Coretan-coretan sang Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang......

Senin, 24 Februari 2014

Berbuat Baik dan Buruk Sangka

I.          PENDAHULUAN
Manusia dalam hidup di dunia ini mempunyai dua macam akhlak/perilaku, ada akhlak terpuji dan ada juga yang tercela. Akhlak yang terpuji akan berdampak positif pada pelakunya begitu juga akhlak  tercela yang akan membawa dampak negatif.
Agama islam mengajarkan hal-hal yang baik dalam segala aspek kehidupan manusia, islam adalah ajaran yang benar untuk memperbaiki manusia dalam membentuk akhlaknya demi mencapai kehidupan yang mulia baik di dunia maupun di akhirat.
Dengan akhlak yang terpuji manusia dapat mendapatkan derajat yang tinggi, baik di mata Allah swt, sesama manusia dan semua makhluk Allah swt yang lain termasuk jin dan malaikat. Selain akhlak terpuji, manusia juga bisa memiliki perilaku tercela yang harus ditinggalkan karena akan menurunkan derajatnya di mata Allah dan makhluk-makhluk-Nya yang lain.

II.       HADITS DAN TARJAMAH
A.    Hadits Nawwas bin Sam’an tentang orang baik adalah orang yang baik akhlaknya
عَنِ النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَا نَ الانْصَارِيِّ قَالَ سَأَ لْتُ رَسُو لَ اللهِ صَلَّى الله عليه و سلم عَنِ الْبِرِّ وَ الاثْمِ فَقَالَ الْبِرُّ حُسْنُ الْخَلْقِ والاثْمُ مَا حَاكَ فِى صَدْرِكَ وَ كَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ النَّاسُ (أخرجه مسلم فى كتاب البروالصلة)
Dari Nawwas ibnu Sam’an r.a. ia berkata: “aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw mengenai kebajikan dan dosa”, maka beliau menjawab:“kebajikan adalah akhlak yang baik,dan dosa adalah sesuatu yang bergejolak didadamu,sedangkan kamu tidak suka bila ada orang lain mengetahuinya.” (H.R.Muslim)[1]
B.     Hadis Ibnu Mas’ud tentang kejujuran membawa kepada kebaikan
عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمِ إِنَّ الصِّدْقَ بِرٌّ وَإِنَّ البِرَّ يَهْدِي إِلَى الجَنَّةِ وَإِنَّ العَبْدَ لَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَهِ صِدِّيْقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ فُجُوْرٌ وَإِنَّ الفُجُورَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِوَإِنَّ الْعَبْدَ  لَيَتَحَرَّى الكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ كَذَّابًا (أخرجه مسلم فى كتاب البر والصلة والاداب)
Dari ibnu mas’ud r.a. : dari Rasulullah saw beliau bersabda: sesungguhnya kebenaran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga. Seseorang yang slalu bertindak jujur akan dicatat oleh allah sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada kejahatan dan kejahatan itu membawa ke neraka. Seseorang akan slalu berdusta sehingga ia ditulis disisi allah sebagai pendusta. (H.R.Muslim)[2]
C.    Hadits Abu Hurairah tentang berbuat baik dengan tetangga
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِا اللهِ وَالْيَوْمِ الْاخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ لْاخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْاخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا  أَوْلِيَصْمُتْ (أخرجه البخاري في كتاب الادب)
Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata : Rasulullah saw. Bersabda : Siapa saja yang beriman kepada allah dan hari akhir , maka tidak boleh mengganggu tetangganya. Dan siapa saja yang beriman kepada allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya. Dan siapa saja yang beriman kepada allah dan hari akhir, hendaknya ia berkata yang baik atau kalau tidak hendaklah ia diam !.(H.R.Bukhori)[3]

D.    Hadits Abu Hurairah tentang buruk sangka
عن أبي هريرة عن النّبي صلّى الله عليه وسلّم قال إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ اْلحَدِيْثِ وَلَاتَحَسَّسُوْا وَلَاتَجَسَّسَوْا وَلَاتَحَاسَدُوْا وَلَاتَدَابَرُوْا وَلَاتَبَاغَضَوْا وَكُوْنُوْا عِبَادَاللهِ إِخْوَانًا (أخرجه البخاري في كتاب الادب)
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda: “jauhilah oleh kalian berprasangka, karena Sesungguhnya berprasangka itu ucapan paling dusta. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain, janganlah memata-matai, janganlah saling bersaing, iri hati, benci dan berselisih. Jadilah hamba-hamba allah yang bersaudara”. (H.R. Bukhari)[4]

E.     Hadits Abu Said al-Khudri tentang perlunya tertib di jalan
عن أبى سعيدالخدريّ رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوْسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ فَقَالُوْامَالَنَا بُدٌّ إِنَّمَاهِيَ مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ فِيْهَا قَالَ فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلَاالْمَجَالِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيْقَ حَقَّهَا قَالُوْا وَمَاحَقُّ الطَّرِيْقِ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْاَذَى وَرَدُّ السَّلَامِ وَأْمُرْبِالْمَعْرُوْفِ وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ (أخرجه البخاري في المظالم والغصب)[5]
Dari abu sa’id al-khudry r.a. dari nabi saw. Beliau bersabda: “jauhilah duduk-duduk di tepi jalan!” para sahabat bertanya: “wahai rasulullah kami tidak bisa meninggalkan tempat-tempat itu, karena di tempat itulah kami membicarakan sesuatu” rasulullah saw bersabda: “apabila kalian tidak bisa meninggalkan dududk-duduk di sana, maka penuhilah hak jalan itu” para sahabat bertanya: “apakah hak jalan itu, wahai rasulullah?” beliau menjawab: “memejamkan mata, tidak mengganggu, menjawab salam, amar ma’ruf dan nahi munkar”. (H.R. Bukhari)[6]
F.     Hadits Abu Hurairah tentang ghibah dan buhtan
عن أبي هريرة أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ قَالُوْا اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيْلَ أَفَرَاَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُوْلُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِاغْتَبَتَهُ وَإِنَ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَّه (أخرجه مسلم في كتاب البروالصلة والادب)[7]
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda: ”jauhilah oleh kalian berprasangka, karena sesungguhnya berprasangka itu ucapan paling dusta. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain, janganlah memata-matai, janganlah saling bersaing, iri hati, benci dan berselisih. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara”. (H.R. Bukhari).

III.    PEMBAHASAN
A.    Hadis Nawwas bin Sam’an tentang orang baik adalah orang yang baik akhlaknya.
Akhlak adalah perilaku lisan, perbuatan, fisik, bahkan perbuatan diam kita. Semua tindak-tanduk kita adalah akhlak kita. Akhlak terpuji adalah akhlak yang baik, diwujudkan dalam bentuk sikap, ucapan dan perbuatan yang baik sesuai dengan ajaran islam. Akhlak terpuji yang ditujukan kepada Allah swt berupa ibadah, dan kepada Rasulullah saw. Dengan mengikuti ajaran-ajarannya, serta kepada sesama manusia dengan selalu bersikap baik pada manusia yang lain.[8]
Menjadi manusia yang berakhlak mulia bukanlah suatu hal yang mudah. Nabi Muhammad saw. diutus oleh Allah swt. kepada kita semua untuk memperbaiki akhlak manusia. Beliau bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْاَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk memperbaiki akhlak.”( Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abi Hurairoh juga oleh Al- Bazaar).
Akhlak adalah cermin hati. Artinya, ketika seseorang berakhlak baik maka berarti ia memiliki hati yang bersih dan jernih. Sedangkan orang yang memiliki akhlak buruk maka hidupnya akan suram, dan akan membawa kerusakan baik bagi dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Memiliki akhlak yang baik  bagi setiap manusia adalah hal yang sangat penting, Karena dimanapun kita berada, apapun pekerjaan kita, akan di senangi oleh siapa pun, hal itu berarti akhlak menentukan baik buruknya seseorang.[9]
Diantara buah dari akhlak yang baik di dalam hidup ini ialah : mudahnya semua urusan bagi diri sendiri dan orang lain, tercapainya apa yang diinginkan,  disukai banyak orang, tentram jiwanya, sedikit kesulitannya, mendapat ridha tuhan. Adapun buahnya di akherat ialah surga dan dekat dengan sang pencipta.[10]

B.     Hadits Ibnu Mas’ud tentang kejujuran membawa kepada kebaikan.
Yang dimaksud jujur adalah kebenaran, yaitu sesuainya antara ucapan dan akidah atau perbuatan yang ada. Kebenaran dalam ucapan adalah ketika ucapan itu sejalan dengan isi hati atau realitas. Dan dalam akidah adalah sejalan dengan keaslian alam yakni Allah yang maha esa, di mana dia yang memulai dan yang mengembalikan kehidupan. Sedangkan kebenaran dalam perbuatan adalah penampilan dengan penuh keikhlasan karena allah semata, tanpa dibarengi unsur kemunafikan atau pamer. Jika seseorang selalu berkata dan berbuat yang benar, maka cahaya kebenaran itu akan memancar ke dalam hati dan pikirannya. Kejujuran ialah ketenangan hati, artinya orang yang berkata jujur dalam hidupnya akan selalu merasa tenang, karena ia sudah menyampaikan apa yang sesuai dengan realita yang ada. Kejujuran merupakan suatu pondasi yang mendasari iman seseorang, karena sesungguhnya iman adalah membenarkan dalam hati akan adanya Allah. Jika dari hal yang kecil saja ia sudah terlatih untuk jujur maka untuk urusan yang lebih besar ia pun terbiasa untuk jujur.[11]

C.    Hadits Abu Hurairah tentang berbuat baik dengan tetangga.
Dalam riwayat bukhari tersebut rasulullah menyatakan tiga perilaku yang menjadi tuntutan keimanan seseorang kepada allah dan hari akhir yakni: Memuliakan tamu, berbuat baik kepada tetangga, berkata baik atau diam.
1.   Memuliakan tamu
Memuliakan tamu adalah menyambut baik, menampakkan keriangan atas kehadiran dan menyajikan jamuan terbaik. Bila anda orang kaya dan tamu anda orang miskin maka ulurkanlah pertolongan. Ketika berpisah maka berbuat baiklah sebagaimana ketika menyambut. Dan lain-lain perilaku memuliakan. Para ulama mengatakan: menjamu tamu dituntut syariat adalah selama tiga hari di mana jamuan di hari selebihnya adalah sedekah.
2.   Berbuat baik kepada tetangga
Orang yang berdekatan atau di kanan kiri rumah kita adalah tetangga kita, bisa saja orang muslim, orang kafir, orang yang rajin ibadah atau yang lainnya. Adapun berbuat baik terhadap tetangga adalah dalam bentuk kebaikan apa saja yang dalam kemampuannya. Bila tetangga meminta bantuan maka penuhilah, bila ia sakit maka jenguklah dan bila ia terkena musibah maka hiburlah.
Bila berbuat baik kepada tentangga adalah dituntut maka menahan dari perbuatan yang menyakitkan adalah sesuatu keharusan. Dalam al-quran terdapat sejumlah ayat yang menganjurkan berbuat baik terhadap tetangga.
3.   Berkata baik atau diam
Kebahagiaan dan kenistaan seseorang adalah di ujung lidahnya. Bila ia mengurung lisannya dalam bingkai kebaikan maka ia dapatkan kebaikan lisannya dan bila ia keluar dari bingkai kebaikan maka ia akan terseret ke dalam kenistaan dan akan tersungkur ke dalam jurang derita yang dalam. Dalam hadits Rasulullah memerintahkan satu pilihan dari dua hal: ucapan yang baik atau diam. Yakni orang yang tidak bisa berbuat dalam perkataan dan memanfaatkan kalimat, maka supaya menahan lisannya karena yang demikian adalah sikap lebih menyelamatkan.[12]

D.    Hadits Abu Hurairah tentang buruk sangka.
Ada beberapa pesan yang disampaikan nabi dalam hadits tersebut antara lain:
1.   Waspadalah terhadap sangkaan
Sangkaan di sini ialah prasangka atau dugaan. Seperti menduga orang dengan perbuatan keji, tanpa tanda atau bekas perbuatan tersebut. Allah melarang prasangka buruk, seperti yang sudah tertulis dalam al-Quran surat al-Hujurat ayat-12.

2.   Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain.
Tajassus ialah meneliti atau mencari-cari kesalahan orang lain yang bersasaran aurat yakni sesuatu yang diharapkan tertutup, tidak ingin diketahui, didengar atau dilihat orang lain.
3.   Janganlah memata-matai
Takhassus ialah meneliti atau mencari-cari kesalahan orang lain yang bersasaran pembicaraan rahasia atau sesuatu tertutup yang bisa terbuka dengan mata atau telinga.
4.   Janganlah saling mendengki
Yakni sebagian kalian tidak mendengki kepada sebagian yang lain dan menghendaki hilangnya kenikmatan orang lain untuk berpindah kepada diri sendiri atau orang lain, berupa harta atau non-materi. Dan bila kedengkian ini muncul dalam benak anda, maka hadapilah dengan perlawanan, tanpa berkeinginan membiarkan kedengkian.
5.   Janganlah Saling Membenci
Dimaksudkan tidak melakukan sesuatu yang bisa menyebabkan kebencian, karena kebencian tidak berdiri sendiri, tanpa ada penyebab.
6.   Janganlah saling mendiamkan.
Dimaksudkan janganlah melakukan pemutusan hubungan atau saling menjauhi. Imam Malik dalam kitab Al-Muwaththa’ berkata: “Aku tidak menilai sikap saling mendiamkan selain sebagai berpaling dari berdamai, di mana ia membelakangi kedamaian dengan wajah, sebagai bagian dari sikap mendiamkan.
7.   Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara
Rasulullah memerintahkan kita untuk saling bersaudara dengan sabda beliau:
كُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ اِخْوَانًا كَمَا اَمَرَكُمُ اللهِ
“Jadilah hamba-hamba Allah saling bersaudara, sebagaimana diperintahkan Allah.”

Yakni bersaudaralah dengan orang yang seiman, sebagaimana persaudaraan sekandung, dalam kasih sayang saling membantu dan berbuat baik.

E.     Hadits Abu Said al-Khudri tentang perlunya tertib di jalan.
Kandungan hadits di atas adalah larangan keras duduk-duduk di pinggir jalan, sebab itu adalah majelis setan, kecuali apabila hak jalan tersebut ditunaikan.
Sebagaimana dalam hadits lain Rasulullah saw bersabda:

فَإِنَّهَا سَبِيلٌ مِنْ سُبُلِ الشَّيْطَانِ أَوِ النَّارِ
“Sesungguhnya (tepi) jalanan adalah  salah satu dari jalan setan atau neraka”.

Itulah alasan kenapa Nabi Saw melarang kita duduk di tepi jalanan atau semisalnya, tetapi dari hadits di atas kita dapati pula bahwa selain Rasulullah saw. melarang duduk di pinggir jalan, Beliau membolehkannya dengan catatan harus menunaikan hak-hak jalan tersebut sebagai syarat pembolehannya. Kita juga dapati bahwa larangan duduk di pinggir jalan ditujukan bagi mereka yang tetap ingin duduk di pinggir jalan tetapi tidak menunaikan syarat-syarat tadi.
Rasullullah saw berpesan, jika memang duduk di jalan itu diperlukan dan tidak bisa ditinggalkan,  maka wajib memenuhi hak-hak orang lain yang melewati mereka, di antaranya yang disebutkan dalam hadits ini ada empat macam hak. Yaitu: pertama, menundukkan (membatasi) pandangan (dari melihat para wanita yang bukan mahramnya yang melewatinya atau hal-hal yang diharamkan). kedua, tidak mengganggu (menyakiti) orang dengan ucapan maupun perbuatan. ketiga, menjawab salam. keempat, memerintahkan (manusia) kepada kebaikan dan mencegah (mereka) dari perbuatan munkar.

F.     Hadits Abu Hurairah tentang ghibah dan buhtan.
Dari hadits di atas Nabi saw menjelaskan tentang ghibah yaitu dengan menyebut-nyebut orang lain dengan sesuatu yang ia benci, baik tentang fisiknya maupun sifat-sifatnya. Maka setiap kalimat yang kita ucapkan sementara ada orang lain yang membencinya, jika ia tahu kita mengatakan demikian maka itulah ghibah. Dan jika sesuatu yang kita sebutkan itu ternyata tidak ada pada dirinya, berarti kita telah melakukan dua kejelekan sekaligus: ghibah dan buhtan (dusta).
Ghibah itu hukumnya haram akan tetapi para 'ulama mengecualikannya dalam 6 perkara, yaitu :
1.    Pada sebuah kedzoliman
Contoh : seseorang yang didzolimi boleh berkata pada orang lain bahwa aku didzolimi orang tersebut, karena dia telah mengambil hartaku. Pada permasalahan ini diperbolehkan jika hanya bertujuan untuk mengadukan sebuah kedzoliman kepada seseorang yang mampu mencegahnya seperti penguasa, ini diperbolehkan karena sesuai dengan hadis nabi yang menceritakan bahwasanya hindun melaporkan kepada nabi bahwa abu sofyan itu pemuda yang gemuk.
2.    Karena meminta pertolongan atas suatu perkara yang munkar, dan kita mengira tidak bisa menolak perbuatan itu.
3.    Meminta fatwa
Contoh : ada seseorang yang minta fatwa kepada seorang 'ulama dan dia berkata "fulan telah mendzolimiku, apakah jalan yang harus saya hentikan untuk mencegah kedzoliman itu ?"
4.    Memberi peringatan bagi orang-orang muslim dari tipu daya.
Contoh : cacatnya periwayatan dan kesaksian dan seseorang yang memberikan pengajaran tetapi orang itu mempunyai cacat dalam pengajarannya, maka itu boleh diungkapkan.
5.    Menyebut seseorang yang memproklamirkan dengan sebuah kefasikan atau bid'ah seperti penguasa yang semena-mena karena hal itu sesuai dengan hadis rasul :
اذكروا الفاجر""
6.    Memberitahukan kepada seseorang tentang aib yang menimpa seseorang, seperti : mata satu, pincang, atau yang lainnya, akan tetapi hal itu tidak boleh diniati dengan menghina atau merendahkannya. [13]
IV.    PENUTUP
A.    Kesimpulan
Akhlak merupakan tingkah laku manusia yang  menjadi cerminan hati pada dirinya. Cerminan hati pada diri seseorang bisa berupa baik atau terpuji dan juga bisa berupa buruk atau tercela. Akhlak yang baik bisa berupa kejujuran, berbuat baik pada tetangga dan banyak lagi lainnya. Akhlak tercela bisa berupa buruk sangka, ghibah, buhtan dan lain sebagainya.
Kunci akhlak yang baik adalah dari hati yang bersih. Dan hati yang bersih adalah hati yang selalu mendapatkan cahaya dan sinar dari Allah SWT. Dengan sinar itu, hati akan dapat melihat dengan jelas mana akhlak yang baik dan mana akhlak yang buruk. Mana perbuatan terpuji dan mana perbuatan yang tercela. Maka dari itu kita harus selalu berdoa kepada Allah SWT agar hati kita selalu mendapatkan cahaya dari-Nya.


B.     Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami susun. Kami menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu maka kami sangat mengharapkan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Arif, Ahmad Adib, Akidah Akhlak, Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2009
Al-Bukhari, Abi Abdullah Muhammad Bin Ismail, Shahih Bukhari Juz 3, Istambul: Daarul Fikri, 1981
________, Shahih Bukhari Juz 7, Istambul: Daarul Fikri, 1981
Al-Hajaj, Abi Khusain Muslim Bin, Shahih Muslim Juz 4, Libanon: Darul Khutub Al ‘Alamiyah, 1971
Juwariyah, Hadits Tarbawi, Yogyakarta: Teras, 2010
Al-Khauli, Muhammad Abdul Aziz, Menuju Akhlak Rasulullah SAW, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2006
Nawawi, Imam, Riyadhus Shalihin, Terj. Ahmad Sunarto, Jakarta: Pustaka Imani, 1999




[1] Abi Khusain Muslim Bin Al-Hajaj, Shahih Muslim Juz 4,(Libanon: Darul Khutub Al ‘Alamiyah, 1971), hlm. 1980.
[2] Ibid., hlm. 2013.
[3] Abi Abdullah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari Juz 7, (Istambul: Daarul Fikri, 1981), hlm. 135. 
[4] Ibid., hlm. 116. 
[5] Abi Abdullah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari Juz 4, (Istambul: Daarul Fikri, 1981), hlm. 144. 
[6] Imam Nawawi, Riyadhus Shalihin, Terj. Ahmad Sunarto, (Jakarta: Pustaka Imani, 1999) hal.217.
[7] Abi Khusain Muslim Bin Al-Hajaj, Loc.Cit., hlm. 2001.
[8] Ahmad Adib Al-Arif, Akidah Akhlak, (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2009), hlm. 22.
[9] Ibid, hlm. 52
[10] Muhammad Abdul Aziz Al-Khauli, Menuju Akhlak Rasulullah SAW, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2006), hlm.113
[11] Juwariyah, Hadits Tarbawi, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 72.
[12] Muhammad Abdul Aziz Al-Khauli, Op.Cit., hlm. 101-103.
[13] Muhammad bin Ismail Al Amir, Subulus Salam, (Lebanon: Darul Kotob Al-Ilmiyah, 2008), hlm. 195-196.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar