Coretan-coretan sang Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang......

Sabtu, 22 Februari 2014

Hakim dan Mahkum Bih

HAKIM DAN MAHKUM BIH

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Dr. Ahwan Fanani M. Ag



   

Disusun Oleh:
Hilmi Sahab               (113211024)
Furaida Ayu M          (113211023)
Iip Kasipul Qulub      (113211025)
Khoirun Ni’am          (113211026)


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011



HAKIM DAN MAHKUM BIH

I.       PENDAHULUAN
Ilmu Ushul Fiqh menurut istilah adalah pengetahuan tentang kaidah dan pembahasanya yang digunakan untuk menetapkan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terperinci atau kumpulan kaidah dan pembahasanya yang digunakan untuk menetapkan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Berdasarkan penelitian, para ulama’ telah menetapkan bahwa dalil yang dapat diambil sebagai hukum syari’at yang sebangsa perbuatan itu ada 4 (empat) yaitu: Al Qur’an, Al Sunnah, Al Ijma’ dan Al Qiyas. Dan sumber pokok dalil-dalil tersebut serta sumber hukum syari’at adalah al qur’an kemudian al sunnah sebagai penjelas atas keglobalan al qur’an, pembatas keumumannya, pengikat kebebasanya dan sebagai penerang serta penyempurna[1].
Dalam pembahasan unsur dalam ilmu ushul fiqih itu ada 4 (empat) yaitu: Hakim, Hukum, Mahkum bih dan Mahkum Alaih. Kesemua hukum dalam ilmu ushul fiqih itu dirasa sangat penting sekali dalam menegakkan hukum-hukum syar’i yang ada pada agama islam.
Dalam makalah ini pemakalah mencoba memaparkan sedikit tentang apa itu  Hakim dan apa itu Mahkum bih  beserta sedikit ruang lingkup pembahasannya.
II.     RUMUSAN MASALAH
A.  Apakah definisi Hakim?
B.  Bagaimana pendapat ulama tentang cara mengetahui hukum-hukum Allah?
C.  Apakah definisi Mahkum Bih?
D.  Bagaimana  perbuatan yang sah menurut syara’?


III.  PEMBAHASAN
1.  Definisi Hakim
Hakim menurut kamus istilah fiqih adalah orang yang diangkat oleh penguasa untuk menghakimi dakwaan dan persengketaan[2]. Sedangkan menurut kamus ilmu ushul fiqih, hakim secara etimologi mempunyai 2 (dua) pengertian:
a.  Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum.
b.  Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan hukum[3].
Dari kedua pengertian tentang definisi hakim diatas baik dari kamus fiqih maupun kamus ushul fiqih dapat disimpulkan bahwa yang namanya hakim adalah orang yang mempunyai kekuasaan penuh untuk menentukan hukum atau suatu aturan. Dalam hukum islam adalah Allah SWT. Allah SWT berhak dan berkuasa penuh untuk menentukan serta membuat suatu hukum bagi alam semesta ini dan tidak ada yang bisa menggugatnya karena Allah pemilik sekaligus hakim di alam semesta ini dan tidak ada syari'at (undang- undang) yang sah melainkan dari Allah SWT. Seperti firman Allah SWT sendiri dalam yang berbunyi:
ان الحكم الا لله يقص الحق وهو خير الفا صلين
Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah SWT. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik.(Qs. Al an’am: 57)
Dan firman Allah yang berbunyi:
وان احكم بينهم بما انزل الله
     “Dan hendaklah kamu mamutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah. . . (Qs. Al Maidah: 49)

Dari ayat di atas dapat di ambil pengertian bahwa hanya Allah SWT adalah satu-satunya “hakim” yang berhak menentukan hukum bagi alam semesta ini yang dalam penyampaian hukum tersebut Allah SWT mengutus para rasulNya untuk disampaikan kepada semua makhluk ciptaan Allah SWT.
2.  Pendapat ulama tentang bagaimana cara mengetahui hukum-hukum Allah SWT
Di antara ulama kaum muslimin tidak ada perkhilafan atau perbedaan tentang siapa hakim yang hakiki. Semua ulama kaum muslimin sependapat bahwa Allah SWT adalah hakim yang hakiki, karena di al qur’an sudah jelas bahwa hanya Allah SWT  yang berhak menetapkan suatu hukum. Hal ini tentu tidak bisa di ganggu gugat oleh siapapun. Tetapi yang menjadi perbedaan atau perkhilafan diantara para ulama kaum muslimin adalah mengenai bagaimana cara mengetahui hukum-hukum Allah SWT. Dalam hal ini para ulama terbagi menjadi 3 (tiga) madzhab:
1). Madzhab Al Asy’ariah
Akal tidak mungkin mengetahui hukum-hukum Allah SWT atas perbuatan mukallaf kecuali dengan perantaraan para rasul dan kitab-kitab Allah SWT. Karena masing-masing akal akan berbeda dengan perbuatan tersebut, sebagian menganggap baik dan sebagian menganggap buruk dan bahkan satu orang saja bisa berbeda dalam memahami satu perbuatan. Sering kali nafsu manusia mengalahkan akalnya sehingga anggapan baik dan buruk itu berdasarkan hawa nafsu. Oleh karena itu tidak mungkin dikatakan “apa yang menurut akal baik maka baik menurut Allah, dan apa yang menurut akal buruk maka buruk menurut Allah”.
2). Madzhab Al Mu’tazilah
Hukum-hukum Allah itu mungkin diketahui secara langsung tanpa perantaraan rasul dan kitab-kitab Allah karena setiap perbuatan manusia itu memiliki sifat yang dapat memberikan pengaruh manfaat atau bahaya sehingga akal dapat menggunakan dasar sifat-sifat perbuatan itu. Apa yang dihasilkan oleh akal berdasarkan manfaat atau bahaya itu dihukumi dengan baik atau buruk dan hukum Allah atas perbuatan hamba itu tergantung pada anggapan akal bermanfaat atau berbahaya. Allah SWT menuntut orang-orang mukallaf untuk melaksanakan perbuatan yang bermanfaat untuk akal juga meninggalakan perbuatan yang berbahaya menurut akal. Apa yang dianggap baik menurut akal maka dituntut oleh Allah dan pelakunya akan diberi pahala, sedangkan yang dianggap buruk oleh akal maka dituntut oleh Allah untuk ditinggalkan dan pelakunya akan disiksa.
3). Madzhab Al Mathuridiah
Pendapat ini bersifat moderat dan netral, dan menurut pendapat pemakalah, madzhab inilah yang unggul. Kesimpulanya perbuatan orang-orang mukallaf itu memiliki ciri-ciri tertentu dan memiliki pengaruh pada baik atau jelek perbuatan itu, sedangkan akal berdasarkan ciri-ciri dan pengaruh ini akan mampu menghukumi bahwa perbuatan itu baik atau jelek. Apa yang oleh akal sehat dianggap baik maka dihukumi baik dan apa yang dianggap oleh akal jelek maka dihukumi jelek. Tetapi hukum-hukum Allah atas perbuatan mukallaf itu tidak boleh ditetapkan baik atau jelek berdasarkan kemampuan akal kita. Karena meskipun akal sudah matang, kadang juga salah, juga karena sebagian perbuatan yang tidak jelas menurut akal maka tidak dapat ditetapkan diantara hukum-hukum Allah dan tidak ditetapkan diantara hukum yang mampu diterima akal. Oleh karena itu tidak ada jalan lain untuk dapat mengetahui hukum-hukum Allah kecuali melalui para Rasul-Nya
3.  Definisi Mahkum Bih
Menurut kamus  ilmu ushul fiqih, mahkum bih adalah perbuatan mukallaf  yang terkait dengan hukum syar’i. Atau objek hukum, yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan titah syar’i (Allah dan Rasul Nya) yang bersifat tuntunan untuk mengerjakan, tuntunan untuk meninggalkan suatu pekerjaan, memilih suatu pekerjaan dan yang bersifat syarat, sabab, mani’, azimah, rukhshah, shah dan bathal[4]. Sedangkan dalam kitab ushulul fiqh adalah perbuatan yang dibebankan kepada orang-orang mukallaf[5]. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa semua orang mukallaf itu wajib menjalankan semua hukum Allah SWT yang telah dibebankan kepada orang-orang mukallaf.


4.  Tuntutan yang sah menurut syara’
Perbuatan yang sah menurut syara’ harus memiliki tiga syarat, yaitu:
a.  Tuntutan perbuatan itu harus diketahui mukallaf secara jelas sehingga ia mampu melaksanakannya secara jelas sehingga ia mampu melaksanakannya sebagaimana yang dituntutkan. Atas dasar ini, nash Al-Qur’an yang masih global, artinya belum jelas maksudnya, tidak sah menurut mukallaf untuk melakukannya kecuali mendapat keterangan dari Rasulullah SAW. Misalnya firman Allah SWT .Al Baqarah ayat 43: Wa aqimush sholata. Dirikanlah shalat. Adalah nash Al-Qur’an yang belum menjelaskan rukun, syarat, dan cara melaksanakannya. Bagaimana seorang mukallaf dituntut melakukan shalat padahal ia tidak tahu rukun, syarat, dan cara melaksanakannya?
b.  Hendaknya diketahui bahwa tuntutan itu keluar dari orang yang punya kekuasaan menuntut dan dari orang yang hukumnya wajib diikuti mukallaf. Karena dengan pengetahuan ini keinginan mukallaf akan mengarah untuk mengikuti tuntutan itu.
c.  Perbuatan yang dibebankan kepada mukallaf harus berupa sesuatu yang mungkin, atau mampu dilakukan atau dihindari oleh mukallaf.
IV.   KESIMPULAN
1). Allah SWT adalah satu-satunya hakim di alam semesta ini yang mana semua hukum itu berasal dari Allah SWT.
2). Semua ulama kaum muslimin sepakat bahwa Allah adalah satu-satunya hakim yang hakiki karena dalilnya sudah jelas seperti firman Allah dalam QS. Al An’am: ayat 57  yang artinya:
…..menetapkan (hukum itu) hanya hak Allah . . .
3). Bahwa semua orang mukallaf itu wajib menjalankan semua hukum Allah SWT yang telah dibebankan kepada orang-orang mukallaf.
4). Suatu perbuatan dapat di bebankan pada seorang mukallaf  jika perbutan tadi memenuhi syarat seperti yang telah disebutkan di atas.
V.    PENUTUP
Demikian apa yang dapat disajikan oleh penulis, semoga dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya. Tentu masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan dalam makalah yang singkat ini, untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan demi penyempurnaan makalah ini.
















DAFTAR PUSTAKA
            Mujib M Abdul, Kamus Istilah Fiqh, PT Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991.
            Kholaf Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, PT Pustaka Amani, Jakarta, 2003.
            Alkhudrobeik Asyyaikh Muhammad, Kitab Ushul Fiqh Ta’liful Marjuum, Daar Al
Fikr, Beirut.
            Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, AMZAH, Jakarta, 2009.





















[1]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta:Pustaka Amani, 2003).hlm.1.

[2] M. Abdul Mujib AS, Mabruri Thalhah, Syafi’ah A.M, Kamus Istilah Fiqih,(Jakarta: PT Pustaka Firdaus,1994),hlm .96.
[3]Totok Jumantoro MA, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih ,(Jakarta: AMZAH,2009)hlm.75.
[4]Ibid,hlm. 185.
[5]Syeh Muhammad  Alkhudoribeik, Ushulul Fiqh Ta’liful Al Marjum, (Beirut: Dar Al Fikr),juz.1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar