HAKIM DAN MAHKUM BIH
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Dr. Ahwan Fanani M. Ag
Disusun Oleh:
Hilmi Sahab (113211024)
Furaida Ayu M (113211023)
Iip Kasipul Qulub (113211025)
Khoirun Ni’am (113211026)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
HAKIM DAN MAHKUM BIH
I. PENDAHULUAN
Ilmu Ushul Fiqh menurut istilah
adalah pengetahuan tentang kaidah dan pembahasanya yang digunakan untuk
menetapkan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan manusia dari
dalil-dalilnya yang terperinci atau kumpulan kaidah dan pembahasanya yang
digunakan untuk menetapkan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan
manusia dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Berdasarkan penelitian, para ulama’
telah menetapkan bahwa dalil yang dapat diambil sebagai hukum syari’at yang
sebangsa perbuatan itu ada 4 (empat) yaitu: Al Qur’an, Al Sunnah, Al Ijma’
dan Al Qiyas. Dan sumber pokok dalil-dalil tersebut serta sumber hukum
syari’at adalah al qur’an kemudian al sunnah sebagai penjelas
atas keglobalan al qur’an, pembatas keumumannya, pengikat kebebasanya
dan sebagai penerang serta penyempurna[1].
Dalam pembahasan unsur dalam ilmu ushul
fiqih itu ada 4 (empat) yaitu: Hakim, Hukum, Mahkum bih dan Mahkum Alaih.
Kesemua hukum dalam ilmu ushul fiqih itu dirasa sangat penting sekali dalam
menegakkan hukum-hukum syar’i yang ada pada agama islam.
Dalam makalah ini
pemakalah mencoba memaparkan sedikit tentang apa itu Hakim dan apa itu Mahkum bih beserta sedikit ruang lingkup pembahasannya.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Apakah definisi Hakim?
B. Bagaimana pendapat ulama tentang cara
mengetahui hukum-hukum Allah?
C. Apakah definisi Mahkum Bih?
D. Bagaimana perbuatan yang sah menurut syara’?
III. PEMBAHASAN
1. Definisi Hakim
Hakim menurut kamus istilah fiqih
adalah orang yang diangkat oleh penguasa untuk menghakimi dakwaan dan
persengketaan[2].
Sedangkan menurut kamus ilmu ushul fiqih, hakim secara etimologi mempunyai 2 (dua) pengertian:
a. Pembuat, yang menetapkan,
yang memunculkan dan sumber hukum.
Dari kedua pengertian tentang definisi
hakim diatas baik dari kamus fiqih maupun kamus ushul fiqih dapat disimpulkan
bahwa yang namanya hakim adalah orang yang mempunyai kekuasaan penuh untuk
menentukan hukum atau suatu aturan. Dalam hukum islam adalah Allah SWT. Allah
SWT berhak dan berkuasa penuh untuk menentukan serta membuat suatu hukum bagi
alam semesta ini dan tidak ada yang bisa menggugatnya karena Allah pemilik
sekaligus hakim di alam semesta ini dan tidak ada syari'at (undang- undang)
yang sah melainkan dari Allah SWT. Seperti firman Allah SWT sendiri dalam yang berbunyi:
ان الحكم الا لله يقص الحق وهو خير
الفا صلين
“Menetapkan (hukum
itu) hanyalah hak Allah SWT. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi
keputusan yang terbaik”.(Qs. Al an’am: 57)
Dan firman Allah yang berbunyi:
وان احكم بينهم بما انزل الله
“Dan
hendaklah kamu mamutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah. . .
(Qs. Al Maidah: 49)
Dari ayat di atas dapat di ambil
pengertian bahwa hanya Allah SWT adalah satu-satunya “hakim” yang berhak
menentukan hukum bagi alam semesta ini yang dalam penyampaian hukum tersebut
Allah SWT mengutus para rasulNya untuk disampaikan kepada semua makhluk ciptaan
Allah SWT.
2. Pendapat ulama tentang bagaimana cara mengetahui
hukum-hukum Allah SWT
Di antara ulama kaum muslimin tidak ada
perkhilafan atau perbedaan tentang siapa hakim yang hakiki. Semua ulama kaum
muslimin sependapat bahwa Allah SWT adalah hakim yang hakiki, karena di al
qur’an sudah jelas bahwa hanya Allah SWT
yang berhak menetapkan suatu hukum. Hal ini tentu tidak bisa di ganggu
gugat oleh siapapun. Tetapi yang menjadi perbedaan atau perkhilafan diantara
para ulama kaum muslimin adalah mengenai bagaimana cara mengetahui hukum-hukum
Allah SWT. Dalam hal ini para ulama terbagi menjadi 3 (tiga) madzhab:
1). Madzhab
Al Asy’ariah
Akal tidak mungkin mengetahui
hukum-hukum Allah SWT atas perbuatan mukallaf kecuali dengan perantaraan para
rasul dan kitab-kitab Allah SWT. Karena masing-masing akal akan berbeda dengan
perbuatan tersebut, sebagian menganggap baik dan sebagian menganggap buruk dan
bahkan satu orang saja bisa berbeda dalam memahami satu perbuatan. Sering kali
nafsu manusia mengalahkan akalnya sehingga anggapan baik dan buruk itu
berdasarkan hawa nafsu. Oleh karena itu tidak mungkin dikatakan “apa yang
menurut akal baik maka baik menurut Allah, dan apa yang menurut akal buruk maka
buruk menurut Allah”.
2). Madzhab
Al Mu’tazilah
Hukum-hukum Allah itu mungkin diketahui
secara langsung tanpa perantaraan rasul dan kitab-kitab Allah karena setiap
perbuatan manusia itu memiliki sifat yang dapat memberikan pengaruh manfaat
atau bahaya sehingga akal dapat menggunakan dasar sifat-sifat perbuatan itu.
Apa yang dihasilkan oleh akal berdasarkan manfaat atau bahaya itu dihukumi
dengan baik atau buruk dan hukum Allah atas perbuatan hamba itu tergantung pada
anggapan akal bermanfaat atau berbahaya. Allah SWT menuntut orang-orang
mukallaf untuk melaksanakan perbuatan yang bermanfaat untuk akal juga
meninggalakan perbuatan yang berbahaya menurut akal. Apa yang dianggap baik
menurut akal maka dituntut oleh Allah dan pelakunya akan diberi pahala,
sedangkan yang dianggap buruk oleh akal maka dituntut oleh Allah untuk
ditinggalkan dan pelakunya akan disiksa.
3). Madzhab
Al Mathuridiah
Pendapat ini bersifat moderat dan
netral, dan menurut pendapat pemakalah, madzhab inilah yang unggul.
Kesimpulanya perbuatan orang-orang mukallaf itu memiliki ciri-ciri tertentu dan
memiliki pengaruh pada baik atau jelek perbuatan itu, sedangkan akal
berdasarkan ciri-ciri dan pengaruh ini akan mampu menghukumi bahwa perbuatan
itu baik atau jelek. Apa yang oleh akal sehat dianggap baik maka dihukumi baik
dan apa yang dianggap oleh akal jelek maka dihukumi jelek. Tetapi hukum-hukum
Allah atas perbuatan mukallaf itu tidak boleh ditetapkan baik atau jelek
berdasarkan kemampuan akal kita. Karena meskipun akal sudah matang, kadang juga
salah, juga karena sebagian perbuatan yang tidak jelas menurut akal maka tidak
dapat ditetapkan diantara hukum-hukum Allah dan tidak ditetapkan diantara hukum
yang mampu diterima akal. Oleh karena itu tidak ada jalan lain untuk dapat
mengetahui hukum-hukum Allah kecuali melalui para Rasul-Nya
3. Definisi Mahkum Bih
Menurut kamus ilmu ushul fiqih, mahkum bih adalah perbuatan
mukallaf yang terkait dengan hukum
syar’i. Atau objek hukum, yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan
titah syar’i (Allah dan Rasul Nya) yang bersifat tuntunan untuk mengerjakan,
tuntunan untuk meninggalkan suatu pekerjaan, memilih suatu pekerjaan dan yang
bersifat syarat, sabab, mani’, azimah, rukhshah, shah dan bathal[4].
Sedangkan dalam kitab ushulul fiqh adalah perbuatan yang dibebankan
kepada orang-orang mukallaf[5].
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa semua orang mukallaf itu wajib
menjalankan semua hukum Allah SWT yang telah dibebankan kepada orang-orang
mukallaf.
4. Tuntutan yang sah menurut syara’
Perbuatan
yang sah menurut syara’ harus memiliki tiga syarat, yaitu:
a. Tuntutan perbuatan itu harus diketahui
mukallaf secara jelas sehingga ia mampu melaksanakannya secara jelas sehingga
ia mampu melaksanakannya sebagaimana yang dituntutkan. Atas dasar ini, nash Al-Qur’an yang
masih global, artinya belum jelas maksudnya, tidak sah menurut mukallaf untuk
melakukannya kecuali mendapat keterangan dari Rasulullah SAW. Misalnya firman Allah SWT .Al Baqarah
ayat 43: Wa aqimush sholata. Dirikanlah shalat. Adalah nash Al-Qur’an
yang belum menjelaskan rukun, syarat, dan cara melaksanakannya. Bagaimana
seorang mukallaf dituntut melakukan shalat padahal ia tidak tahu rukun, syarat,
dan cara melaksanakannya?
b. Hendaknya
diketahui bahwa tuntutan itu keluar dari orang yang punya kekuasaan menuntut
dan dari orang yang hukumnya wajib diikuti mukallaf. Karena dengan pengetahuan
ini keinginan mukallaf akan mengarah untuk mengikuti tuntutan itu.
c. Perbuatan
yang dibebankan kepada mukallaf harus berupa sesuatu yang mungkin, atau mampu
dilakukan atau dihindari oleh mukallaf.
IV. KESIMPULAN
1). Allah SWT adalah
satu-satunya hakim di alam semesta ini yang mana semua hukum itu berasal dari
Allah SWT.
2). Semua ulama
kaum muslimin sepakat bahwa Allah adalah satu-satunya hakim yang hakiki karena
dalilnya sudah jelas seperti firman Allah dalam QS. Al An’am: ayat 57 yang artinya:
…..menetapkan (hukum
itu) hanya hak Allah . . .
3). Bahwa semua orang mukallaf itu wajib menjalankan semua
hukum Allah SWT yang telah dibebankan kepada orang-orang mukallaf.
4). Suatu perbuatan dapat
di bebankan pada seorang mukallaf jika
perbutan tadi memenuhi syarat seperti yang telah disebutkan di atas.
V. PENUTUP
Demikian apa yang
dapat disajikan oleh penulis, semoga dapat memberikan manfaat bagi siapapun
yang membacanya. Tentu masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan dalam
makalah yang singkat ini, untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan
demi penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Mujib M Abdul, Kamus
Istilah Fiqh, PT Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991.
Kholaf Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh,
PT Pustaka Amani, Jakarta, 2003.
Alkhudrobeik Asyyaikh
Muhammad, Kitab Ushul Fiqh Ta’liful Marjuum, Daar Al
Fikr, Beirut.
Totok Jumantoro, Kamus
Ilmu Ushul Fiqih, AMZAH, Jakarta, 2009.
[2]
M. Abdul Mujib AS, Mabruri Thalhah,
Syafi’ah A.M, Kamus Istilah Fiqih,(Jakarta: PT Pustaka Firdaus,1994),hlm
.96.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar