BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan sesuatu yang tidak asing bagi kita, terlebih lagi kita sedang berinteraksi aktif di dalamnya. Kita sepakat bahwa pendidikan diperlukan oleh semua orang. Bahkan dapat dikatakan bahwa dalam proses menuju kedewasaannya, setiap manusia melalui tahap pendidikan ini.
Agama Islam merupakan agama yang sempurna, agama yang dibawa Nabi Muammad ini diajarkan melalui mukjizat yang berupa teks al-Qur’an, al-Qur’an merupakan teks rujukan dan pedoman bagi ummatnya dalam seluruh aspek kehidupan termasuk pendidikan. Di dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang tidak menyebutkan makna secara jelas, penjelasan dari ayat tersebut diperoleh melalui penjelasan Hadits Nabi yang kemudian disebut sebagai teks utama setelah al-Qur’an.
Sebenarnya agama Islam sangat mengutamakan proses pendidikan, hal tersebut dapat dilihat dari lima ayat yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam surat al-‘Alaq. Banyak juga hadits yang menjelaskan tetang pentingnya pendidikan bagi manusia. Namun sebagai dua teks utama, ummat Islam seringkali lupa akan ajaran-ajaran yang dijelasknnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits
القُرْأن خَلَقَهُ كَا نَ قَالَتْ رَسُوْ الله صَلىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قِ أَخْلاَ عن سُأِلَتْ ئشة عا عَنْ
B. Terjemahan Hadits
Artinya: “Aisyah Ra ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW, maka dia menjawab akhlak Rasulullah SAW adalah al-Qur’an”
D. Pemahaman dan Analisa Hadits
Al-Qur’an merupakan sumber nilai yang absolute dan utuh, didalamnya mencakup perbendaharaan yang luas dan besar bagi pengembangan kebudayaan ummat manusia dan merupakan sumber pendidikan yang terlengkap. Ia merupakan pedoman normatif-teoritis bagi pelaksanaan pendidikan Islam. Oleh sebab itu Rasulullah SAW memberikan contoh dan suri tauladan berdasarkan al-Qur’an
Dalam dataran pendidikan Islam, sunnah Nabi mempunyai dua fungsi yaitu:
1. Menjelaskan system pendidikan Islam yang tepat di dalamnya.
2. Menyimpulkan metode pendidikan dan kehidupan Rasulullah SAW bersama sahabat, perlakuannya kepada anak-anak, dan pendidikan keimanan yang pernah dilakukan.
Kesemuanya tersebut dapat dilihat dari bagaimana cara Nabi melakukan proses belajar mengajar, metode yang digunakan sehingga dengan cepat para sahabat mampu menyerap apa yang diajarkan, dan lain sebaginya yang kesemuanya terpancar dari satu figur uswah hasanah yang dibimbing langsung oleh Allah.
Pendidikan merupakan transfer of knowledge, transfer of value dan transfer of culture serta transfer of religius yang semoga diarahkan pada upaya untuk memanusiakan manusia. Dalam konteks ajaran Islam hakikat pendidikan adalah mengembalikan nilai-nilai Ilahiyah pada manusia (fitrah) dengan bimbingan Al-Quran dan as-Sunnah (Hadits) sehingga menjadi manusia berakhlakul karimah (insan kamil).
Secara semantik, pendidikan menunjukkan pada suatu kegiatan atau proses yang berhubungan dengan pembinaan yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Pengertian tersebut belum menunjukkan adanya program, sistem, dan metode yang lazimnya digunakan dalam melakukan pendidikan atau pengajaran. Dalam term pendidikan Islam, sering dijumpai kata dalam bahasa arab tarbiyah untuk menggantikan kata pendidikan dalam bahasa Indonesia. Selain kata tarbiyah terdapat pula kata ta’lim (pengajaran) dan ta’dib yang ada hubungannya dengan kata adab yang berarti sopan santun.
Ketiga terma tersebut memiliki kesamaan makna. Namun secara esensial, setiap terma memiliki perbedaan, baik secara tekstual maupun secara kontekstual. Oleh karena itu dibawah ini akan diuraikan secara singkat masing-masing term pendidikan tersebut.
1. at-Tarbiyah
Istilah at-Tarbiyah berasal dari kara rabb, yang berarti:
a. bertambah dan berkembang (رَبّا- يَرَ بُّو- تَرْ بِيّة )
b. tumbuh dan berkembang (رَبّى- يَرَ بى- تَرْ بِيّة )
c. memperbaiki, menguasai, memelihara, merawat, memperindah, mengatur, dan menjaga kelestariannya (رَب- يَرَ ب- تَرْ بِيّة )
Dari pengertian tersebut, dalam konteks yang luas pengertian pendidikan Islam terkandung dalam term al-Tarbiyah yang meliputi empat unsur, yaitu:
1) unsur memelihara dan menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa.
2) mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan.
3) mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan. Dan
4) melaksanakan pendidikan secara lengkap.
Jadi istilah at-Tarbiyah memberikan pengertian mencakup semua aspek pendidikan, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Tidak hanya mencakup aspek jasmaniah tetapi juga mencakup aspek rohaniah secara harmonis.
2. al-Ta’lim
Kata yang kedua ini bersumber dari kata ‘allama yang berarti pengajaran yang bersifat pemberian, atau penyampaian, pengertian, pengetahuan, dan keterampilan. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 31 disebutkan :
وَ عَلَّم اَ دَمَ ا لأَ سْمَا ءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَ ضَهُمْ عَلَى ا لْمَلَعِكَةِ فَقَا لَ اَنْبِعُوْ نِيْ بِاَ سْماَ ءِ اِنْ كُنْتُمْ صَدِ قِيْنَ
Artinya:
“dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
Bila dilihat dari batasan pengertian yang ditawarkan dari kata ta’lim (allama) pada ayat di atas, terlihat pengertian pendidikan yang terlalu sempit. Pengertiannya hanya sebatas proses pentransferan seperangkat ilmu pengetahuan atau nilai antara manusia. Ia hanya dituntut untuk menguasai ilmu atau nilai yang ditranfer secara kognitif dan psikomotorik, akan tetapi tidak dituntut pada domain afektif.
3. al-Ta’dib
Secara bahasa, kata al-ta’dib merupakan masdar dari kata “addaba” yang berarti:
a. Ta’dib, berasal dari kata dasar “aduba – ya’dubu yang bererti melatih, mendisiplinkan diri untuk berperilaku yang baik dan sopan santun.
b. Berasal dari kata “adaba – ya’dibu” yang berarti mengadakan pesta atau perjamuan yang berbuat dan berperilaku sopan.
c. Kata “addaba” sebagai bentuk kata kerja “ta’dib” mengandung pengertian mendidik, melatih, memperbaiki, mendisiplin da member tindakan. Dalam hadist Nabi disebutkan:
(رواه علي عن العكسري ) رَ بّي تَأ دِ يبِى فَأَ حسَنِ أ دَّ بَنِي
Artinya:
“Tuhan telah mendidikku, maka ia sempurnakan pendidikanku” ( HR. al-Askary dari Ali Ra)
Dari pengertian dan hadist tersebut, dapat disimpulkan bahwa kata “ta’dib” mengandung pengertian usaha untuk menciptakan situasi dan kondisi sedemikian rupa, sehingga anak didik terdorong dan tergerak jiwa dan jiwanya untuk berperilaku dan bersifat sopan santun yang baik sesuai dengan yang diharapkan. Orientasi kata al-ta’dib lebih terfokus pada upaya pembentukan pribadi muslim yang berakhlak mulia.
Allah SWT menciptakan menusia telah dibekali dengan potensi pada setiap individu, dengan potensi itulah seseorang dapat menjalankan kehidupan dengan penuh ketaatan dan penghambaan kepada-Nya. Dalam hadits diatas, Rasulullah memberikan informasi tentang potensi-potensi yang ditetapkan kepada manusia, berupa fitrah.
Fitrah sebagai potensi dasar manusia yang dibawa sejak lahir merupakan pemahaman konseptual dari surat ar-Rum ayat 30:
فَاَ قِمْ وَجْهَكَ لِلدِّ يْنِ حَنِيْفاً. فِطْرَ تَ اللهِ ا لَّتِيْ فَطَرَ ا لنَّا سَ عَلَيْهاَ. لاَ تَبْدِ يْلَ لِخَلْقِ اللهِ , ذَلِكَ ا لدِّ يْنُ ا لْقَيّمُ , وَلَكِنَّ اَكْثَرَ ا لنَّا سِ لاَ يَعْلَمُوْ نَ
( ٣٠ (
Artinya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”
Dalam ayat tersebut, Allah menjelaskan bahwa fitrah yang dimaksud adalah “al-dinu al-Qayyim” agama yang lurus. Akan tetapi, potensi tersebut juga dapat dipengaruhi oleh faktor dari luar baik berupa pendidikan ataupun lingkungan yang dalam hadits diatas digambarkan dengan faktor orang tua.
Sebagai potensi dasar, maka fitrah itu cenderung kepada potensi-potensi psikologis yang perlu untuk dikembangkan ke arah yang benar. Diantara potensi psokologis tersebut adalah:
1) Beriman kepada Allah SWT
2) Kecenderungan untuk menerima kebenaran, kebaikan, termasuk untuk menerima pendidikan dan pengajaran
3) Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang berwujud daya fikir
4) Dorongan biologis yang berupa syahwat dan tabiat
5) Kekuatan-kekuatan lain dan sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan dapat disempurnakan
Ibn taimiyah dalam menginterprestasikan fitrah yang dibawa oleh manusia adakalanya:
1. Fitrah al Ghazirah, yaitu fitrah inheren dalam diri manusia yang memberikan daya akal (Quwwah al-aql), yang berguna untuk mengembangkan potensi dasar manusia.
2. Fitrah al-Munazzal, yaitu fitrah luar yang masuk pada diri manusia. Fitrah ini berupa petunjuk al-Qur’an dan as-sunnah yang digunakan sebagai kendali dan pembimbing bagi fitrah al-Gazirah.
Dapat disimpulkan bahwa fitrah yang berupa pembawaan pada diri manusi merupakan potensi-potensi dasar manusia yang memiliki sifat kebaikan dan kesucian untuk menerima rangsangan (pengaruh) dari luar menuju pada kesempurnaan dan kebenaran.
Namun, fitrah manusia bukanlah satu-satunya potensi yang dapat mencetak manusia sesuai dengan fungsinya. Ada juga potensi lain yang menjadi kebalikann dari fitrah ini, yaitu nafs yang mempunyai kecenderungan pada keburukan dan kejahatan. Untuk itu fitrah harus tetap dikembangkan secara wajar dengan fitrah al-Munazzal yang dijiwai oleh wahyu (al-Qur’an dan as-Sunnah), sehingga dapat mengarahkan perkembangan seorang anak kepada jalur yang benar secara kaamilah. Oleh karena betapa pentingnya pendidikan untuk mengarahkan perkembangan manusia ke arah yang benar (ad-din al-Qayyim), hendaklah suatu pendidikan mulai ditanamkan sejak dini.
Melatih dan membiasakan suatu perbuatan baik, merupakan metode yang amat tepat dilakukan pada masa usia anak-anak. Karena dari metode pembiasaan inilah akan terbentuknya jiwa dan kepribadian yang baik. Dalam hadits lain disebutkan:
عَنْ اَ نَسْ بِنْ مَلِكْ عن رَسُوْ الله صَلىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم , قَلَ أَ كْرَ مُوْ أَ وْ لاَدَ كُمْ وَأ حْسَنُوْ أدْ بَهُمْ
( رواه ابن ما جه )
Artinya:
“Dari Anas bin Malik, dari Rasulullah SAW bersabda: Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka.” (HR. Ibn Majah)
Potensi-potensi yang dibawa oleh manusia sejak lahir sangatlah rentan akan pengaruh-pengaruh dari luar, oleh sebab sejak usia dini fitrah tersebut harus diarahkan dan dibimbing ke arah yang benar dengan pendidikan kepribadian (ahlak) dan pendidikan agama. Dalam hal ini orang tua adalah faktor yang sangat berpengaruh, karena orang tua adalah orang pertama kali yang bersentuhan dengan seorang anak.
Sejak usia dini, seorang anak mulai mengenal dunia di luar dirinya secara objektif disertai pengahayatan secara subjektif. Mulai adanya pengenalan pada Aku sendiri dengan bantuan bahasa dan kata-kata. Nabi SAW mengingatkan agar orag tua mengajarkan dan mendidik anak dengan beberapa hal diantaranya adalah adab, shalat, kecintaan dengan Nabi dan al-Qur’an, serta mengembangkan minat dan bakat.
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia yang berfikir bagaimana menjalani kehidupan dunia ini dalam rangka mempertahankan hidup dalam hidup dan penghidupan manusia yang mengemban tugas dari Sang Kholiq untuk beribadah.
Manusia sebagai mahluk yang diberikan kelebihan oleh Allah SWT dengan suatu bentuk akal pada diri manusia yang tidak dimiliki mahluk Allah yang lain dalam kehidupannya, bahwa untuk mengolah akal pikirnya diperlukan suatu pola pendidikan melalui suatu proses pembelajaran.
Berdasarkan undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab I, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Selanjutnya diuraikan bahwa dalam upaya membina tadi digunakan asas/pendekatan manusiawi/humanistik serta meliputi keseluruhan aspek/potensi anak didik serta utuh dan bulat (aspek fisik–non fisik : emosi–intelektual ; kognitif–afektif psikomotor), sedangkan pendekatan humanistik adalah pendekatan dimana anak didik dihargai sebagai insan manusia yang potensial, (mempunyai kemampuan kelebihan-kekurangannya dll), diperlukan dengan penuh kasih sayang – hangat – kekeluargaan – terbuka – objektif dan penuh kejujuran serta dalam suasana kebebasan tanpa ada tekanan/paksaan apapun juga.
Melalui penerapan pendekatan humanistik maka pendidikan ini benar-benar akan merupakan upaya bantuan bagi anak untuk menggali dan mengembangkan potensi diri serta dunia kehidupan dari segala liku dan seginya. Menurut Ki Hadjar Dewantara terdapat lima asas dalam pendidikan yaitu :
1. Asas kemerdekaan; Memberikan kemerdekaan kepada anak didik, tetapi bukan kebebasan yang leluasa, terbuka, melainkan kebebasan yang dituntun oleh kodrat alam, baik dalam kehidupan individu maupun sebagai anggota masyarakat.
2. Asas kodrat Alam; Pada dasarnya manusia itu sebagai makhluk yang menjadi satu dengan kodrat alam, tidak dapat lepas dari aturan main (Sunatullah), tiap orang diberi keleluasaan, dibiarkan, dibimbing untuk berkembang secara wajar menurut kodratnya.
3. Asas kebudayaan; Berakar dari kebudayaan bangsa, namun mengikuti kebudyaan luar yang telah maju sesuai dengan jaman. Kemajuan dunia terus diikuti, namun kebudayaan sendiri tetap menjadi acauan utama (jati diri).
4. Asas kebangsaan; Membina kesatuan kebangsaan, perasaan satu dalam suka dan duka, perjuangan bangsa, dengan tetap menghargai bangsa lain, menciptakan keserasian dengan bangsa lain.
5. Asas kemanusiaan; Mendidik anak menjadi manusia yang manusiawi sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk Tuhan.
Dengan demikian proses pendidikan dapat kita rumuskan sebagai proses humanisasi yang berakar pada nilai-nilai moral dan agama, yang berlangsung baik di dalam lingkungan hidup pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa, kini dan masa depan.
Untuk membentuk masyarakat Indonesia baru yaitu masyarakat madani yang diridhoi Allah swt. tentunya memerlukan paradigma baru. Paradigma lama tidak memadai lagi bahkan mungkin sudah tidak layak lagi digunakan. Suatu masyarakat yang religius dan demokratis tentunya memerlukan berbagai praksis pendidikan yang dapat menumbuhkan individu dan masyarakat yang religius dan demokratis pula. Masyarakat yang tertutup, yang sentralistik, yang mematikan inisiatif berfikir manusia dan jauh dari nilai-nilai moral dan agama Islam bukanlah merupakan pendidikan yang kita inginkan. Pada dasarnya paradigma pendidikan nasional yang baru harus dapat mengembangkan tingkah laku yang menjawab tantangan internal dan global dengan tetap memiliki keyakinan yang kuat terhadap Allah dan Syariatnya. Paradigma tersebut haruslah mengarah kepada lahirnya suatu bangsa Indonesia yang bersatu, demokratis dan religius yang sesuai dengan kehendaknya sebagai wujud nyata fungsi kekhalifahan manusia dimuka bumi.
Oleh sebab itu, penyelenggaraan pendidikan yang sentralistik dan sekurelistik baik didalam manajemen maupun didalam penyusunan kurikulum yang kering dari nilai-nilai moral dan agama harus diubah dan disesuaikan kepada tuntutan pendidikan yang demokratis dan religius. Demikian pula di dalam menghadapi kehidupan global yang kompetitif dan inovatif, maka proses pendidikan haruslah mampu mengembangkan kemampuan untuk berkompetensi didalam kerja sama, mengembangkan sikap inovatif dan ingin selalu meningkatkan kualitas. Demikian pula paradigma pendidikan baru bukanlah mematikan kebhinekaan malahan mengembangkan kebhinekaan menuju kepada terciptanya suatu masyarakat Indonesia yang bersatu di atas kekayaan kebhinekaan mayarakat dan bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Arifuddin Arif, 2008, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kultural
Abū ‘Abd Allah Ibn Muhammad ibn Yazīd Ibn Mājah, 2004, Sunan IbnMājah, Juz IV, Beirut: Dar al-Fikr
Depag RI, 2007, Al-Qur’an dan Terjemahnya, al-Hikmah, Bandung: CV Penerbit Diponegoro
rangkuman dari buku : Teladan abadi Hasan Askari, terbitan Al-huda, 2009
Abū ‘Abd Allah Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhāriy, 2006, Al-Jāmi’ Shahīh al-Bukhāriy, Juz I, Beirut: Dār al-Fikri,
Kitab Al-Jawahir Wad-Durar fi Tarjamah A1-Hafizh Ibn Hajar karya As-Sakhawi, Muqaddimah Bulughul Maram Darul Fikr
Baihaqiy, t.t, Syu’bat al-Iman, Juz XVIII, dalam Maktabah as-Syamilah
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan sesuatu yang tidak asing bagi kita, terlebih lagi kita sedang berinteraksi aktif di dalamnya. Kita sepakat bahwa pendidikan diperlukan oleh semua orang. Bahkan dapat dikatakan bahwa dalam proses menuju kedewasaannya, setiap manusia melalui tahap pendidikan ini.
Agama Islam merupakan agama yang sempurna, agama yang dibawa Nabi Muammad ini diajarkan melalui mukjizat yang berupa teks al-Qur’an, al-Qur’an merupakan teks rujukan dan pedoman bagi ummatnya dalam seluruh aspek kehidupan termasuk pendidikan. Di dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang tidak menyebutkan makna secara jelas, penjelasan dari ayat tersebut diperoleh melalui penjelasan Hadits Nabi yang kemudian disebut sebagai teks utama setelah al-Qur’an.
Sebenarnya agama Islam sangat mengutamakan proses pendidikan, hal tersebut dapat dilihat dari lima ayat yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam surat al-‘Alaq. Banyak juga hadits yang menjelaskan tetang pentingnya pendidikan bagi manusia. Namun sebagai dua teks utama, ummat Islam seringkali lupa akan ajaran-ajaran yang dijelasknnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits
القُرْأن خَلَقَهُ كَا نَ قَالَتْ رَسُوْ الله صَلىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قِ أَخْلاَ عن سُأِلَتْ ئشة عا عَنْ
B. Terjemahan Hadits
Artinya: “Aisyah Ra ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW, maka dia menjawab akhlak Rasulullah SAW adalah al-Qur’an”
D. Pemahaman dan Analisa Hadits
Al-Qur’an merupakan sumber nilai yang absolute dan utuh, didalamnya mencakup perbendaharaan yang luas dan besar bagi pengembangan kebudayaan ummat manusia dan merupakan sumber pendidikan yang terlengkap. Ia merupakan pedoman normatif-teoritis bagi pelaksanaan pendidikan Islam. Oleh sebab itu Rasulullah SAW memberikan contoh dan suri tauladan berdasarkan al-Qur’an
Dalam dataran pendidikan Islam, sunnah Nabi mempunyai dua fungsi yaitu:
1. Menjelaskan system pendidikan Islam yang tepat di dalamnya.
2. Menyimpulkan metode pendidikan dan kehidupan Rasulullah SAW bersama sahabat, perlakuannya kepada anak-anak, dan pendidikan keimanan yang pernah dilakukan.
Kesemuanya tersebut dapat dilihat dari bagaimana cara Nabi melakukan proses belajar mengajar, metode yang digunakan sehingga dengan cepat para sahabat mampu menyerap apa yang diajarkan, dan lain sebaginya yang kesemuanya terpancar dari satu figur uswah hasanah yang dibimbing langsung oleh Allah.
Pendidikan merupakan transfer of knowledge, transfer of value dan transfer of culture serta transfer of religius yang semoga diarahkan pada upaya untuk memanusiakan manusia. Dalam konteks ajaran Islam hakikat pendidikan adalah mengembalikan nilai-nilai Ilahiyah pada manusia (fitrah) dengan bimbingan Al-Quran dan as-Sunnah (Hadits) sehingga menjadi manusia berakhlakul karimah (insan kamil).
Secara semantik, pendidikan menunjukkan pada suatu kegiatan atau proses yang berhubungan dengan pembinaan yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Pengertian tersebut belum menunjukkan adanya program, sistem, dan metode yang lazimnya digunakan dalam melakukan pendidikan atau pengajaran. Dalam term pendidikan Islam, sering dijumpai kata dalam bahasa arab tarbiyah untuk menggantikan kata pendidikan dalam bahasa Indonesia. Selain kata tarbiyah terdapat pula kata ta’lim (pengajaran) dan ta’dib yang ada hubungannya dengan kata adab yang berarti sopan santun.
Ketiga terma tersebut memiliki kesamaan makna. Namun secara esensial, setiap terma memiliki perbedaan, baik secara tekstual maupun secara kontekstual. Oleh karena itu dibawah ini akan diuraikan secara singkat masing-masing term pendidikan tersebut.
1. at-Tarbiyah
Istilah at-Tarbiyah berasal dari kara rabb, yang berarti:
a. bertambah dan berkembang (رَبّا- يَرَ بُّو- تَرْ بِيّة )
b. tumbuh dan berkembang (رَبّى- يَرَ بى- تَرْ بِيّة )
c. memperbaiki, menguasai, memelihara, merawat, memperindah, mengatur, dan menjaga kelestariannya (رَب- يَرَ ب- تَرْ بِيّة )
Dari pengertian tersebut, dalam konteks yang luas pengertian pendidikan Islam terkandung dalam term al-Tarbiyah yang meliputi empat unsur, yaitu:
1) unsur memelihara dan menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa.
2) mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan.
3) mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan. Dan
4) melaksanakan pendidikan secara lengkap.
Jadi istilah at-Tarbiyah memberikan pengertian mencakup semua aspek pendidikan, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Tidak hanya mencakup aspek jasmaniah tetapi juga mencakup aspek rohaniah secara harmonis.
2. al-Ta’lim
Kata yang kedua ini bersumber dari kata ‘allama yang berarti pengajaran yang bersifat pemberian, atau penyampaian, pengertian, pengetahuan, dan keterampilan. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 31 disebutkan :
وَ عَلَّم اَ دَمَ ا لأَ سْمَا ءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَ ضَهُمْ عَلَى ا لْمَلَعِكَةِ فَقَا لَ اَنْبِعُوْ نِيْ بِاَ سْماَ ءِ اِنْ كُنْتُمْ صَدِ قِيْنَ
Artinya:
“dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
Bila dilihat dari batasan pengertian yang ditawarkan dari kata ta’lim (allama) pada ayat di atas, terlihat pengertian pendidikan yang terlalu sempit. Pengertiannya hanya sebatas proses pentransferan seperangkat ilmu pengetahuan atau nilai antara manusia. Ia hanya dituntut untuk menguasai ilmu atau nilai yang ditranfer secara kognitif dan psikomotorik, akan tetapi tidak dituntut pada domain afektif.
3. al-Ta’dib
Secara bahasa, kata al-ta’dib merupakan masdar dari kata “addaba” yang berarti:
a. Ta’dib, berasal dari kata dasar “aduba – ya’dubu yang bererti melatih, mendisiplinkan diri untuk berperilaku yang baik dan sopan santun.
b. Berasal dari kata “adaba – ya’dibu” yang berarti mengadakan pesta atau perjamuan yang berbuat dan berperilaku sopan.
c. Kata “addaba” sebagai bentuk kata kerja “ta’dib” mengandung pengertian mendidik, melatih, memperbaiki, mendisiplin da member tindakan. Dalam hadist Nabi disebutkan:
(رواه علي عن العكسري ) رَ بّي تَأ دِ يبِى فَأَ حسَنِ أ دَّ بَنِي
Artinya:
“Tuhan telah mendidikku, maka ia sempurnakan pendidikanku” ( HR. al-Askary dari Ali Ra)
Dari pengertian dan hadist tersebut, dapat disimpulkan bahwa kata “ta’dib” mengandung pengertian usaha untuk menciptakan situasi dan kondisi sedemikian rupa, sehingga anak didik terdorong dan tergerak jiwa dan jiwanya untuk berperilaku dan bersifat sopan santun yang baik sesuai dengan yang diharapkan. Orientasi kata al-ta’dib lebih terfokus pada upaya pembentukan pribadi muslim yang berakhlak mulia.
Allah SWT menciptakan menusia telah dibekali dengan potensi pada setiap individu, dengan potensi itulah seseorang dapat menjalankan kehidupan dengan penuh ketaatan dan penghambaan kepada-Nya. Dalam hadits diatas, Rasulullah memberikan informasi tentang potensi-potensi yang ditetapkan kepada manusia, berupa fitrah.
Fitrah sebagai potensi dasar manusia yang dibawa sejak lahir merupakan pemahaman konseptual dari surat ar-Rum ayat 30:
فَاَ قِمْ وَجْهَكَ لِلدِّ يْنِ حَنِيْفاً. فِطْرَ تَ اللهِ ا لَّتِيْ فَطَرَ ا لنَّا سَ عَلَيْهاَ. لاَ تَبْدِ يْلَ لِخَلْقِ اللهِ , ذَلِكَ ا لدِّ يْنُ ا لْقَيّمُ , وَلَكِنَّ اَكْثَرَ ا لنَّا سِ لاَ يَعْلَمُوْ نَ
( ٣٠ (
Artinya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”
Dalam ayat tersebut, Allah menjelaskan bahwa fitrah yang dimaksud adalah “al-dinu al-Qayyim” agama yang lurus. Akan tetapi, potensi tersebut juga dapat dipengaruhi oleh faktor dari luar baik berupa pendidikan ataupun lingkungan yang dalam hadits diatas digambarkan dengan faktor orang tua.
Sebagai potensi dasar, maka fitrah itu cenderung kepada potensi-potensi psikologis yang perlu untuk dikembangkan ke arah yang benar. Diantara potensi psokologis tersebut adalah:
1) Beriman kepada Allah SWT
2) Kecenderungan untuk menerima kebenaran, kebaikan, termasuk untuk menerima pendidikan dan pengajaran
3) Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang berwujud daya fikir
4) Dorongan biologis yang berupa syahwat dan tabiat
5) Kekuatan-kekuatan lain dan sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan dapat disempurnakan
Ibn taimiyah dalam menginterprestasikan fitrah yang dibawa oleh manusia adakalanya:
1. Fitrah al Ghazirah, yaitu fitrah inheren dalam diri manusia yang memberikan daya akal (Quwwah al-aql), yang berguna untuk mengembangkan potensi dasar manusia.
2. Fitrah al-Munazzal, yaitu fitrah luar yang masuk pada diri manusia. Fitrah ini berupa petunjuk al-Qur’an dan as-sunnah yang digunakan sebagai kendali dan pembimbing bagi fitrah al-Gazirah.
Dapat disimpulkan bahwa fitrah yang berupa pembawaan pada diri manusi merupakan potensi-potensi dasar manusia yang memiliki sifat kebaikan dan kesucian untuk menerima rangsangan (pengaruh) dari luar menuju pada kesempurnaan dan kebenaran.
Namun, fitrah manusia bukanlah satu-satunya potensi yang dapat mencetak manusia sesuai dengan fungsinya. Ada juga potensi lain yang menjadi kebalikann dari fitrah ini, yaitu nafs yang mempunyai kecenderungan pada keburukan dan kejahatan. Untuk itu fitrah harus tetap dikembangkan secara wajar dengan fitrah al-Munazzal yang dijiwai oleh wahyu (al-Qur’an dan as-Sunnah), sehingga dapat mengarahkan perkembangan seorang anak kepada jalur yang benar secara kaamilah. Oleh karena betapa pentingnya pendidikan untuk mengarahkan perkembangan manusia ke arah yang benar (ad-din al-Qayyim), hendaklah suatu pendidikan mulai ditanamkan sejak dini.
Melatih dan membiasakan suatu perbuatan baik, merupakan metode yang amat tepat dilakukan pada masa usia anak-anak. Karena dari metode pembiasaan inilah akan terbentuknya jiwa dan kepribadian yang baik. Dalam hadits lain disebutkan:
عَنْ اَ نَسْ بِنْ مَلِكْ عن رَسُوْ الله صَلىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم , قَلَ أَ كْرَ مُوْ أَ وْ لاَدَ كُمْ وَأ حْسَنُوْ أدْ بَهُمْ
( رواه ابن ما جه )
Artinya:
“Dari Anas bin Malik, dari Rasulullah SAW bersabda: Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka.” (HR. Ibn Majah)
Potensi-potensi yang dibawa oleh manusia sejak lahir sangatlah rentan akan pengaruh-pengaruh dari luar, oleh sebab sejak usia dini fitrah tersebut harus diarahkan dan dibimbing ke arah yang benar dengan pendidikan kepribadian (ahlak) dan pendidikan agama. Dalam hal ini orang tua adalah faktor yang sangat berpengaruh, karena orang tua adalah orang pertama kali yang bersentuhan dengan seorang anak.
Sejak usia dini, seorang anak mulai mengenal dunia di luar dirinya secara objektif disertai pengahayatan secara subjektif. Mulai adanya pengenalan pada Aku sendiri dengan bantuan bahasa dan kata-kata. Nabi SAW mengingatkan agar orag tua mengajarkan dan mendidik anak dengan beberapa hal diantaranya adalah adab, shalat, kecintaan dengan Nabi dan al-Qur’an, serta mengembangkan minat dan bakat.
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia yang berfikir bagaimana menjalani kehidupan dunia ini dalam rangka mempertahankan hidup dalam hidup dan penghidupan manusia yang mengemban tugas dari Sang Kholiq untuk beribadah.
Manusia sebagai mahluk yang diberikan kelebihan oleh Allah SWT dengan suatu bentuk akal pada diri manusia yang tidak dimiliki mahluk Allah yang lain dalam kehidupannya, bahwa untuk mengolah akal pikirnya diperlukan suatu pola pendidikan melalui suatu proses pembelajaran.
Berdasarkan undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab I, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Selanjutnya diuraikan bahwa dalam upaya membina tadi digunakan asas/pendekatan manusiawi/humanistik serta meliputi keseluruhan aspek/potensi anak didik serta utuh dan bulat (aspek fisik–non fisik : emosi–intelektual ; kognitif–afektif psikomotor), sedangkan pendekatan humanistik adalah pendekatan dimana anak didik dihargai sebagai insan manusia yang potensial, (mempunyai kemampuan kelebihan-kekurangannya dll), diperlukan dengan penuh kasih sayang – hangat – kekeluargaan – terbuka – objektif dan penuh kejujuran serta dalam suasana kebebasan tanpa ada tekanan/paksaan apapun juga.
Melalui penerapan pendekatan humanistik maka pendidikan ini benar-benar akan merupakan upaya bantuan bagi anak untuk menggali dan mengembangkan potensi diri serta dunia kehidupan dari segala liku dan seginya. Menurut Ki Hadjar Dewantara terdapat lima asas dalam pendidikan yaitu :
1. Asas kemerdekaan; Memberikan kemerdekaan kepada anak didik, tetapi bukan kebebasan yang leluasa, terbuka, melainkan kebebasan yang dituntun oleh kodrat alam, baik dalam kehidupan individu maupun sebagai anggota masyarakat.
2. Asas kodrat Alam; Pada dasarnya manusia itu sebagai makhluk yang menjadi satu dengan kodrat alam, tidak dapat lepas dari aturan main (Sunatullah), tiap orang diberi keleluasaan, dibiarkan, dibimbing untuk berkembang secara wajar menurut kodratnya.
3. Asas kebudayaan; Berakar dari kebudayaan bangsa, namun mengikuti kebudyaan luar yang telah maju sesuai dengan jaman. Kemajuan dunia terus diikuti, namun kebudayaan sendiri tetap menjadi acauan utama (jati diri).
4. Asas kebangsaan; Membina kesatuan kebangsaan, perasaan satu dalam suka dan duka, perjuangan bangsa, dengan tetap menghargai bangsa lain, menciptakan keserasian dengan bangsa lain.
5. Asas kemanusiaan; Mendidik anak menjadi manusia yang manusiawi sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk Tuhan.
Dengan demikian proses pendidikan dapat kita rumuskan sebagai proses humanisasi yang berakar pada nilai-nilai moral dan agama, yang berlangsung baik di dalam lingkungan hidup pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa, kini dan masa depan.
Untuk membentuk masyarakat Indonesia baru yaitu masyarakat madani yang diridhoi Allah swt. tentunya memerlukan paradigma baru. Paradigma lama tidak memadai lagi bahkan mungkin sudah tidak layak lagi digunakan. Suatu masyarakat yang religius dan demokratis tentunya memerlukan berbagai praksis pendidikan yang dapat menumbuhkan individu dan masyarakat yang religius dan demokratis pula. Masyarakat yang tertutup, yang sentralistik, yang mematikan inisiatif berfikir manusia dan jauh dari nilai-nilai moral dan agama Islam bukanlah merupakan pendidikan yang kita inginkan. Pada dasarnya paradigma pendidikan nasional yang baru harus dapat mengembangkan tingkah laku yang menjawab tantangan internal dan global dengan tetap memiliki keyakinan yang kuat terhadap Allah dan Syariatnya. Paradigma tersebut haruslah mengarah kepada lahirnya suatu bangsa Indonesia yang bersatu, demokratis dan religius yang sesuai dengan kehendaknya sebagai wujud nyata fungsi kekhalifahan manusia dimuka bumi.
Oleh sebab itu, penyelenggaraan pendidikan yang sentralistik dan sekurelistik baik didalam manajemen maupun didalam penyusunan kurikulum yang kering dari nilai-nilai moral dan agama harus diubah dan disesuaikan kepada tuntutan pendidikan yang demokratis dan religius. Demikian pula di dalam menghadapi kehidupan global yang kompetitif dan inovatif, maka proses pendidikan haruslah mampu mengembangkan kemampuan untuk berkompetensi didalam kerja sama, mengembangkan sikap inovatif dan ingin selalu meningkatkan kualitas. Demikian pula paradigma pendidikan baru bukanlah mematikan kebhinekaan malahan mengembangkan kebhinekaan menuju kepada terciptanya suatu masyarakat Indonesia yang bersatu di atas kekayaan kebhinekaan mayarakat dan bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Arifuddin Arif, 2008, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kultural
Abū ‘Abd Allah Ibn Muhammad ibn Yazīd Ibn Mājah, 2004, Sunan IbnMājah, Juz IV, Beirut: Dar al-Fikr
Depag RI, 2007, Al-Qur’an dan Terjemahnya, al-Hikmah, Bandung: CV Penerbit Diponegoro
rangkuman dari buku : Teladan abadi Hasan Askari, terbitan Al-huda, 2009
Abū ‘Abd Allah Muhammad bin Ismā’īl al-Bukhāriy, 2006, Al-Jāmi’ Shahīh al-Bukhāriy, Juz I, Beirut: Dār al-Fikri,
Kitab Al-Jawahir Wad-Durar fi Tarjamah A1-Hafizh Ibn Hajar karya As-Sakhawi, Muqaddimah Bulughul Maram Darul Fikr
Baihaqiy, t.t, Syu’bat al-Iman, Juz XVIII, dalam Maktabah as-Syamilah
Media
pendidikan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Urgensi pembahasan
Kata media berasal dari bahasa latin medius yang
secara harfiah berarti tengah, perantara atau pengantar.Gerlach
dan Ely mengatakan bahwa media apabila dipahami secara garis besar adalah
manusia, materi atau kejadian yang membangun kondisi sehingga membuat sisiwa
mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan atau sikap. Dalam pengertian ini
guru, buku teks, dan lingkungan sekolah termasuk kategri media. Jadi media
pendidikan dan pengajarn terdiri atas media manusia dan non manusia.
Seiring dengan ini Rasulullah juga menggunakan media dalam
mengadakan proses pembelajaran dan pendidikan. Akan dibahas lebih lanjut dalam
pembahasan hadist ini, media yang digunakan beliau adalah anggota badan beliau
sendiri (tangan, lidah, jari) dan media lainnya (langit,bumi,matahari,
bulan,dan mimbar). Pentingnya menggunakan media dalam pembelajaran adalah
agar tercapainya tujuan pembelajaran dengan baik, karena media juga dapat
membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian pesan dan isi
pelajaran pada peserta didiknya.
B. Ruang lingkup pembahasan
1. Menganalisis hadist Media manusia
2. Menganalisis hadits Media
non manusia
BAB
II
HADITS
TENTANG MEDIA PENDIDIKAN ISLAM
A.
Media Manusia
1.
Media Lidah dan Jari
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ
- رضى الله عنهما - قَالَ اشْتَكَى سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ شَكْوَى لَهُ فَأَتَاهُ النَّبِىُّ
- صلى الله عليه وسلم - يَعُودُهُ مَعَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَسَعْدِ بْنِ أَبِى وَقَّاصٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ
- رضى الله عنهم - فَلَمَّا دَخَلَ عَلَيْهِ فَوَجَدَهُ فِى غَاشِيَةِ أَهْلِهِ فَقَالَ « قَدْ قَضَى
» . قَالُوا لاَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
. فَبَكَى النَّبِىُّ
- صلى الله عليه وسلم - فَلَمَّا رَأَى الْقَوْمُ بُكَاءَ النَّبِىِّ
- صلى الله عليه وسلم - بَكَوْا فَقَالَ
« أَلاَ تَسْمَعُونَ إِنَّ اللَّهَ لاَ يُعَذِّبُ بِدَمْعِ الْعَيْنِ ، وَلاَ بِحُزْنِ الْقَلْبِ ، وَلَكِنْ يُعَذِّبُ بِهَذَا - وَأَشَارَ إِلَى لِسَانِهِ
- أَوْ يَرْحَمُ وَإِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ » . وَكَانَ عُمَرُ - رضى الله عنه
- يَضْرِبُ فِيهِ بِالْعَصَا ، وَيَرْمِى بِالْحِجَارَةِ وَيَحْثِى بِالتُّرَابِ . رواه البخارى ومسلم
2.Terjemahan
Dari Abdullab bin Umar RA. dia berkata. Sa’ad bin
Ubadah menderita sakit. Lalu, Nabi SAW
datang menjenguknya bersama Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqash dan
Abdullah bin Mas'ud RA. Ketika beliau SAW masuk menemuinya, maka beliau
mendapatinya sedang diliputi (dikelilingi) keluarganya. Beliau SAW bertanya, Apakah ia telah meninggal?’ Mereka
menjawab, ‘Tidak. wahai Rasulullah! Nabi SAW pun menangis. Ketika orang melihat
Nabi SAW menangis, maka mereka pun turut menangis. Maka beliau SAW bersabda.
Apukah kalian tidak mendengar sesungguhnva Allah tidak menyiksa dengan sebab
air mata dan tidak pula sebab kesedihan hati, akan tetapi Dia menyiksa dengan sebab ini- seraya
mengisyaratkan dengan lidahnya - atau
memberi rahmat. Sesungguhnya mayit
disiksa dengan sebab tangisan keluarganya kepadanya. Umar bin Khaththab memukul orang dengan karena hal tersebut dan melempari dengan batu
serta dengan tanah.
Dalam penelusuran hadits diatas
penulis menggunakan kata dasar (
بكي )
dari informasi mu’jam al-hadits, pada mu’jam 2, hal 311. Adapun setelah
diteliti, pemakalah tidak menemukan asbabul wurud dari hadits ini.
3.Penjelasan hadits
Adapun penjelasan kalimat “(Melihat Nabi SAW menangis, maka mereka turut menangis)” ini menunjukkan bahwa kisah
ini terjadi setelah kisah Ibrahim (putra Nabi SAW) sebab Abdurrahman bin Auf
turut hadir di sini. Narnun dia tidak menanyakan kepada Nabi SAW seperti yang
ditanyakan pada kisah Ibrahim.hal ini menunjukkan dia tel ah mengetahui bahwa
tangisan sekedar mengeluarkan air mata tidaklah dilarang. Nabi bersabda”tidakkah
kalian mendengar” yakni apakah kalian tiadak mendengarkan dengan
sebaik-baiknya.
Kalimat ini menunjukkan bahwa Nabi SAW melihat
sebagian mereka mengingkari apa yang beliau lakukan. Oleh sebab itu, beliau SAW
menjelaskan kepada mereka perbedaan antara tangisan yang dilarang dan tangisan
yang diperbolehkan. (menyiksa dengan
sebab lni), yakni jika ia mengucapkan perkataan
yang tidak
baik. (atau merahmati), jika Ia mengucapkan perkataan yang baik. Namun ada pula
kemungkinan makna perkataannya. “Atau
merahmti”, yakni jika ancaman yang dijanjikan tidak diwujudkan. (sesungguhnya mayit disiksa dengan sebab tangisan keluarganya kepadanya), yakni hal itu berbeda dengan tangisan selain keluarganya. Hal ini serupa dengan kisah Abdullah bin Tsabit yang dikutip oleh Imam Malik dalam kitab Al Muwaththa’
merahmti”, yakni jika ancaman yang dijanjikan tidak diwujudkan. (sesungguhnya mayit disiksa dengan sebab tangisan keluarganya kepadanya), yakni hal itu berbeda dengan tangisan selain keluarganya. Hal ini serupa dengan kisah Abdullah bin Tsabit yang dikutip oleh Imam Malik dalam kitab Al Muwaththa’
Dalam hadits yang lain, Nabi juga
menjelaskan tentang lidah sebagai media, bunyi haditsnya adalah :
عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الثَّقَفِىِّ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ حَدِّثْنِى بِأَمْرٍ أَعْتَصِمُ بِهِ. قَالَ
« قُلْ رَبِّىَ اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقِمْ
». قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَخْوَفُ مَا تَخَافُ عَلَىَّ فَأَخَذَ بِلِسَانِ نَفْسِهِ ثُمَّ قَالَ « هَذَا ». رواه
الترمذى وأحمد
Dari Sufyan ibn Abdillah
al-Tsaqafiy, ia berkata: Saya berkata: Wahai Rasulullah! Beritahukanlah
kepadaku suatu hal yang akan saya pegang selalu. Beliau bersabda: Katakanlah!
Tuhanku adalah Allah, kemudian
beristiqamahlah (konsistenlah dengan pengakuan itu). Saya bertanya lagi, Ya
Rasulullah! Apa yang paling Engkau khawatirkan tentang diri saya? Maka ia
memegang lidahnya kemudian berkata, "ini".
Dan pada hadist berikut ini
menjelaskan, Nabi memberi pelajaran kepada sahabat dengan menggunakan jarinya sebagai media.
Bunyi haditsnya sbb:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِى الْجَنَّةِ كَهَاتَيْنِ ». وَأَشَارَ بِأُصْبُعَيْهِ يَعْنِى السَّبَّابَةَ وَالْوُسْطَى.
رواه الترمذى وأبو
داود وأحمد
Dari Sahl ibn Sa'ad, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda:
Aku dan pemelihara anak yatim dalam sorga seperti ini. Beliau mengisyaratkan
kedua jarinya yang dirapatkan, yaitu: telunjuk dan jari tengah.
Pada hadist diatas Nabi SAW memberikan pelajaran kepada sahabat
tentang sesuatu yang tidak mereka ketahui, Nabi
juga memakai media yakni mengisyaratkan
dengan jari dan lidahnya.Dikatakan bahwa posisi orang yang memelihara anak
yatim, memiliki kedudukan yang tinggi dalam islam dan bakal menempati tempat
terhormat dalam sorga nantinya, yakni berdampingan dengan Nabi, ketinggian dan
kehormatan itu digambarkan oleh Rasulullah SAW.bagaikan dua jari tangan
(telunjuk dan jari tengah yang dirapatkan) dalam hal ini, kedua jari tengah
dijadikan media oleh Rasulullah SAW. Dengan demikian para sahabat dapat memahami dengan mudah isi pelajaran yang
disampaikan oleh Rasulullah SAW.
4.Analisis Kependidikan
Kalau dipandang dari segi kependidikannya,
maka kehadiran media dalam pembelajaran
mempunyai arti yang cukup penting . karena dalam kegiatan tersebut
ketidak jelasan bahan yang disampaikan dapat dibantu dengan menghadirkan media
sebagai perantara. Kerumitan bahan ajar yang akan disampaikan kepada peserta
didik itu dapata disederhanakan dengan bantuan media. Media pengajaran dapat
mempertinggi hasil belajar yang dicapainya. Ada beberapa alasan yang mendukung
:
a) Pengajaran akan lebih menarik
perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar
b) Bahan pengajaran akan lebih jelas
maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh para siswa
c) Metode mengajar akan lebih
bervariasi, tidak semata komunikasi verbal
d) Siswa lebih banyak kegiatan
belajar, tidak hanya mendengarkan tapi juga beraktivitas mengamati dan
mendemonstrasikan.
B.
Media Bukan Manusia
1. Media Langit dan
Bumi
عَنْ أَنَسٍ قَالَ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم-
بُسَيْسَةَ عَيْناً يَنْظُرُ مَا فَعَلَتْ عِيرُ أَبِى سُفْيَانَ فَجَاءَ وَمَا فِى الْبَيْتِ أَحَدٌ غَيْرِى وَغَيْرُ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم... فَخَرَج رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- فَتَكَلَّمَ فَقَالَ « إِنَّ لَنَا طَلِبَةً فَمَنْ كَانَ ظَهْرُهُ حَاضِراً فَلْيَرْكَبْ مَعَنَا
».... فَانْطَلَقَ رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم-
وَأَصْحَابُهُ حَتَّى سَبَقُوا الْمُشْرِكِينَ إِلَى بَدْرٍ وَجَاءَ الْمُشْرِكُونَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
–صلى الله عليه وسلم- « لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ إِلَى شَىْءٍ حَتَّى أَكُونَ أَنَا أُؤْذِنُهُ ». فَدَنَا الْمُشْرِكُونَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- « قُومُوا إِلَى جَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ
». قَالَ يَقُولُ عُمَيْرُ بْنُ الْحُمَامِ الأَنْصَارِىُّ يَا رَسُولَ اللَّهِ جَنَّةٌ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ قَالَ « نَعَمْ
». فَقَالَ بَخٍ بَخٍ.... رواه مسلم
وأحمد
Dari Anas ibn Malik, ia berkata: Rasulullah saw. mengutus
Busaisah sebagai mata-mata untuk memperhatikan apa yang dilakukan oleh
kendaraan Abu Sofyan. Ia datang dan tidak seorang pun di rumah selain saya dan
Rasulullah SAW. ... Lalu Rasulullah SAW. keluar dan berkata: sesungguhnya kita
memiliki kebutuhan, siapa yang kendaraannya tersedia silahkan pergi bersama
kami…. Maka berangkatlah Rasulullah SAW. bersama sahabat-sahabatnya sehingga
mereka mendahului orang-orang musyrik di Badar. Datanglah orang-orang musyrik,
beliau bersabda: janganlah salah seorang kamu mendahului sesuatu sebelum saya
izinkan. Ketika orang-orang musyrik sudah dekat, Rasulullah SAW. bersabda:
Bangkitlah kalian untuk mendapatkan sorga yang luasnya sama dengan langit dan
bumi. Umair ibn al-Humam al-Anshari bertanya, ya Rasulullah! Sorga seluas
langit dan bumi? Beliau menjawab: ya, benar benar.
2.Pejelasan Hadist
Diantara informasi hadits tentang
penjelasan diatas adalah. Bahwa Rasululluah menggambarkan sorga itu seluas
langit dan bumi. Disini beliau menggunakan langit dan bumi sebagai media
pelajaran terhadap sahabatnya. Adapun ayat Al-Quran yang menjelasakan ”sorga
itu seluas langit dan bumi” adalah terdapat dalam surat Ali Imran ayat 133
yang berbunyi :
(#þqããÍ$yur 4n<Î) ;otÏÿøótB `ÏiB öNà6În/§ >p¨Yy_ur
$ygàÊótã
ßNºuq»yJ¡¡9$#
ÞÚöF{$#ur ôN£Ïãé&
tûüÉ)GßJù=Ï9
ÇÊÌÌÈ
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada
surga yang seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,
4.Analisis Kependidikan
Belajar mengajar adalah suatu proses
yang mengolah sejumlah nilaiuntuk dikonsumsi oleh setiap anak didik,
nilai-nilai itu tdak datang dengan sndirinya, tapi terambil dari berbagai
sumber. Sumber belajar yang sesungguhnya banyak terdapat dimana-mana; disekolah,
dihalaman, dipusat kota, dipedesaan dan sebagainya.Udin Saripuddin dan
winataputra (199:65) mengelompokkan sumber belajar menjadi lima kategori, yaitu
manusi, buku/ perpustakaan, media masa,alam / lingkungan, dan media pendidikan.
Karena itu sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai
tempat di mana bahan pengajaran tempat atau asal untuk belajar belajar. Media
pendidikan itu sebagai salah satu sumber belajar yang membantu guru untuk
memperkaya wawasan anak didik.
2. Hadits Media Matahari dan Bulan
عَنْ
شِهَابِ
بْنِ
عُبَا
د
قَاَلَ
حَدثَنَا
اِبرَاهِيِم
بنِ
حَمِيد عَن اِسمَعِيل
عَنَ قَيْس قا ل سمعت اَبَا مَسعُودِ يَقولُ قَالَ النبي صلي الله عليه وسلم : اِنًّ الشَّمسَ
وَالقَمَرَ لاَ
يَنكَسِفَانِ لِمَوتِ
اَحَدٍ مِنَ
النَّاسِ وَلَكِنَّهُمَا اَيَتَانَ
مِن
اَيَاتِ اللهِ
فَاِذَ رَاَيْتُمُوْهُمَا فَقُومُوا فَصَلُوْا
Dari syihab bin ‘ubad dia berkata;menceritakan kepada kami
ibrahim bin hamid dari ismail dari qaiys ia berkata: Aku mendengar abu masud
berkata,bersabda nabi SAW: “Terjadi gerhana matahari pada hari kematian
Ibrahim, maka manusia berkata, ‘Terjadi gerhana matahari karena kematian
Ibrahim’. Maka Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara
tanda-tanda (kebesaran) Allah, keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian
seseorang dan tidak pula karena kehidupannya . Apabila kalian melihat keduanya
(gerhana), maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah’.
2.Penjelasan Hadits
Informasi
yang terkandung dalam hadits diatas adalah :
· Telah terjadi gerhana matahari pada saat kematian ibrahim
putra rasulullah SAW
· Sahabat menduga bahwa gerhana terjadi karena kematian
ibrahim
· Rasulullah menegaskan bahwa gerhana tersebut merupakan
tanda-tanda kekuasaan Allah
· Gerhana tersebut tidak ada hubungannya dengan kematian dan
kelahiran seseorang
3. Mimbar
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَذَكَرَ الصَّدَقَةَ وَالتَّعَفُّفَ وَالْمَسْأَلَةَ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى فَالْيَدُ الْعُلْيَا هِيَ الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ.
رواه البخارى ومسلم
'Abdullah
bin 'Umar radhiallahu 'anhuma meriwayatkan bahwa Rasulullah
Shallallahu'alaihiwasallam bersabda ketika berada di atas mimbar, di
antaranya Beliau menyebut tentang shadaqah dan masalah tangan yang di atas
lebih baik dari pada tangan yang di bawah. Tangan yang di atas adalah yang
memberi (mengeluarkan infaq) sedangkan tangan yang di bawah adalah yang
meminta".
Penjelasan hadits
Pada bab ini disebutkan hadits Abu Hurairah dengan lafazh,
(Sebaik-baik sedekah adalah ketika
dalam keadaan tercukupi [kebutuhannya]). Hal ini memberi asumsi bahwa yang dinafikan pada lafazh
pertama adalah kesempurnaannya, sehingga maknanya adalah; tidak ada sedekah
yang sempuma kecuali dari sisa kebutuhan. Imam Abmad meriwayatkan melalui jalur
Abu Shalih dengan lafazh, (Sesungguhnya
sedekah itu adalah ketika dalam keadaan tercukupi). Riwayat ini
lebih dekat kepada lafazh judul bab.
Imam Ahmad meriwayatkan pula melalui jalur Abdul Malik bin Abi Sulaiman dan
Atha’
Hadits
maushul kedua
pada bab ini adalah hadits Hakim bin Hizam, (Tangan di alas lebih baik daripada tangan di bawah). Adapun
kesesuaiannya dengan judul bab terdapat pada Iafazh,
(sebaik-baik sedekah adalah ketika
tercukupi semua kebutuhannya). Adapun lafazh,
(barangsiapa minta dipelihara [dari
meminta-minta], maka Allah akan memeliharanya).
Hadits Ibnu Umar, (tangan di atas). Hanya saja Imam Bukhari menyebutkannya untuk menafsirkan keterangan yang masih global pada hadits Hakim. Ibnu Rasyid berkata, Nampaknya, karena hadits Hakim bin Hizam mengandung dua hal; hadits tangan di atas’ dan hadits ‘tidak ada sedekah kecuali ketika tercukupi semua kebutuhannya’, maka Imam Bukhari menyebutkan juga hadits Ibnu Umar yang mencakup bagian pertama. Hal ini dilakukan untuk menambah kuantitas jalur periwayatan hadits itu. Ada pula kemungkinan kesesuaian hadits ‘tangan di atas’ dengan judul bab adalah, bahwa penafsiran ‘tangan di atas’ sebagai orang yang bersedekah berlaku apabila sedekah tersebut tidak terhalang dari sisi syara’. seperti orang yang berutang dan seluruh hartanya berada dalam pengawasan pengadilan (disegel). Keumuman maknanya dibatasi dengan hadits, ‘tidak ada sedekah kecuali dari sisa kebutuhan Demikian yang beliau katakan, namun hal ini kurang tepat, seperti akan dijelaskan. Al Qurthubi berkata, “Pada hadits Ibnu Umar ini tercantum penafsiran maksud ‘tangan di atas’ dan ‘tangan di bawah’. ini merupakan dalil yang dapat menghilangkan perbedaan dan menolak semua penakwilan yang tidakbenar.”
Hadits Ibnu Umar, (tangan di atas). Hanya saja Imam Bukhari menyebutkannya untuk menafsirkan keterangan yang masih global pada hadits Hakim. Ibnu Rasyid berkata, Nampaknya, karena hadits Hakim bin Hizam mengandung dua hal; hadits tangan di atas’ dan hadits ‘tidak ada sedekah kecuali ketika tercukupi semua kebutuhannya’, maka Imam Bukhari menyebutkan juga hadits Ibnu Umar yang mencakup bagian pertama. Hal ini dilakukan untuk menambah kuantitas jalur periwayatan hadits itu. Ada pula kemungkinan kesesuaian hadits ‘tangan di atas’ dengan judul bab adalah, bahwa penafsiran ‘tangan di atas’ sebagai orang yang bersedekah berlaku apabila sedekah tersebut tidak terhalang dari sisi syara’. seperti orang yang berutang dan seluruh hartanya berada dalam pengawasan pengadilan (disegel). Keumuman maknanya dibatasi dengan hadits, ‘tidak ada sedekah kecuali dari sisa kebutuhan Demikian yang beliau katakan, namun hal ini kurang tepat, seperti akan dijelaskan. Al Qurthubi berkata, “Pada hadits Ibnu Umar ini tercantum penafsiran maksud ‘tangan di atas’ dan ‘tangan di bawah’. ini merupakan dalil yang dapat menghilangkan perbedaan dan menolak semua penakwilan yang tidakbenar.”
3.Sutera dan Emas
حدثنا ابو بكر, ثنا عبد الرحميم بن سليمان , عن محمد بن اسحاق, عن يزيد بن ابي حبيب, عن عبد العزيز بن ابي الصعبة ,عن ابي الاْفلح الهمداني, عن عبدالله بن زرير الغافقي سمعته يقول : سمعت علي بن ابي طا لب يقول : اخذ رسول الله ص.م حريرا بشما له وذهبا بيمينه, ثم رفع بهما يديه فقال : ان هذين حرام علئ ذكور
امتي
حل لاناثهم.
...Ali bin Abu Thalib radliallahu
'anhu berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah mangambil
sutera lalu meletakkannya pada sisi kanannya, dan mengambil emas lalu
meletakkannya pada sisi kirinya. Kemudian beliau bersabda: "Sesugguhnya
dua barang ini haram bagi umatku yang laki-laki, halal bagi umatku yang
perempuan”.
Dari hadits diatas
dapat dipahami bahwa nabi melarang kaum laki-laki memakai emas dan
sutera beliau hanya membolehkan bagi perempuan untuk memkainya. Karena
larangan-larangan yang beliau berikan kepada umatnya itu adalah berdasarkan
perintah dari Allah SWT. Dalam hadist ini Nabi SAW juga menggunakan media
sebagi sumber belajar, yakni memberikan pelajran kepada para sahabat
beliau.karen du hal yang diinformasikan nabi kepada sahabatnya tersebut
merupakn pakaian perempuan, agar trehindar dari penyerupaan dengan perempuan
makanya Nabi melarang bali laki- laki untuk memakainya.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat di
ambil kesimpulannya, bahwa media pendidikan islam itu banyak terdapat dalam
hadits nabi . yang mana nanyinya medi tersebut merupakan sumber belajar dan
sebagai wahan penyampai pesan pembelajaran terhadap anak didik untuk mencapai
tujuan pembelajaran.
Diantara media pendidikan islam yang
telah dibahas tersebut adalah: media manusia dan media non manusia.Media
manusia terdiri dari: media lidah dan jari sedangkan media non manusia terdiri
dari:media langit dan bumi, matahari dan bulan,mimbar,dan sutera dan emas.
2. Saran
Denagan adanya penulis menyajikan
tulisan berupa makalah ini diharapkan bermanfaat hendaknya, terutama bagi
penulis sendiri. Kritik dan saran penulis harapkan untuk kesempurnaan penulisan kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad Azhar,
2005, media pembelajaran ,Jakarta:PT
Raja Grapindo Persada
Syaiful bahri Djamarah dan Aswan zain, 2006, Strattegi
belajar mengajar, Jakarta:PT Rineka Cipta
Nana sudjana dan Ahmad Rivai,2002 ,media pengajaran ,Bandung
: Sinar baru Algesindo
Al-Asqalaniy, Syihabuddin Ahmad bin
Ali Bin Hajar, 2008, Fath al-Bariy Penjelasan Kitab Sahih Al-Bukhari,
Juz 8, Jakarta: Pustaka Azzam
Al-Asqalaniy, Syihabuddin Ahmad bin
Ali Bin Hajar, 2008, Fath al-Bariy Penjelasan Kitab Sahih Al-Bukhari,
Juz 7, Jakarta: Pustaka Azzam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar