Coretan-coretan sang Mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang......

Selasa, 25 Februari 2014

Dosa-Dosa Besar dan Taubat

DOSA-DOSA BESAR DAN TAUBAT

Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Hadits
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. M. Erfan Soebahar, M.A.



Disusun oleh:
Anis Ulfatush Shihhah 113211004
Fathur Rozak               113211022
Leni Faizah                  113911056
Miftahuddin                 113211032


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGGO
SEMARANG
2012


I.          PENDAHULUAN
Manusia mempunyai dua pilihan sebagai tujuan akhir dari kehidupan yang fana ini, syurga atau neraka. Dan yang menentukan untuk masuk kedalamnya adalah amal perbuatan manusia semasa hidupnya. Namun kebanyakan manusia melakukan kebaikan dengan niat ingin masuk ke syurga dan menjauhi dosa atau maksiat dengan alasan takut akan masuk neraka. Sebenarnya, hakikat ibadah kita atau kita menjauhi dosa itu tidak lain hanya untuk mendapat keridhoan dari Allah SWT.
Perintah bertaubat berulang-ulang disebutkan didalam beberapa ayat Al-Qur’an. Perintah yang hukumnya wajib ain, bukan wajib kifayah, apalagi sunnah.  Artinya, setiap manusia di dunia ini tanpa kecuali harus melaksanakan taubat. 
Untuk benar-benar bertaubat, manusia harus berupaya merenung, bertafakur dan beramal serta menyadari bahwa menjadi orang yang dicintai Allah itu merupakan sesuatu yang tidak terhingga harga dan nilainya. Hanya Allahlah yang tahu kegemilangan spiritual dan kesempurnaan sang hamba, dan apa yang akan menjadi bentuk akhirat dari kecintaan-Nya itu.  Dan hanya allah yang tahu bagaimana perlakuan-Nya terhadap orang-orang yang dicintai-Nya ini.

II.          HADITS DAN TARJAMAH
A.       Hadits Abu Hurairah r.a tentang tujuh macam dosa besar.
حَدَّثَنَاعَبْدُالْعَزِيْزِبْنُ عَبْدِاللهِ قَالَ حَدَّثَنِيْ سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ عَنْ ثَوْرِبْنِ زَيْدِالْمَدَنِيِّ عَنْ اَبِي الْغَيْثِ عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اِجْتَنِبُوْاالسَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ قَالُوْايَارَسُوْلَ اللهِ وَمَاهُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُوَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِيْ حَرَّمَ اللهُ اِلاَّبِالْحَقِّ وَاَكْلُ الرِّبَاءِوَاَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ وَالتَّوَلِّيْ يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَدْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ (اخرجه البخاري في كتاب الوصايا)                                               [1]
Menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Abdullah beliau berkata: menceritakan kepadaku Sulaiman bin Bilal, dari Tsaur bin Zaid Al Madani, Tsaur dari Abu Ghaits, Abu Ghaits dari Abu Hurairah, Abu Hurairah dari Rasulullah SAW, Nabi SAW bersabda: Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan. Sahabat bertanya: Apakah yang tujuh itu ya rasulullah? Nabi berkata: memperserikatkan sesuatu dengan Allah, sihir, membunuh orang yang Allah haramkan membunuhnya kecuali dengan jalan yang benar, makan riba, makan harta-harta anak yatim, lari dari pertempuran, menukas perempuan-perempuan muhshanah yang beriman yang tidak tahu menahu dengan perbuatan buruk dengan tukasan itu. (HR. Bukhari)

B.       Hadits Abu Hurairah tentang Allah gembira terhadap hambanya yang bertaubat
حَدَّثَنِيْ سُوَيْدُ بْنُ سَعِيْدِحَدَّثَنَاحَفْصُ بْنُ مَيْسَرَةَ حَدَّثَنِيْ زَيْدُ بْنُ اَسْلَمَ عَنْ اَبِي صَالِحٍ عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ قَالَ قَالَ اللهُ عَزَّوَجَلَّ اَنَاعِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ وَاَنَامَعَهُ حَيْثُ يَذْكُرُنِيْ وَاللهِ لَلهُ اَفْرَحُ بِتَوْبَةِعَبْدِهِ مِنْ اَحَدِكُمْ يَجِدُ ضَالَّتَهُ بِالْفَلَاةِ وَمَنْ تَقَرَّبَ اِلَيَّ شِبْرًاتَقَرَّبْتُ اِلَيْهِ ذِرَاعًا وَمَنْ تَقَرَّبَ اِلَيَّ ذِرَاعًاتَقَرَّبْتُ اِلَيْهِ بَاعًاوَاِذَااَقْبَلَ اِلَيَّ يَمْشِيْ اَقْبَلْتُ اِلَيْهِ اُهَرْوِلُ (اخرجه مسلم في كتا ب التوبة) [2]                                  
Menceritakan kepadaku Suwaid bin Said, Menceritakan kepada kami Hafsah bin Maesarah, menceritakan kepadaku Zaid bin Aslam, dari Abu Shalih, Abu Shalih dari Abu Hurairah, Abu Hurairah dari Rasulullah SAW, Nabi SAW bersabda: Allah SWT berfirman, Sesungguhnya Aku adalah sesuai dengan prasangka hamba terhadap-Ku, dan aku bersamanya saat dia mengingat-Ku. Demi Allah, sesungguhnya Allah lebih bahagia dengan taubat salah seorang di antara kalian daripada orang yang mendapati kesesatannya di padang pasir. Barangsiapa mendekati-Ku sejengkal bumi, maka aku akan mendekatinya sejauh satu hasta. Barangsiapa mendekati-Ku sejauh satu hasta, maka Aku akan mendekatinya sejauh satu depa. Jika dia mendekati-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendekatinya dengan berlari kecil. (HR. Muslim)

III.     PEMBAHASAN
A.       Hadits Abu Hurairah r.a tentang Tujuh Macam Dosa Besar
Hadits dari Abu Hurairah memiliki urutan sanad antara lain: Abdul Aziz bin Abdullah mendapat berita dari Sulaiman bin Bilal, Sulaiman mendapat berita dari Tsaur bin Zaid Al Madani, Tsaur mendapat berita dari Abu Ghaits, Abu Ghaits mendapat berita dari Abu Hurairah, Abu Hurairah mendapat berita dari Rasulullah SAW. Hadits ini diriwayatkan oleh imam Bukhari.
Hadits ini menjelaskan tentang sebuah pesan Rasulullah kepada seluruh umatnya agar selalu menjaga diri dan berusaha sekuat tenaga untuk menghindari dan menjauhi dosa-dosa besar yang dapat menyebabkan kerusakan dan kehancuran.
Az-Zahaby berkata: “Dosa besar ialah dosa yang dikenakan had atas yang mengerjakannya, atau disertai ancaman atau kutukan, atau syara’ melepaskan diri daripadanya, atau mengatakan bahwa orang yang melakukan itu bukan dari kami, atau meniadakan iman dari yang mengerjakannya”.[3]
Abu Muhammad ibn Abdis Salam dalam kitab Al-Qawaid berkata: “Apabila anda ingin mengetahui perbedaan antara dosa kecil dengan dosa besar maka lihatlah kerusakan-kerusakan yang dihasilkan antara keduanya”.
1.        Syirik
Syirik adalah menyamakan selain Allah dengan Allah pada perkara yang merupakan hak istimewa-Nya. Hak istimewa Allah seperti: Ibadah, mencipta, mengatur, memberi manfaat dan mudharat, membuat hukum dan syariat dan lain-lainnya.Yang dimaksud dengan ibadah adalah semua amal perbuatan lahir maupun batin yang diridhai dan dicintai oleh Allah.[4]
Contoh-contoh ibadah seperti: Do'a, menyembelih hewan kurban, nadzar, ruku', sujud, al-mahabbah (kecintaan), al-khauf (rasa takut), tawakkal , istighatsah (minta pertolongan disaat kesusahan), isti'adzah (meminta perlindungan) dan lain-lainnya. Dari sini jelaslah, bahwa hakikat syirik adalah memalingkan ibadah dan hak istimewa Allah yang lainnya kepada selain Allah, baik kepada nabi, malaikat, wali dan lain-lainnya. Ataupun kepada benda mati seperti bebatuan, pepohonan dan lain-lainnya.
Syirik secara umum terbagi menjadi dua, yaitu:
a.         Syirik Akbar (syirik besar)
Syirik Akbar adalah syirik yang mengakibatkan pelakunya ke luar dari agama Islam, serta kekal selama-lamanya dalam neraka bila tidak taubat darinya. Hakikat syirik akbar adalah memalingkan salah satu jenis ibadah kepada selain Allah.
Seperti memohon kepada selain Allah, menyembelih hewan kurban yang ditujukan untuk selain Allah, bernadzar untuk selain Allah, meminta hujan kepada pawang, meminta penyembuhan kepada dukun dengan keyakinan dukun itulah yang menyembuhkannya, mengaku-ngaku mengetahui perkara ghaib dan lain-lainnya.
b.        Syirik Ashghar (Syirik Kecil)
Syirik Ashghar adalah syirik yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, hanya mengurangi nilai tauhid. Namun merupakan dosa besar yang dapat menghantarkan kepada syirik akbar, seperti riya dan lainnya.[5]
2.        Pembunuhan
Mengenai pembunuhan yang dimaksudkan dalam hadits ini ialah membunuh jiwa yang tidak boleh dibunuh. Masuk kedalamnya. membunuh kafir mu’ahid (orang yang ada perjanjian damai dengan kita).[6]Dengan demikian, Para Ulama telah mengelompokkan pembunuhan kepada dua bentuk yaitu pembunuhan yang dibenarkan dan pembunuhan yang tidak dibenarkan.[7]
1)      Pembunuhan yang Dibenarkan (Al-Qatl bi Al-Haqq)
Pembunuhan yang dibenarkan (al-qatl bi al-haqq) adalah bentuk pembunuhan yang diperintahkan oleh Allah. Oleh sebab itu, pembunuhan tersebut tidak mengakibatkan dosa. Misalnya, pembunuhan yang dilakukan dalam peperangan dan pembunuhan orang dalam rangka melaksanakan eksekusi pengadilan oleh algojo atas suatu tindak pidana.
2)      Pembunuhan yang Tidak Dibenarkan (Qatl Ghair Al-Haqq)
Pembunuhan yang tidak dibenarkan (qatl ghair al-haqq) adalah bentuk pembunuhan yang dilarang oleh Allah dan pelakunya mendapat hukuman tertentu baik di dunia maupun akhirat. Mengingat ancaman hukuman atas pembunuhan yang tidak dibenarkan ini begitu berat, maka para ulama memilah-milah bentuk pembunuhan ini menjadi beberapa jenis: (a) pembunuhan sengaja (qatlu al-‘amd), (b) pembunuhan tidak sengaja (qatlu al-khatha), (c) pembunuhan semi sengaja (qatlu syibh al-‘amd), (d) pembunuhan semi kesalahan (qatlu syibh al-khatha).
a.         Pembunuhan Sengaja (Qatlu Al-‘Amd)[8]
Pembunuhan sengaja (qatlu al-‘amd) adalah pembunuhan yang mengandung unsur kesengajaan dalam bertindak, kesengajaan dalam sasaran, kesengajaan dalam alat yang digunakan. Misalnya, membunuh seseorang dengan menggunakan senjata api sampai mati. Sedangkan yang menyangkut alat bukti lain dapat berupa pengakuan atau kesaksian.
b.         Pembunuhan tidak Sengaja (Qatlu Al-Khatha)[9]
Pembunuhan tidak sengaja (qatlu al-khatha) yaitu pembunuhan yang tidak terdapat unsur kesengajaan dalam berbuat. Misalnya, tidak sengaja menembak atau sengaja menembak burung tetapi yang terkena adalah orang.
c.         Pembunuhan Semi Sengaja (Qatlu Syibh Al-‘Amd)
Pembunuhan semi sengaja (qatlu syibh al-‘amd) yaitu pembunuhan yang padanya terdapat unsur kesengajaan dalam berbuat dan kesengajaan dalam sasaran, namun tidak ada kesengajaan dalam alat yang digunakan. Misalnya si pelaku pembunuhan hanya menggunakan tongkat tetapi akibatnya adalah kematian korban.
d.        Pembunuhan Semi Kesalahan (Qatlu Syibh Al-Khatha)
Pembunuhan semi kesalahan (qatlu syibh al-khatha) yaitu pembunuhan yang tidak sengaja dilakukan sama sekali. Misalnya seseorang yang jatuh dari tempat tidur tingkat (atas) menimpa anak kecil yang tidur di tingkat bawahnya yang menyebabkan kematian anak tersebut.
3.        Riba
Secara bahasa riba berarti bertambah atau berbunga. Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba menurut Al-Mali ialah:[10]
عَقْدٌوَاقِعٌ عَلَى عِوَضٍ مَخْصُوْصٍ غَيْرَمَعْلُوْمِ التَّمَاثُلِ فِيْ مِعْيَارِالشَّرْعِ حَالَةَ الْعَقْدِ اَوْمَعَ تَاءْخِيْرٍفِيْ الْبَدَلَيْنِ اَوْاَحَدِهِمَا                                                                          
“Akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangannya menurut ukuran syara’, ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu keduanya”.

Menurut Ibn Al-Jauziyah dalam kitab I’lam al-Muaqqi’in ‘an Rabbal ‘Alamin riba dibagi menjadi dua bagian, yaitu riba jali dan riba khafi. Riba jali sama dengan riba nasiah dan riba khafi merupakan jalan yang menyampaikan kepada riba jali. Riba fadhli ialah berlebih salah satu dari dua pertukaran yang diperjualbelikan sejenis, berlebih timbangannya pada barang-barang yang ditimbang, berlebih takarannya pada barang-barang yang ditakar dan berlebihan ukurannya pada barang-barang yang diukur. Riba nasiah ialah riba yang pembayarannya atau penukarannya berlipat ganda karena waktunya diundurkan. Riba ini yang masyhur dikalangan jahiliyah menurut Ibnu Hajra Al-Makki. 
4.        Memakan Harta Anak Yatim
Allah sudah sangat jelas sekali melarang dan mengancam dalam kitab suci-Nya bahwa memakan harta anak yatim secara zalim adalah sebuah dosa besar. Adapun dalam hal makan harta anak yatim dengan cara yang baik itu ada empat pendapat:
a.       Boleh mengambil harta anak yatim itu tetapi dengan cara meminjamnya.
b.      Boleh makan sekedar memenuhi kebutuhan saja, tidak boleh lebih (artinya dalam jumlah terbatas atau sedikit).
c.       Boleh mengambil sekedar ongkos kerja, kalau dia mengurusi harta anak yatim tersebut.
d.      Wali tersebut boleh mengambilnya, jika dalam keadaan terpaksa. Tetapi jika telah mampu maka dia wajib mengembalikannya dan jika dia tidak mempunyai maka hal itu dihalalkan.[11]
5.        Lari dari Perang
Lari dan membelakangi musuh (orang kafir) di waktu peperangan telah berkecamuk dianggap suatu dosa besar. Hal ini bila meninggalkan medan perang bukan dikarenakan  menggabungkan diri kepada barisan sendiri dan bukan karena mencari perlindungan untuk melanjutkan peperangan.[12]
6.        Menuduh Zina
Dalam hukum Islam, tuduhan itu ada dua macam, yaitu tuduhan zina yang diancam dengan had, dan tuduhan selain zina yang diancam dengan takzir.[13]
Sasaran Islam mengharamkan qadhaf adalah untuk melindungi kehormatan manusia, menjaga reputasinya dan memelihara kemuliaannya. Dengan demikian, bertambahnya orang-orang yang bermaksud melukai perasaan dan menginjak-injak kehormatan manusia lain dapat dicegah.[14]
Bagi qadhif (pelaku qadhaf) baik laki-laki maupun perempuan, bila ia tidak dapat mendatangkan empat orang saksi yang menguatkan bahwa si tertuduh benar-benar melakukan zina, maka ia dihukumi dera delapan puluh kali. Di samping menerima hukuman dera, persaksiannya tak dapat diterima selama-lamanya, ia dihukumi sebagai orang fasik, terkutuk, tertolak dari kasih sayang Allah dan yang berhak menerima azab yag pedih di dunia dan akhirat.
Untuk menjatuhkan dera dalam qadhaf terdapat syarat-syarat yang harus ada. syarat-syarat tersebut meliputi tiga hal, yaitu:
1.        Syarat-syarat yang harus ada pada qadhif (yang menuduh zina)
a.         Berakal
b.         Dewasa
c.         Dalam keadaan ikhtiar, yakni tidak dipaksa oleh pihak lain
2.        Syarat-syarat yang harus ada pada maqdhuf (yang dituduh zina)
a.         Berakal
b.         Dewasa
c.         Islam
d.        Merdeka
e.         Belum pernah dan menjauhi zina
3.        Syarat-syarat yang harus ada pada maqdhuf bih (sesuatu yang dibuat menuduh zina)
Segala pernyataan, baik berupa lisan maupun tulisan yang dapat dikategorikan tuduhan zina adalah:
a.          Pernyataan dengan kata-kata yang jelas, seperti panggilan: hai orang yang berzina, atau kata-kata yang dianggap jelas, seperti: hai kamu lahir tanpa bapak.
b.          Pernyataan dengan kata-kata sindiran yang jelas arahnya. Misalnya ada dua orang yang bertengkar kemudian yang satu bilang: biarpun aku jelek seperti ini tapi aku tak pernah berbuat zina dan ibuku juga tak pernah berbuat zina. Pernyataan seperti ini merupakan sindiran yang dianggap menuduh zina kepada lawannya dan kepada ibu lawannya.[15]
7.        Sihir
Sihir dalam bahasa ialah memalingkan sesuatu dari hakikatnya atau sesuatu yang bersembunyi dan yang halus sekali sebabnya. Demikianlah pendapat Ibnu Katsir. Abu Muhammad Al Maqdisy Dalam kitab Al-Kafi berkata: “Sihir ialah jimat-jimat, jampi-jampi dan pintalan-pintalan benang yang mempengaruhi jiwa dan tubuh, menyakiti, membunuh, atau menceraikan seseorang dari yang lain”.[16]
Para ulama berselisih paham tentang orang yang mempelajari sihir dan mempergunakannya. Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad berkata: “Orang yang mempelajari sihir dan memepergunakannya dianggap kafir”. Di antara pengikut-pengikut Abu Hanifah ada yang berkata: “Mempelajari sihir untuk memelihara diri atau untuk menjauhkannya tidak mengkafirkan. Tetapi orang yang mempelajarinya dengan iktikad bahwa sihir itu memberi manfaat dianggap kafir.
Asy- Syafi’i berkata: “Apabila seseorang mempelajari sihir, hendaklah kita suruh dia menerangkan kepada kita sifat dari sihir yang dipelajarinya. Kalau sifat sihirnya berakibat dia menjadi kafir seperti mendekatkan diri kepada bintang tujuh dan beriktikad bahwa bintang-bintang itu menghasilkan apa yang dihasilkannya, menjadi kafirlah orang itu. Jika tidak ada yang mengakibatkan kekafiran namun jika diiktikadkan bahwa perbuatan itu mubah, dia juga menjadi kafir”[17]

C.       Hadits Abu Hurairah tentang Allah gembira terhadap hambanya yang bertaubat
Hadits dari Abu Hurairah memiliki urutan sanad antara lain: Suwaid bin Said mendapat berita dari Hafsah bin Maesarah, Hafsah mendapat berita dari Zaid bin Aslam, Zaid dari Abu Shalih, Abu Shalih dari Abu Hurairah, Abu Hurairah mendapat berita dari Rasulullah SAW. Hadits ini diriwayatkan oleh imam Bukhari.
Firman Allah dalam hadis di atas“Aku adalah sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku,” berarti diberikannya ampunan untuknya jika dia memohon ampunan, atau diterimanya dirinya apabila dia bertaubat, dengan terkabulnya permintaan jika dia berdoa, dan dengan kecukupan jika dia meminta.
Dalam hadis qudsi ini ada tamsil yang sangat mengagumkan, seakan firman ini menunjukkan pada sesuatu yang dikagumi banyak orang. Persangkaan ini diumpamakan sebuah jalan yang anda lewati. Jika anda meramaikan jalan ini dengan taubat, kembali kepada Allah, dan mencari ampunan, maka di akhir jalan ini anda akan menjumpai ampunan dan ridha Allah, kemudian anda akan mendapatkan surga-Nya. Persangkaan ini adalah murni keyakinan akan Allah. Namun jika manusia meramaikan jalan yang dilewatinya ini dengan hawa nafsu dan maksiat, maka dia akan berjumpa Tuhannya di akhir jalannya dengan mendapatkan kerugian, kemurkaan, kebinasaan, dan api neraka.

IV.     PENUTUP
A.       Kesimpulan
Kita sebagai seorang muslim yang taat dan patuh terhadap syariat Islam haruslah mampu untuk tidak menodai keimanan yang ada dalam diri kita dengan melakukan perbuatan dosa besar. Namun demikian, manusia terkadang lalai karena manusia diciptakan dengan akal dan nafsu juga tidak luput syetan yang akan selalu menggoda dan membujuk manusia ke jalan yang sesat.
Ketika manusia melakukan suatu perbuatan buruk, secara otomatis sebuah titik hitam mewarnai hatinya. semakin ia melakukan perbuatan dosa, semakin meningkat pula jumlah kadar hitam dan kegelapan pada hatinya, hingga titik hitam dan kegelapan itu menyelimuti seluruh hatinya, hingga hati benar-benar gelap gulita. Cahaya fitrah pun menjadi padam dan berubah sampai pada suatu kesengsaraan yang abadi. Namun, apabila manusia sadar akan apa yang dialaminya itu sebelum terjadinya kegelapan total yang menyelimuti hatinya, kemudian ia bangkit dari kelalaiannya, disertai dengan langkah menuju tobat, sambil melengkapi syarat-syarat terkabulnya tobat tersebut maka kegelapan yang menyelimuti hatinya serta merta akan menjadi hilang dan kembali keadaan semula. Seakan-akan keadaannya berbalik seketika menjadi lembaran-lembaran yang kosong dari kebaikan dan keburukan.   

B.       Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami susun, Kami menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami sendiri dan para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad Bin Ismail, Shahih Bukhari Juz 2, Istambul: Darul Fikr, 1981.
Al-Hajaj, Abu Husain Muslim Bin, Shahih Muslim Juz 2, Libanon: Darul Kutub Al-Alamiyah, 1971.
Hamidy, Mu’amal dkk, Dosa-Dosa Besar, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993.
Al-Jauzi, Ibn, Shahih Bukhari ma’a kasyfil Misykil Juz 4, Qahirah: Darul Hadits, 2008.
Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah Juz 9, Bandung: PT. Alma’arif, 1984.
Saleh, Hassan, dkk, Kajian Fiqih Nabawi dan Fiqih Kontemporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Mutiara Hadits 1, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002.
Suhendi, Hendi, Fiqih Mu’amalat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.








[1] Abu Abdullah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari Juz 2, (Istambul: Darul Fikr, 1981), hlm. 415.
[2] Abu Husain Muslim Bin Al-Hajaj, Shahih Muslim Juz 2, (Libanon: Darul Kutub Al-Alamiyah, 1971), hlm. 489.
[3] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Mutiara Hadits 1, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm. 188.
[4] Mu’amal Hamidy, dkk, Dosa-Dosa Besar, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993), hlm. 26.
[5] Mu’amal Hamidy, dkk, Dosa-Dosa Besar, hlm. 27-30.
[6] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Op cit., hlm. 185.
[7] Hassan Saleh, dkk, Kajian Fiqih Nabawi dan Fiqih Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 425.
[8] Hassan Saleh, dkk, Kajian Fiqih Nabawi dan Fiqih Kontemporer, hlm. 426.
[9] Hassan Saleh, dkk, Kajian Fiqih Nabawi dan Fiqih Kontemporer, hlm. 431.
[10] Hendi Suhendi, Fiqih Mu’amalat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 62.
[11] Mu’amal Hamidy, dkk, Dosa-Dosa Besar, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993), hlm. 108.
[12] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Mutiara Hadits 1, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm. 108.
[13] Hassan Saleh, dkk, Kajian Fiqih Nabawi dan Fiqih Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 442.
[14] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah juz 9, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1984), hlm. 152.
[15] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah juz 9, hlm 155-159.
[16] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Mutiara Hadits 1, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm. 182.
[17] Ibnu Al-Jauzi, Shahih Bukhari ma’a kasyfil Misykil Juz 4, (Qahirah: Darul Hadits, 2008), hlm. 77.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar