhammad bin Abdul, Shohih Bukhori, Libanon: Darul Kutub, 2008.
Ismail, Syekh Ibrahim bin, Syarah Ta’limul Muta’alim, Semarang: PT. Karya Thoha Putra, 2000.
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Lentera Abadi, 2010.
Khaeruman, Badri, Otentisitas Hadits, Bandung: PT. Remaja Rasdakarya, 2004.
al-Khudhori, Syekh Salim bin Sumair. Matan Safinatun Naja, Jakarta: Maktabah  As-Sa’adiyah Putra, t.th.
Musthafa dan Muhyidin, Al-Wafi fi Syarhi Arba’in Nawawiyah, Beirut: Muassasah Ulumil Qur’an, t.th.
an-Nawawi, Imam Yahya bin Syarofuddin, Syarh Arba’in Nawawi, Surabaya: Al-Miftah. t.th.
an-Nawawi, Imam Yahya bin Syarofuddin, Arba’in nawawi, Beirut: Daarul Kitab Al-Alamiyah, 1986.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
http: //fdj-indrakurniawan.blogspot.com/






                [1] Abi Al-Hasan Nuruddin Muhammad bin Abdul Hadi, Shohih Bukhori, (Libanon: Darul Kutub, 2008), hlm. 34.
[2] Badri Khaeruman, Otentisitas Hadits, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 194.
[3] Syekh Ibrahim bin Ismail, Syarah Ta’limul Muta’allim, (Semarang: PT. Karya Thoha Putra, 2000), hlm. 14.
[4] Ibid.
[5] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 782.
[6] Syekh Salim bin Sumair  Al Khudhori, Matan Safinatun Naja, (Jakarta: Maktabah  As Sa’adiyah Putra, t.th., hlm. 4.
[7] DR. Musthafa dan Muhyidin, Al-Wafi fi Syarhi Arba’in Nawawiyah, (Beirut: Muassasah Ulumil Qur’an, t.th.), hlm. 9.
[8] Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Matan Bukhari, (Bandung: Syirkat al Ma’arif Lit Thab’i Wan Nasyri, 1138 H), hlm. 6.
[9] http: //fdj-indrakurniawan.blogspot.com/
[10] Maulana Muhammad Ali, Kitab Hadits Pegangan, (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 1992), hlm. 3-4.
[11] Imam Yahya bin Syarofuddin An-Nawawi, Syarh Arba’in Nawawi, (Surabaya: Al-Miftah, t.t.), hlm. 10.
[12] Badri Khaeruman, Op.cit., hlm. 189-190.
[13] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), jilid 8, hlm.  616-617.
                [14] Imam Yahya bin Syarofudin An-Nawawi, Arba’in Nawawi, (Beirut: Daarul Kitab Al-Alamiyah, 1986), hlm. 64.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar