NIAT DAN ISTIQOMAH
DALAM BERAMAL
Makalah
Disusun guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Hadits
Dosen Pengampu: Prof. DR. H.M. Erfan Soebahar, M.A.
Disusun oleh:
Dewi Azzahroh 113211005
Laely Zulfa 113211007
Iip Kasipul Qulub 113211025
M. Ali Ma’sum 113211035
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
I.
PENDAHULUAN
Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an.
Hadits adalah segala hal yang bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan, maupun ketetapan beliau. Hadits tak lain adalah sebagai pendamping
sekaligus penjelas dari Al Qur’an dalam menetapkan berbagai perkara. Dilihat
dari berbagai segi, macam hadits terbilang cukup banyak jumlahnya.
Amalan yang baik adalah amalan yang disertai dengan niat yang baik.
Orang yang beramal dengan niat yang baik akan mendapatkan dampak yang baik.
Sebaliknya, orang yang beramal dengan niat buruk akan mendapatkan dampak buruk.
Penting sekali adanya niat dan istiqomah dalam beramal. Melakukan
amalan kecil secara terus-menerus itu lebih baik daripada melakukan amalan
besar tetapi tidak dijadikan kebiasaan. Misalnya, lebih baik melakukan sholat
sunnah dhuha dua rokaat setiap hari daripada dua belas rokaat namun dalam
sehari saja.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang niat dan istiqomah
dalam beramal.
II.
HADITS DAN TERJEMAH
A.
Hadits Umar bin Khattab tentang Kedudukan Niat dalam Beramal
عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ قَالَ: سَمِعْتُ
عُمَرَبْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِنَّمَااْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا
لِكُلٍّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ
إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِامْرَأَةٍ
يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ (أخرجه البخاري في الكتاب الإيمان والنّذر)
Dari Alqomah bin Waqqash berkata:
saya mendengar Umar bin Khattab ra berkata: saya mendengar Nabi SAW bersabda: Sesungguhnya setiap amal
itu tergantung pada niatnya, dan setiap
orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang
berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan
Rasul-Nya.. Dan barangsiapa yang berhijrah karena (untuk mendapatkan) dunia
atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa yang
menjadi tujuannya (niatnya). (HR. Al-Bukhori dalam kitab Iman dan Nadzar)
B.
Hadits Abi Usamah tentang Istiqomah
dalam Kebaikan
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ سُفْيَانَ عَنْ أَبِيْهِ
أَنَّ رَجُلاً قَالَ ياَرَسُوْلَ اللهِ أَخْبِرْنِيْ أَمْرًا فِي اْلاِسْلاَمِ لاَ
أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ قَالَ قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ قَالَ
يَارَسُوْلَ اللهِ فَأَيَّ شَيْئٍ أَتَّقِيْ قَالَ فَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى لِسَانِهِ (أخرجه احمد في مسند المكيين)
Dari
Abdullah bin Sufyan, dari
ayahnya. Sesungguhnya seorang laki-laki berkata: “Ya Rasulullah, perintahkanlah kepadaku suatu perintah dalam
Islam, yang tidak akan aku tanyakan kepada seseorang setelah Anda.” Rasulullah
SAW bersabda: “Katakanlah, Aku beriman kepada Allah kemudian beristiqomahlah.”
Aku bertanya: Ya Rasulullah, apa yang harus saya jaga?” Rasulullah SAW
mengisyaratkan tangannya ke lisannya. (HR. Ahmad dalam Musnad al-Makkiyyin)
III.
PEMBAHASAN
A.
Hadits Umar bin Khattab tentang
Kedudukan Niat dalam Beramal
Hadits ini memiliki urutan sanad antara lain: Abdullah bin Maslamah mendapat berita dari Malik, Malik mendapat berita dari Yahya
bin Sa’id, Yahya bin Sa’id mendapat berita dari Muhammad bin Ibrahim, Muhammad
bin Ibrahim mendapat berita dari Alqomah bin Waqqash, Alqomah bin Waqqash
mendapat berita dari Umar bin Khattab dan Umar bin Khattab mendengar langsung
dari Nabi SAW. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori.[1]
Sebagaimana kita ketahui bahwa Al Bukhari tergolong orang yang
memiliki sifat penyabar dan memiliki kecerdasan yang jarang dimiliki oleh orang
lain. Kecerdasan dan ketekunan dalam mempelajari hadits-hadits itulah yang
menyebabkan ia diberi gelar Amir al Mukminin fi al hadits. Ia juga tekenal mempunyai sifat
wara’ dalam menghadapi kehidupan dan tergolong orang yang ahli ibadah. Al Bukhari menghafal 100.000 hadits
shohih, dan 200.000 hadits yang tidak shohih, suatu kemampuan menghafal yang
jarang ada tandingannya.[2]
1.
Amal
Amal adalah melakukan sesuatu hal yang didasari
pada ikhtiar yang sungguh-sungguh untuk para mukallaf yang berakal. Dan kalau
tidak berakal tidak di namakan mukallaf melainkan hewan. Sahnya amal itu harus
disertai dengan niat. Menurut madzhab Syafi’i dan Hanafi, amal itu ditetapkan
memperoleh balasan pahala dengan niatnya. Sebagaimana sabda Nabi SAW:
كَمْ مِنْ عَمَلٍ يَتَصَوَّرُبِصُوْرَةِأَعْمَالِ
الدُّنْيَاوَيَصِيْرُبِحُسْنِ النِّيَّةِمِنْ أعْمَالِ اْلآخِرَةِوَكَمْ مِنْ
عَمَلٍ يَتَصَوَّرُبِصُوْرَةِأَعْمَالِ اْلآخِرَةِثُمّ يَصِيْرُمِنْ أَعْمَالِ الدُّنْيَابِسُوْءِالنِّيَّةِ.
Banyak
sekali amal-amal yang wujudnya menyerupai amal dunia tetapi sebenarnya
merupakan amal akhirat karena bagusnya niat. Dan tidak sedikit amal yang
wujudnya seperti amal akhirat kemudian menjadi amal dunia dengan jeleknya niat. (Hadits Shohih)[3]
Misalnya: makan, minum dan tidur. Bentuknya
seperti amal keduniaan tetapi semua itu dapat menjadi amal akhirat karena
baiknya niat. Seperti makan dengan niat untuk bertakwa dan agar kuat beribadah,
maka akan menjadi amal akhirat. Demikian juga minum, tidur dan lain sebagainya,
asal diniatkan untuk ketaatan kepada Allah. Dan banyak juga bentuk amal akhirat
ternyata menjadi amal dunia karena jeleknya niat. Seperti melakukan amal-amal
karena pamer.[4]
2.
Niat
Pengertian niat menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah maksud
atau tujuan suatu pekerjaan.[5]
Adapun pengertian niat dalam kitab Safinatun Naja ialah:
قَصْدُ الشَّيْئِ مُقْتَرِنًابِفِعْلِهِ
Niat menurut bahasa ialah tujuan hati dan
kehendak hati. Menurut syara’ ialah bergeraknya hati ke arah suatu pekerjaan
untuk mencari keridhoan Allah dan untuk menyatakan tunduk dan patuh terhadap perintah-Nya.[7]
Niat adalah perbuatan yang dituju. Sebagai
contoh, apabila niat semula berniat baik, maka akan mendapatkan kemanfaatan dan
sebaliknya apabila niat sebelumnya jelek maka akan mendapatkan kemadhorotan.
قَالَ صَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَلاَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَاصَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا
فَسَدَتْ فَسَدَالْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَوَهِيَ الْقَلْبُ.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya di dalam tubuh kita terdapat segumpal daging. Apabila daging itu
baik maka akan baik pula seluruh tubuh kita. Dan apabila daging itu cacat atau
rusak maka akan rusak pula seluruh tubuh kita. Yang di maksud dengan daging di
sini adalah hati.[8]
Niat
memiliki 2 fungsi, di antaranya:
a.
Untuk membedakan antara amal ibadah
dengan amal kebiasaan. Dalam hal ini niat berkaitan dengan sasaran suatu amal
(ma’bud).
b.
Untuk membedakan antara satu amal
ibadah dengan amal ibadah lainnya. Dalam hal ini niat berkaitan dengan amal itu
sendiri (ibadah).[9]
3.
Hijrah
Hijrah ialah meninggalkan seseorang
atau lari dari suatu tempat atau meninggalkan nafsu-nafsu rendah, kecenderungan
jahat atau tingkah laku yang buruk. Hijrah serupa dengan meninggalkan hubungan
keduniawian, kemewahan serta harta milik dan mengalami penderitaan yang sangat
berat demi keyakinan.[10]
Dalam hadits Umar bin Khattab
tentang kedudukan niat dalam beramal, terdapat kata hijrah yang memiliki 2
makna:
a.
Hijrahnya sahabat dari Makkah ke
Habsyi ketika kaum musyrikin melukai Rasulullah SAW.
B.
Hadits Abi Usamah tentang Istiqomah
dalam Kebaikan
Hadits ini diterima oleh Abdullah bin Sufyan
dari ayahnya, yaitu Sufyan ats-Tsaqofi. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam
Ahmad. Imam Ahmad dikenal sebagai ulama besar pada zamannya, bukan saja sebagai
ahli hadits tetapi juga dikenal luas sebagai fuqaha mujtahid. Imam Ahmad telah
banyak meriwayatkan hadits yang berasal dari beberapa tokoh kenamaan. Riwayat
itu diantaranya berasal dari Bisyir al Mufadhal al Raqqasi, Sufyan bin
Uyainiyah, Yahya bin Said Al Qattani, Abd al Razaq bin Humman al-Shan’ani
Sulaiman bin Dawud al-Thayalisi, Ismail bin Ulayah Mu’tamar bin Sualiman
al-Basri.[12]
Hadits ini adalah kumpulan kalimat yang disampaikan oleh Nabi SAW.
Sesungguhnya Nabi mengumpulkan semua jawaban ini kepada sahabat (iman dan
Islam) karena Nabi memerintahkan kepadanya untuk memperbarui iman dengan
berdzikir baik secara lisan maupun dalam hati. Hadits ini berisi perintah untuk
bersikap istiqomah dalam menjalankan ketaatan kepada Allah (beribadah).
Istiqomah adalah berusaha sekuat tenaga untuk tetap berdiri tegak,
terus menerus, konsisten. Kata “istiqomah” artinya jalan yang lurus, tidak
berbelok-belok. Kebenaran disebut juga dengan jalan yang lurus (tariq
mustaqim). Kebalikannya adalah tariq mu’wajj atau jalan yang
berkelok-kelok. Istiqomah dalam hadits ini mempunyai arti teguh dalam
pendirian. Teguh dalam pendirian itu merupakan hal yang sangat diperlukan oleh
setiap mukmin. Menurut Abu Bakar yang dimaksud dengan perkataan “istiqomah”
ialah tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun.[13]
Amal yang baik hendaknya dilakukan secara terus-menerus, jangan
hanya sekali saja. Amalan besar yang dilakukan sekali saja tidak lebih baik
daripada amalan kecil yang dilakukan secara terus-menerus. Setelah kita beramal baik dengan
disertai niat yang baik pula, kita juga harus beristiqomah atau menjadikan amal
baik itu menjadi hal yang biasa kita lakukan.
اْلإِسْتِقَامَةُ
دَرَجَةٌ بِهَا كَمَالِ اْلأُمُوْرِ وَتَمَامِهَا وَبِوُجُوْدِهَا حُصُوْلَ الْخَيْرَاتِ
وَنِظَامَهَا وَمَنْ لَمْ يَكُنْ مُسْتَقِيْمًا فِيْ حَالٍ سَعْيُهُ ضَاعٌ سَعْيُهُ
وَخَابُ جَدُّهُ[14]
IV.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Amal adalah melakukan sesuatu hal yang didasari pada ikhtiar yang
sungguh-sungguh untuk para mukallaf yang berakal.
2. Niat menurut bahasa ialah tujuan hati dan kehendak hati. Menurut
syara’ ialah bergeraknya hati ke arah suatu pekerjaan untuk mencari keridhoan
Allah dan untuk menyatakan tunduk dan patuh terhadap perintah-Nya.
3. Hijrah ialah meninggalkan seseorang atau lari dari suatu tempat
atau meninggalkan nafsu-nafsu rendah, kecenderungan jahat atau tingkah laku
yang buruk.
4. Istiqomah adalah berusaha sekuat tenaga untuk tetap berdiri tegak,
terus menerus, konsisten.
5. Dalam beramal hendaknya mempunyai niat yang baik karena amal itu
tergantung pada niatnya. dan amalan yang baik hendaknya dilakukan secara terus-menerus.
B.
Penutup
Demikianlah
makalah yang telah kami susun. Kami menyadari bahwa masih terdapat banyak
kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah
ini bermanfaat bagi para pembaca. Amin.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Maulana Muhammad, Kitab
Hadits Pegangan, Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 1992.
al-Bukhari, Abi Abdillah Muhammad
bin Ismail, Matan Bukhari, Bandung: Syirkat Al- Ma’arif Lit Thab’i Wan
Nasyri, 1138 H.
Hadi, Abi Al-Hasan Nuruddin Muhammad
bin Abdul, Shohih Bukhori, Libanon: Darul Kutub, 2008.
Ismail, Syekh Ibrahim bin, Syarah
Ta’limul Muta’alim, Semarang: PT. Karya Thoha Putra, 2000.
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an
dan Tafsirnya, Jakarta: Lentera Abadi, 2010.
Khaeruman, Badri, Otentisitas
Hadits, Bandung: PT. Remaja Rasdakarya, 2004.
al-Khudhori, Syekh Salim bin Sumair. Matan Safinatun Naja, Jakarta: Maktabah As-Sa’adiyah
Putra, t.th.
Musthafa dan Muhyidin, Al-Wafi fi
Syarhi Arba’in Nawawiyah, Beirut: Muassasah Ulumil Qur’an, t.th.
an-Nawawi, Imam Yahya bin
Syarofuddin, Syarh Arba’in Nawawi, Surabaya: Al-Miftah. t.th.
an-Nawawi, Imam Yahya bin
Syarofuddin, Arba’in nawawi, Beirut: Daarul Kitab Al-Alamiyah, 1986.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
http:
//fdj-indrakurniawan.blogspot.com/
[3] Syekh Ibrahim
bin Ismail, Syarah Ta’limul Muta’allim, (Semarang: PT. Karya Thoha
Putra, 2000), hlm. 14.
[4] Ibid.
[5] Tim Penyusun
Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2008), hlm. 782.
[6] Syekh Salim bin Sumair Al Khudhori, Matan
Safinatun Naja, (Jakarta: Maktabah
As Sa’adiyah Putra, t.th., hlm. 4.
[7] DR. Musthafa
dan Muhyidin, Al-Wafi fi Syarhi Arba’in Nawawiyah, (Beirut: Muassasah
Ulumil Qur’an, t.th.), hlm. 9.
[8] Abi Abdillah
Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Matan Bukhari, (Bandung: Syirkat al
Ma’arif Lit Thab’i Wan Nasyri, 1138 H), hlm. 6.
[9] http:
//fdj-indrakurniawan.blogspot.com/
[10] Maulana
Muhammad Ali, Kitab Hadits Pegangan, (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah,
1992), hlm. 3-4.
[11] Imam Yahya bin
Syarofuddin An-Nawawi, Syarh Arba’in Nawawi, (Surabaya: Al-Miftah,
t.t.), hlm. 10.
[13] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Jakarta:
Lentera Abadi, 2010), jilid 8, hlm. 616-617.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar