DOSA-DOSA
BESAR DAN TAUBAT
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Hadits
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. M.
Erfan Soebahar, M.A.
Disusun oleh:
Anis Ulfatush Shihhah 113211004
Fathur Rozak 113211022
Leni Faizah 113911056
Miftahuddin 113211032
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI WALISONGGO
SEMARANG
2012
I.
PENDAHULUAN
Manusia
mempunyai dua pilihan sebagai tujuan akhir dari kehidupan yang fana ini, syurga
atau neraka. Dan yang menentukan untuk masuk kedalamnya adalah amal perbuatan
manusia semasa hidupnya. Namun kebanyakan manusia melakukan kebaikan dengan
niat ingin masuk ke syurga dan menjauhi dosa atau maksiat dengan alasan takut
akan masuk neraka. Sebenarnya, hakikat ibadah kita atau kita menjauhi dosa itu
tidak lain hanya untuk mendapat keridhoan dari Allah SWT.
Perintah bertaubat berulang-ulang disebutkan didalam beberapa ayat
Al-Qur’an. Perintah yang hukumnya wajib ain, bukan wajib
kifayah, apalagi sunnah. Artinya, setiap manusia di dunia ini tanpa
kecuali harus melaksanakan taubat.
Untuk benar-benar bertaubat, manusia harus berupaya merenung,
bertafakur dan beramal serta menyadari bahwa menjadi orang yang dicintai Allah
itu merupakan sesuatu yang tidak terhingga harga dan nilainya. Hanya Allahlah
yang tahu kegemilangan spiritual dan kesempurnaan sang hamba, dan apa yang akan
menjadi bentuk akhirat dari kecintaan-Nya itu. Dan hanya allah yang tahu
bagaimana perlakuan-Nya terhadap orang-orang yang dicintai-Nya ini.
II.
HADITS
DAN TARJAMAH
A.
Hadits
Abu Hurairah r.a tentang tujuh macam dosa besar.
حَدَّثَنَاعَبْدُالْعَزِيْزِبْنُ عَبْدِاللهِ قَالَ
حَدَّثَنِيْ سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ عَنْ ثَوْرِبْنِ زَيْدِالْمَدَنِيِّ عَنْ اَبِي
الْغَيْثِ عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّي
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اِجْتَنِبُوْاالسَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ قَالُوْايَارَسُوْلَ
اللهِ وَمَاهُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُوَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِيْ
حَرَّمَ اللهُ اِلاَّبِالْحَقِّ وَاَكْلُ الرِّبَاءِوَاَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ وَالتَّوَلِّيْ
يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَدْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ (اخرجه البخاري في كتاب الوصايا) [1]
Menceritakan
kepada kami Abdul Aziz bin Abdullah beliau berkata: menceritakan kepadaku
Sulaiman bin Bilal, dari Tsaur bin Zaid Al Madani, Tsaur dari Abu Ghaits, Abu
Ghaits dari Abu Hurairah, Abu Hurairah dari Rasulullah SAW, Nabi SAW bersabda:
Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan. Sahabat bertanya: Apakah yang tujuh
itu ya rasulullah? Nabi berkata: memperserikatkan sesuatu dengan Allah, sihir,
membunuh orang yang Allah haramkan membunuhnya kecuali dengan jalan yang benar,
makan riba, makan harta-harta anak yatim, lari dari pertempuran, menukas
perempuan-perempuan muhshanah yang beriman yang tidak tahu menahu dengan
perbuatan buruk dengan tukasan itu. (HR. Bukhari)
B.
Hadits
Abu Hurairah tentang Allah gembira terhadap hambanya yang bertaubat
حَدَّثَنِيْ
سُوَيْدُ بْنُ سَعِيْدِحَدَّثَنَاحَفْصُ بْنُ مَيْسَرَةَ حَدَّثَنِيْ زَيْدُ بْنُ
اَسْلَمَ عَنْ اَبِي صَالِحٍ عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّي
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ قَالَ قَالَ اللهُ عَزَّوَجَلَّ اَنَاعِنْدَ ظَنِّ
عَبْدِيْ بِيْ وَاَنَامَعَهُ حَيْثُ يَذْكُرُنِيْ وَاللهِ لَلهُ اَفْرَحُ بِتَوْبَةِعَبْدِهِ
مِنْ اَحَدِكُمْ يَجِدُ ضَالَّتَهُ بِالْفَلَاةِ وَمَنْ تَقَرَّبَ اِلَيَّ شِبْرًاتَقَرَّبْتُ
اِلَيْهِ ذِرَاعًا وَمَنْ تَقَرَّبَ اِلَيَّ ذِرَاعًاتَقَرَّبْتُ اِلَيْهِ بَاعًاوَاِذَااَقْبَلَ
اِلَيَّ يَمْشِيْ اَقْبَلْتُ اِلَيْهِ اُهَرْوِلُ (اخرجه
مسلم في كتا ب التوبة)
[2]
Menceritakan kepadaku Suwaid bin Said, Menceritakan kepada kami
Hafsah bin Maesarah, menceritakan kepadaku Zaid bin Aslam, dari Abu Shalih, Abu
Shalih dari Abu Hurairah, Abu Hurairah dari Rasulullah SAW, Nabi SAW bersabda: Allah SWT berfirman, Sesungguhnya Aku adalah sesuai
dengan prasangka hamba terhadap-Ku, dan aku bersamanya saat dia mengingat-Ku.
Demi Allah, sesungguhnya Allah lebih bahagia dengan taubat salah seorang di
antara kalian daripada orang yang mendapati kesesatannya di padang pasir. Barangsiapa
mendekati-Ku sejengkal bumi, maka aku akan mendekatinya sejauh satu hasta.
Barangsiapa mendekati-Ku sejauh satu hasta, maka Aku akan mendekatinya sejauh
satu depa. Jika dia mendekati-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendekatinya
dengan berlari kecil. (HR. Muslim)
III. PEMBAHASAN
A. Hadits Abu Hurairah r.a tentang Tujuh Macam Dosa Besar
Hadits
dari Abu Hurairah memiliki urutan sanad antara lain: Abdul Aziz bin Abdullah
mendapat berita dari Sulaiman bin Bilal, Sulaiman mendapat berita dari Tsaur
bin Zaid Al Madani, Tsaur mendapat berita dari Abu Ghaits, Abu Ghaits mendapat
berita dari Abu Hurairah, Abu Hurairah mendapat berita dari Rasulullah SAW.
Hadits ini diriwayatkan oleh imam Bukhari.
Hadits
ini menjelaskan tentang sebuah pesan Rasulullah kepada seluruh umatnya agar selalu
menjaga diri dan berusaha sekuat tenaga untuk menghindari dan menjauhi
dosa-dosa besar yang dapat menyebabkan kerusakan dan kehancuran.
Az-Zahaby
berkata: “Dosa besar ialah dosa yang dikenakan had atas yang mengerjakannya,
atau disertai ancaman atau kutukan, atau syara’ melepaskan diri daripadanya,
atau mengatakan bahwa orang yang melakukan itu bukan dari kami, atau meniadakan
iman dari yang mengerjakannya”.[3]
Abu
Muhammad ibn Abdis Salam dalam kitab Al-Qawaid berkata: “Apabila anda
ingin mengetahui perbedaan antara dosa kecil dengan dosa besar maka lihatlah
kerusakan-kerusakan yang dihasilkan antara keduanya”.
1.
Syirik
Syirik adalah menyamakan selain Allah dengan Allah pada perkara
yang merupakan hak istimewa-Nya. Hak istimewa Allah seperti: Ibadah, mencipta,
mengatur, memberi manfaat dan mudharat, membuat hukum dan syariat dan lain-lainnya.Yang
dimaksud dengan ibadah adalah semua amal perbuatan lahir maupun batin yang
diridhai dan dicintai oleh Allah.[4]
Contoh-contoh ibadah seperti: Do'a, menyembelih hewan kurban,
nadzar, ruku', sujud, al-mahabbah (kecintaan), al-khauf (rasa
takut), tawakkal , istighatsah (minta pertolongan disaat kesusahan), isti'adzah
(meminta perlindungan) dan lain-lainnya. Dari sini jelaslah, bahwa hakikat
syirik adalah memalingkan ibadah dan hak istimewa Allah yang lainnya kepada
selain Allah, baik kepada nabi, malaikat, wali dan lain-lainnya. Ataupun kepada
benda mati seperti bebatuan, pepohonan dan lain-lainnya.
Syirik secara umum terbagi menjadi dua, yaitu:
a.
Syirik
Akbar (syirik besar)
Syirik Akbar adalah syirik yang mengakibatkan pelakunya ke luar
dari agama Islam, serta kekal selama-lamanya dalam neraka bila tidak taubat
darinya. Hakikat syirik akbar adalah memalingkan salah satu jenis ibadah kepada
selain Allah.
Seperti memohon kepada selain Allah, menyembelih hewan kurban yang
ditujukan untuk selain Allah, bernadzar untuk selain Allah, meminta hujan
kepada pawang, meminta penyembuhan kepada dukun dengan keyakinan dukun itulah
yang menyembuhkannya, mengaku-ngaku mengetahui perkara ghaib dan lain-lainnya.
b.
Syirik
Ashghar (Syirik Kecil)
Syirik Ashghar adalah syirik yang tidak mengeluarkan pelakunya dari
agama Islam, hanya mengurangi nilai tauhid. Namun merupakan dosa besar yang
dapat menghantarkan kepada syirik akbar, seperti riya dan lainnya.[5]
2.
Pembunuhan
Mengenai
pembunuhan yang dimaksudkan dalam hadits ini ialah membunuh jiwa yang tidak
boleh dibunuh. Masuk kedalamnya. membunuh kafir mu’ahid (orang yang ada
perjanjian damai dengan kita).[6]Dengan
demikian, Para Ulama telah mengelompokkan pembunuhan kepada dua bentuk yaitu pembunuhan
yang dibenarkan dan pembunuhan yang tidak dibenarkan.[7]
1) Pembunuhan
yang Dibenarkan (Al-Qatl bi Al-Haqq)
Pembunuhan
yang dibenarkan (al-qatl bi al-haqq) adalah bentuk pembunuhan yang
diperintahkan oleh Allah. Oleh sebab itu, pembunuhan tersebut tidak
mengakibatkan dosa. Misalnya, pembunuhan yang dilakukan dalam peperangan dan
pembunuhan orang dalam rangka melaksanakan eksekusi pengadilan oleh algojo atas
suatu tindak pidana.
2) Pembunuhan
yang Tidak Dibenarkan (Qatl Ghair Al-Haqq)
Pembunuhan
yang tidak dibenarkan (qatl ghair al-haqq) adalah bentuk pembunuhan yang
dilarang oleh Allah dan pelakunya mendapat hukuman tertentu baik di dunia maupun
akhirat. Mengingat ancaman hukuman atas pembunuhan yang tidak dibenarkan ini
begitu berat, maka para ulama memilah-milah bentuk pembunuhan ini menjadi
beberapa jenis: (a) pembunuhan sengaja (qatlu al-‘amd), (b) pembunuhan
tidak sengaja (qatlu al-khatha), (c) pembunuhan semi sengaja (qatlu
syibh al-‘amd), (d) pembunuhan semi kesalahan (qatlu syibh al-khatha).
a.
Pembunuhan
Sengaja (Qatlu Al-‘Amd)[8]
Pembunuhan
sengaja (qatlu al-‘amd) adalah pembunuhan yang mengandung unsur
kesengajaan dalam bertindak, kesengajaan dalam sasaran, kesengajaan dalam alat
yang digunakan. Misalnya, membunuh seseorang dengan menggunakan senjata api
sampai mati. Sedangkan yang menyangkut alat bukti lain dapat berupa pengakuan
atau kesaksian.
b.
Pembunuhan tidak
Sengaja (Qatlu Al-Khatha)[9]
Pembunuhan
tidak sengaja (qatlu al-khatha) yaitu pembunuhan yang tidak terdapat
unsur kesengajaan dalam berbuat. Misalnya, tidak sengaja menembak atau sengaja
menembak burung tetapi yang terkena adalah orang.
c.
Pembunuhan Semi
Sengaja (Qatlu Syibh Al-‘Amd)
Pembunuhan
semi sengaja (qatlu syibh al-‘amd) yaitu pembunuhan yang padanya
terdapat unsur kesengajaan dalam berbuat dan kesengajaan dalam sasaran, namun
tidak ada kesengajaan dalam alat yang digunakan. Misalnya si pelaku pembunuhan
hanya menggunakan tongkat tetapi akibatnya adalah kematian korban.
d.
Pembunuhan Semi
Kesalahan (Qatlu Syibh Al-Khatha)
Pembunuhan
semi kesalahan (qatlu syibh al-khatha) yaitu pembunuhan yang tidak
sengaja dilakukan sama sekali. Misalnya seseorang yang jatuh dari tempat tidur
tingkat (atas) menimpa anak kecil yang tidur di tingkat bawahnya yang
menyebabkan kematian anak tersebut.
3.
Riba
Secara
bahasa riba berarti bertambah atau berbunga. Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud
dengan riba menurut Al-Mali ialah:[10]
عَقْدٌوَاقِعٌ
عَلَى عِوَضٍ مَخْصُوْصٍ غَيْرَمَعْلُوْمِ التَّمَاثُلِ فِيْ مِعْيَارِالشَّرْعِ حَالَةَ
الْعَقْدِ اَوْمَعَ تَاءْخِيْرٍفِيْ الْبَدَلَيْنِ اَوْاَحَدِهِمَا
“Akad yang terjadi atas
penukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangannya menurut ukuran syara’,
ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah
satu keduanya”.
Menurut Ibn Al-Jauziyah dalam kitab I’lam al-Muaqqi’in
‘an Rabbal ‘Alamin riba dibagi menjadi dua bagian, yaitu riba jali
dan riba khafi. Riba jali sama dengan riba nasiah
dan riba khafi merupakan jalan yang menyampaikan kepada riba jali.
Riba fadhli ialah berlebih salah satu dari dua pertukaran yang diperjualbelikan
sejenis, berlebih timbangannya pada barang-barang yang ditimbang, berlebih
takarannya pada barang-barang yang ditakar dan berlebihan ukurannya pada
barang-barang yang diukur. Riba nasiah ialah riba yang pembayarannya
atau penukarannya berlipat ganda karena waktunya diundurkan. Riba ini yang
masyhur dikalangan jahiliyah menurut Ibnu Hajra Al-Makki.
4.
Memakan
Harta Anak Yatim
Allah
sudah sangat jelas sekali melarang dan mengancam dalam kitab suci-Nya bahwa memakan
harta anak yatim secara zalim adalah sebuah dosa besar. Adapun dalam hal makan
harta anak yatim dengan cara yang baik itu ada empat pendapat:
a. Boleh
mengambil harta anak yatim itu tetapi dengan cara meminjamnya.
b. Boleh
makan sekedar memenuhi kebutuhan saja, tidak boleh lebih (artinya dalam jumlah
terbatas atau sedikit).
c. Boleh
mengambil sekedar ongkos kerja, kalau dia mengurusi harta anak yatim tersebut.
d. Wali
tersebut boleh mengambilnya, jika dalam keadaan terpaksa. Tetapi jika telah
mampu maka dia wajib mengembalikannya dan jika dia tidak mempunyai maka hal itu
dihalalkan.[11]
5.
Lari
dari Perang
Lari
dan membelakangi musuh (orang kafir) di waktu peperangan telah berkecamuk
dianggap suatu dosa besar. Hal ini bila meninggalkan medan perang bukan
dikarenakan menggabungkan diri kepada
barisan sendiri dan bukan karena mencari perlindungan untuk melanjutkan
peperangan.[12]
6.
Menuduh
Zina
Dalam
hukum Islam, tuduhan itu ada dua macam, yaitu tuduhan zina yang diancam dengan
had, dan tuduhan selain zina yang diancam dengan takzir.[13]
Sasaran
Islam mengharamkan qadhaf adalah untuk melindungi kehormatan manusia,
menjaga reputasinya dan memelihara kemuliaannya. Dengan demikian, bertambahnya
orang-orang yang bermaksud melukai perasaan dan menginjak-injak kehormatan
manusia lain dapat dicegah.[14]
Bagi
qadhif (pelaku qadhaf) baik laki-laki maupun perempuan, bila ia
tidak dapat mendatangkan empat orang saksi yang menguatkan bahwa si tertuduh
benar-benar melakukan zina, maka ia dihukumi dera delapan puluh kali. Di
samping menerima hukuman dera, persaksiannya tak dapat diterima selama-lamanya,
ia dihukumi sebagai orang fasik, terkutuk, tertolak dari kasih sayang Allah dan
yang berhak menerima azab yag pedih di dunia dan akhirat.
Untuk
menjatuhkan dera dalam qadhaf terdapat syarat-syarat yang harus ada. syarat-syarat
tersebut meliputi tiga hal, yaitu:
1.
Syarat-syarat
yang harus ada pada qadhif (yang menuduh zina)
a.
Berakal
b.
Dewasa
c.
Dalam keadaan
ikhtiar, yakni tidak dipaksa oleh pihak lain
2.
Syarat-syarat
yang harus ada pada maqdhuf (yang dituduh zina)
a.
Berakal
b.
Dewasa
c.
Islam
d.
Merdeka
e.
Belum pernah dan
menjauhi zina
3.
Syarat-syarat
yang harus ada pada maqdhuf bih (sesuatu yang dibuat menuduh zina)
Segala
pernyataan, baik berupa lisan maupun tulisan yang dapat dikategorikan tuduhan
zina adalah:
a.
Pernyataan
dengan kata-kata yang jelas, seperti panggilan: hai orang yang berzina, atau
kata-kata yang dianggap jelas, seperti: hai kamu lahir tanpa bapak.
b.
Pernyataan
dengan kata-kata sindiran yang jelas arahnya. Misalnya ada dua orang yang
bertengkar kemudian yang satu bilang: biarpun aku jelek seperti ini tapi aku
tak pernah berbuat zina dan ibuku juga tak pernah berbuat zina. Pernyataan
seperti ini merupakan sindiran yang dianggap menuduh zina kepada lawannya dan
kepada ibu lawannya.[15]
7.
Sihir
Sihir
dalam bahasa ialah memalingkan sesuatu dari hakikatnya atau sesuatu yang
bersembunyi dan yang halus sekali sebabnya. Demikianlah pendapat Ibnu Katsir. Abu
Muhammad Al Maqdisy Dalam kitab Al-Kafi berkata: “Sihir ialah
jimat-jimat, jampi-jampi dan pintalan-pintalan benang yang mempengaruhi jiwa
dan tubuh, menyakiti, membunuh, atau menceraikan seseorang dari yang lain”.[16]
Para
ulama berselisih paham tentang orang yang mempelajari sihir dan
mempergunakannya. Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad berkata: “Orang yang
mempelajari sihir dan memepergunakannya dianggap kafir”. Di antara
pengikut-pengikut Abu Hanifah ada yang berkata: “Mempelajari sihir untuk
memelihara diri atau untuk menjauhkannya tidak mengkafirkan. Tetapi orang yang
mempelajarinya dengan iktikad bahwa sihir itu memberi manfaat dianggap kafir.
Asy-
Syafi’i berkata: “Apabila seseorang mempelajari sihir, hendaklah kita suruh dia
menerangkan kepada kita sifat dari sihir yang dipelajarinya. Kalau sifat
sihirnya berakibat dia menjadi kafir seperti mendekatkan diri kepada bintang
tujuh dan beriktikad bahwa bintang-bintang itu menghasilkan apa yang
dihasilkannya, menjadi kafirlah orang itu. Jika tidak ada yang mengakibatkan kekafiran
namun jika diiktikadkan bahwa perbuatan itu mubah, dia juga menjadi kafir”[17]
C.
Hadits
Abu Hurairah tentang Allah gembira terhadap hambanya yang bertaubat
Hadits
dari Abu Hurairah memiliki urutan sanad antara lain: Suwaid bin Said mendapat
berita dari Hafsah bin Maesarah, Hafsah mendapat berita dari Zaid bin Aslam,
Zaid dari Abu Shalih, Abu Shalih dari Abu Hurairah, Abu Hurairah mendapat
berita dari Rasulullah SAW. Hadits ini diriwayatkan oleh imam Bukhari.
Firman Allah dalam hadis di atas“Aku
adalah sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku,” berarti
diberikannya ampunan untuknya jika dia memohon ampunan, atau diterimanya
dirinya apabila dia bertaubat, dengan terkabulnya permintaan jika dia berdoa,
dan dengan kecukupan jika dia meminta.
Dalam hadis qudsi ini ada tamsil
yang sangat mengagumkan, seakan firman ini menunjukkan pada sesuatu yang
dikagumi banyak orang. Persangkaan ini diumpamakan sebuah jalan yang anda
lewati. Jika anda meramaikan jalan ini dengan taubat, kembali kepada Allah, dan
mencari ampunan, maka di akhir jalan ini anda akan menjumpai ampunan dan ridha
Allah, kemudian anda akan mendapatkan surga-Nya. Persangkaan ini adalah murni
keyakinan akan Allah. Namun jika manusia meramaikan jalan yang dilewatinya ini
dengan hawa nafsu dan maksiat, maka dia akan berjumpa Tuhannya di akhir
jalannya dengan mendapatkan kerugian, kemurkaan, kebinasaan, dan api neraka.
IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
Kita sebagai seorang muslim yang taat dan
patuh terhadap syariat Islam haruslah mampu untuk tidak menodai keimanan yang
ada dalam diri kita dengan melakukan perbuatan dosa besar. Namun demikian,
manusia terkadang lalai karena manusia diciptakan dengan akal dan nafsu juga
tidak luput syetan yang akan selalu menggoda dan membujuk manusia ke jalan yang
sesat.
Ketika manusia melakukan suatu perbuatan buruk, secara otomatis
sebuah titik hitam mewarnai hatinya. semakin ia melakukan perbuatan dosa,
semakin meningkat pula jumlah kadar hitam dan kegelapan pada hatinya, hingga
titik hitam dan kegelapan itu menyelimuti seluruh hatinya, hingga hati
benar-benar gelap gulita. Cahaya fitrah pun menjadi padam dan berubah sampai
pada suatu kesengsaraan yang abadi. Namun, apabila manusia sadar akan apa yang
dialaminya itu sebelum terjadinya kegelapan total yang menyelimuti hatinya,
kemudian ia bangkit dari kelalaiannya, disertai dengan langkah menuju tobat,
sambil melengkapi syarat-syarat terkabulnya tobat tersebut maka kegelapan yang
menyelimuti hatinya serta merta akan menjadi hilang dan kembali keadaan semula.
Seakan-akan keadaannya berbalik seketika menjadi lembaran-lembaran yang kosong
dari kebaikan dan keburukan.
B.
Penutup
Demikianlah
makalah yang dapat kami susun, Kami menyadari bahwa masih terdapat banyak
kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah
ini bermanfaat bagi kami sendiri dan para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bukhari,
Abu Abdullah Muhammad Bin Ismail, Shahih Bukhari Juz 2, Istambul: Darul
Fikr, 1981.
Al-Hajaj, Abu Husain Muslim Bin, Shahih Muslim Juz
2, Libanon: Darul Kutub Al-Alamiyah, 1971.
Hamidy, Mu’amal dkk,
Dosa-Dosa Besar, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993.
Al-Jauzi,
Ibn, Shahih Bukhari ma’a kasyfil Misykil
Juz 4, Qahirah: Darul Hadits, 2008.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah Juz 9,
Bandung: PT. Alma’arif, 1984.
Saleh, Hassan,
dkk, Kajian Fiqih Nabawi dan Fiqih Kontemporer, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2008.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Mutiara
Hadits 1, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002.
Suhendi, Hendi, Fiqih Mu’amalat, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
[1] Abu
Abdullah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari Juz 2, (Istambul: Darul Fikr, 1981), hlm. 415.
[2] Abu Husain
Muslim Bin Al-Hajaj, Shahih Muslim Juz 2, (Libanon: Darul Kutub
Al-Alamiyah, 1971), hlm. 489.
[3] Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Mutiara Hadits 1, (Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 2002), hlm. 188.
[7] Hassan Saleh,
dkk, Kajian Fiqih Nabawi dan Fiqih Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2008), hlm. 425.
[11] Mu’amal Hamidy,
dkk, Dosa-Dosa Besar, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993), hlm. 108.
[12] Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Mutiara Hadits 1, (Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 2002), hlm. 108.
[13]
Hassan Saleh, dkk, Kajian Fiqih Nabawi dan Fiqih Kontemporer, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 442.
[14]
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah juz 9, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1984), hlm.
152.
[16] Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Mutiara Hadits 1, (Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 2002), hlm. 182.
[17] Ibnu Al-Jauzi, Shahih Bukhari ma’a kasyfil Misykil Juz 4, (Qahirah:
Darul Hadits, 2008), hlm. 77.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar